Musik klasik mengalun di mobil Gatra dalam perjalanannya mengantarkan Kinara ke apartemennya. Amanda memutuskan untuk pulang bersama Dewa, karena jika harus mengantarnya dan kemudian mengantarkan Kinara, Gatra harus memutar cukup jauh.
"Om suka musik klasik?" Kinara mengusik kesunyian perjalanan itu.
"Hm. Kalau tidak suka, kamu bisa menggantinya dengan yang lain." Gatra menoleh, lalu tersenyum lembut.
"Bukan begitu," sahut Kinara lirih. "Saya dulu pernah belajar piano tapi berhenti di tengah jalan."
"Oh ya? Kenapa?"
"Mmmm bosan mungkin." Kinara meringis. "Waktu itu saya masih kecil sekali. Ada teman papa yang menjual pianonya karena butuh uang. Papa membelinya, lalu saya dan kak Mora belajar memainkannya. Ada seorang guru yang datang setiap minggu. Kak Mora belajar sampai mahir."
"Kamu?" Gatra membagi perhatiannya pada jalanan dan gadis di sampingnya.
Kinara meringis lagi. "Saya bahkan tidak ingat kenapa saya berhenti belajar memainkan piano. Saya memang tidak seperti kak Mora yang tekun dan pandai melakukan banyak hal."
Gatra tersenyum. "Setiap orang mempunyai kelebihannya sendiri-sendiri. Mungkin kamu hanya belum menyadarinya."
"Kata mama saya hanya pandai bertepuk tangan." Kinara terkekeh sendiri. "Karena tidak bisa apa-apa saya jadi kagum pada orang-orang yang pandai. Karena itu saya suka sekali bertepuk tangan."
Gatra ikut terkekeh. "Kamu peka terhadap kesulitan orang lain. Mungkin itu kelebihan kamu. Tidak semua orang bisa segera menyadari kalau orang lain butuh bantuan."
"Saya seperti itu?" Gadis itu menatap Gatra dengan polosnya.
"Saya melihat kamu seperti itu," jawab Gatra.
"Terima kasih Om. Saya jadi agak senang."
Gatra kembali terkekeh. "Sama-sama Kinara."
Mereka berada di lampu merah dan suasana di dalam mobil kembali hening. Kinara memperhatikan gerimis yang baru turun.
"Sonya!" Tiba-tiba Kinara berseru. Gatra menoleh.
"Ada apa?"
"Itu ada teman Nara Om. Kelihatannya dia tertekan." Kinara menunjuk ke sampingnya. Gatra melihat gadis yang juga ia kenali sedang diboncengkan seorang pria seusianya. Memang gadis itu terlihat sangat tertekan.
"Om juga mengenalnya. Ibunya dulu satu sekolah dengan Om."
"Oh."
Kinara menurunkan kaca mobil. Ia agak melongok keluar, hendak menyapa Sonya. Namun niatnya urung ketika mendapat tatapan sadis dari pria yang memboncengkan Sonya. Ia kembali menaikkan kaca mobil. Duduknya agak mengerut.
"Kenapa?" tanya Gatra heran.
"Serem Om."
Gatra memperhatikan dengan lebih teliti dua orang yang berboncengan di sepeda motor yang berhenti di sebelah mobilnya. Pria yang memboncengkan Sonya memang berwajah masam dan suram.
"Mungkin dia hanya sedang lelah Kinara," katanya.
"Om kalau sedang lelah seseram itu ya mukanya?"
Senyum geli menghiasi wajah Gatra. "Semoga kamu tidak akan pernah melihat wajah saya seperti itu Kinara. Selelah apa pun saya, saya pasti akan tersenyum bila melihatmu."
"Kenapa begitu?"
"Setiap orang punya alasan untuk segala sesuatu. Mengapa ia marah, sedih, kecewa, atau bahkan tersenyum dan tertawa. Dan biasanya kita akan merasa bahagia bila menjadi alasan orang lain untuk tertawa atau tersenyum. Itu tanda bahwa mereka bahagia karena kehadiran kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
General FictionKisah seorang pria yang ingin mengulang waktu untuk memperbaiki semua yang diakibatkan oleh kesalahannya. #cover dan gambar diambil dari Pinterest