Pukul dua dini hari waktu Kinara mulai membuka mata. Harapan besar memenuhi hati Gatra. Seperti kata dokter, ia berharap ini adalah awal yang baik.
Ia menggenggam erat tangan istrinya dan mengucapkan kata-kata cinta penuh kerinduan.
"Sayang, kamu harus cepat sembuh. Kita akan jalan-jalan. Saya akan membawamu ke manapun kamu ingin. Saya berjanji tidak akan sibuk lagi supaya bisa selalu menemani kamu. Saya tidak minta apa-apa asal kamu tidak pergi, selalu ada di sisi saya. Kamu tahu, saya sangat takut kamu tidak pernah bangun lagi. Saya takut tidak bisa melihat lagi senyum kamu. Saya takut kamu pergi."
Kinara hanya menatap lekat suaminya.
"Maaf kejadian ini menimpa kamu. Seharusnya saya menjaga kamu lebih baik. Saya berjanji tidak akan ada lagi yang bisa menyakiti kamu. Saya berjanji akan selalu ada untuk kamu. Kita akan selalu bersama-sama."
Pukul 5 pagi keluarga Gatra dan Kinara hampir bersamaan datang. Begitu juga Danu dan istrinya.
Pertiwi dan Amora terisak karena terharu, tidak menyangka masih bisa melihat Kinara membuka mata.
"Mengapa alat-alat itu masih tersambung ke tubuhnya? Mengapa mereka masih menempatkannya di situ?" Ayah Gatra bertanya-tanya. Ia menatap Elang penuh tanda tanya.
"Meskipun bangun kondisinya masih sama aja Kek," jawab Elang. "Dokter belum berani mengambil tindakan apa pun."
"Mengapa begitu?"
Elang menggeleng. "Entahlah. Kelihatannya ada yang disembunyikan oleh dokter itu."
"Kakek akan menemui dokternya. Seharusnya dokter mengatakan yang sejujurnya kepada keluarga pasien,' ujar ayah Gatra seraya melangkah meninggalkan tempat itu menuju ruangan dokter.
"Saya ikut Kek!" Elang mengikuti orang tua itu.
Mereka menemui dokter yang merawat Kinara. Dokter itu menjelaskan kondisi Kinara secara medis.
"Jujur Dok, apakah masih ada harapan untuk menantu saya?"
"Harapan selalu ada. Setipis apa pun kami tetap memegangnya. Kami bukan Tuhan yang bisa menentukan seseorang akan meninggal satu atau dua jam lagi. Saya hanya menjelaskan semuanya menurut perhitungan medis, menurut akal manusia. Namun Tuhan Maha Segalanya. Sebaiknya kita tidak putus berdoa dan berharap pada Nya. Saya juga sangat mengharapkan keajaiban di sini. Saya sudah melihat banyak kematian di rumah sakit ini. Tapi saya juga menyaksikan banyak keajaiban. Bahkan yang secara medis tidak mungkin sekali pun. Semoga kali ini keajaiban kembali terjadi."
Kedua pria beda generasi itu termangu mendengar penjelasan dokter. Mereka meninggalkan ruangan dokter dengan perasaan campur aduk. Ayah Gatra bahkan agak limbung sehingga Elang harus memapahnya.
"Apa yang akan terjadi pada Gatra bila Kinara meninggal? Kenapa nasibnya begitu buruk, harus mengalami peristiwa seperti ini lagi? Aku takut dia tidak kuat menghadapinya Lang," rintih pria tua itu. Elang tidak berani mengatakan apa-apa ia pun merasakan hal yang sama, kekhawatiran yang sama.
Bagi Elang, ia harus bisa menjadi orang yang bisa diandalkan. Bila Kinara pergi, pasti Amora dan ibunya juga akan sangat sedih. Ia harus ada untuk mereka. Ia satu-satunya pria di keluarga itu. Di lain pihak, Gatra juga pasti akan mengalami kesedihan yang sama, bahkan mungkin lebih. Ia juga ingin memberikan bahunya seperti yang selama ini pria itu lakukan padanya.
Ketika mereka tiba, Amora dan Pertiwi sudah berada di luar ruangan, masih menangis dan sedang dihibur oleh ibu Gatra yang terlihat sama sedihnya. Gatra masih tetap di dalam kamar dan Jacko setia berjaga tak jauh dari mereka.
Pukul tujuh pagi Danu dan istrinya datang membawakan sarapan bagi mereka semua. Tidak ada satu pun dari mereka yang berselera untuk makan. Akan tetapi Danu, Erina dan Elang gigih membujuk mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
General FictionKisah seorang pria yang ingin mengulang waktu untuk memperbaiki semua yang diakibatkan oleh kesalahannya. #cover dan gambar diambil dari Pinterest