Hengky mondar mandir di rumah kayunya yang sempit. Wajah garangnya terlihat muram. Modal yang dibutuhkannya untuk memulai usaha belum terkumpul, namun bukan itu yang sedang menyita pikirannya.
Ia mengingat kembali pertemuannya dengan pria asing yang menawarkan pinjaman tanpa bunga kepadanya. Tawaran itu begitu menggiurkan dan terlihat mudah dilakukan. Namun ia menyadari, risiko yang harus ditanggungnya juga besar, apalagi jika harus melibatkan putrinya.
Putrinya berkeras ingin melakukan permintaan pria asing itu. Gadis itu merasa bisa melakukannya. Toh hanya mempertemukan temannya dengan pria itu, begitu kata putrinya. Itu bukan kejahatan.
Namun tetap saja keraguan membalut hatinya. Ia tidak mengenal pria itu, dan tidak tahu tujuannya yang sebenarnya. Alasan yang dikatakannya agak tidak masuk akal. Mengapa harus melibatkan seorang anak untuk urusan pekerjaan?
Sekarang ia makin gelisah ketika mantan istrinya menelepon menanyakan keberadaan anaknya. Gadis itu belum pulang padahal sekarang sudah jam tujuh malam. Ia khawatir putrinya melakukan aksi yang mereka rencanakan beberapa hari yang lalu.
Hengky keluar dan berdiri di teras. Berharap angin malam sedikit meredakan kegelisahannya. Ia menghembuskan nafas lega ketika seorang gadis berjalan mendekat di keremangan malam. Itu Sonya, putrinya.
"Dari mana?" tanyanya begitu gadis itu berada di depannya.
"Teman," jawaban singkat putrinya. Gadis itu berlalu masuk ke dalam rumah.
"Nggak pamit mama?"
"Malas," sahut anak gadisnya. "Mama bakal kebanyakan nanya."
"Kalo pergi itu pamit. Kasihan mama kepikiran," ujar Hengky dengan nada rendah sambil berjalan ke dapur.
Gadis itu hanya berdecak mendengar perkataan ayahnya. Ia lalu mengeluarkan barang-barang dari dalam tasnya. Hengky memperhatikan dari tempatnya berada. Ia melihat putrinya mengeluarkan dua buah laptop dari dalam tasnya. Yang satu milik gadis itu. Lalu yang satu punya siapa?
"Punya siapa itu?" tegur Hengky dari tempatnya.
"Teman."
"Punya lo rusak?"
"Lemot. Makanya pinjam yang kencengan."
"Hati-hati pake punya orang." Dari tampilannya saja Hengky tahu laptop yang dibawa putrinya bukan barang murah.
Sonya tak menanggapi perkataan ayahnya.
"Tadi jadi bawa teman lo ketemuan sama pak Yosa?" tanya Hengky setelah lama berdiam diri dan hanya memperhatikan putrinya. Sonya mengangguk.
"Nggak diapa-apain kan teman lo?"
Sonya menghentikan kegiatannya dan memandang ayahnya.
"Memangnya mau diapain? Kinara kan bukan anak konglomerat atau selebritis? Apa untungnya kalo dia diapa-apain."
"Jadi dia pulang bareng lo?"
"Nggak." Sonya meneruskan kegiatannya. "Dia masih di sana. Om Yosa bilang ada hal penting yang mau dibicarakan sama dia, mungkin soal bisnis. Jadi gue disuruh pulang."
Hengky mengangguk, tapi hatinya tak tenang. Dia takut jika terjadi apa-apa anaknya akan dilibatkan. Bagaimanapun, berpisah lebih dari sepuluh tahun dengan keluarganya, hidup yang dijalani tidak lurus-lurus saja. Ia pernah bersinggungan dengan dunia kelam meskipun tidak terjun sepenuhnya. Karenanya sedikit banyak ia bisa mengenali sebuah rencana kejahatan.
Ia pernah keranjingan judi karena tergiur untuk memperoleh uang dengan cepat. Pernah juga kecanduan alkohol. Di waktu-waktu itulah ia menjadikan mantan istrinya sebagai sapi perah. Menurut pola pikirnya saat itu, ia berhak melakukannya sebagai balasan atas ketidakjujuran Astuti selama pernikahan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
Ficción GeneralKisah seorang pria yang ingin mengulang waktu untuk memperbaiki semua yang diakibatkan oleh kesalahannya. #cover dan gambar diambil dari Pinterest