41

1K 98 5
                                    

Tandai typo ya
~~~~~

"Gat, gue dengar lo ada masalah sama Yosa,"  terdengar suara Triyan dari seberang telepon.

Gatra tercenung. Ia menutupi masalah ini, bahkan tidak jadi menghubungi teman-temannya karena mengkhawatirkan keselamatan Kinara.

"Kamu tahu dari mana?"

"Ada. Sumber gue dari kepolisian."

Ah, tentu saja! Triyan seorang pengacara, pastinya ia punya banyak koneksi para penegak hukum.

"Ya...."

"Dengar Gat! Yosa berbahaya! Kalo lo butuh bantuan, bilang gue! Hati-hati Gat! Dia psikopat."

"Iya Yan. Terima kasih. Saya sudah berkoordinasi dengan polisi."

"Oke Gat! Kalo ada apa-apa hubungi gue."

Sambungan dengan Triyan baru saja terputus. Tinggal Gatra sendiri termenung di kantornya. Sudah tiga hari ia tidak pulang, sejak mengetahui Kinara  menghilang.

Masih tiga jam menuju waktu pertemuannya dengan Yosa. Gatra berulang kali menengok arlojinya yang berjalan begitu lambat rasanya.

Dua jam menjelang waktu yang ditentukan. Ia mendapat kabar bahwa satu regu penyelamat dari kepolisian sudah menempati posisi di beberapa tempat di sekitar target. Gatra melaju ke tempat pertemuan dengan pihak kepolisian untuk brifing terakhir sebelum ia bertemu Yosa.

Gatra menolak membawa alat komunikasi apa pun, meskipun itu berupa mikrofon atau kamera yang sangat kecil. Ia mengkhawatirkan keselamatan Kinara jika sampai ketahuan membawa alat-alat tersebut. Kamera atau mikrofon dalam bentuk pulpen, kacamata atau kancing baju sudah sangat umum, jadi pasti akan cepat ketahuan oleh pihak lawan. Ia lebih suka tidak membawa apa pun kecuali otaknya yang bisa dipakai mengatasi situasi yang akan dihadapinya nanti.

"Om, saya akan ikut," ujar Elang.

"Tidak usah," jawab Gatra. "Dia minta aku datang sendiri. Tidak membawa apa-apa dan siapa-siapa. Akan membahayakan Kinara kalau saya ketahuan mengajak kamu."

Elang menatapnya khawatir. Gatra tersenyum dan menepuk pria muda itu. "Saya akan baik-baik saja. Saya akan membawa Kinara pulang." Tak bisa lain, Elang hanya mengangguk. Keduanya berpelukan, saling menguatkan.

"Hati-hati Om!"  bisik Elang.

Lima belas menit sebelum waktu pertemuan, masuk pesan dari Yosa, menyebutkan lokasi pertemuan mereka. Alamat yang sudah mereka duga.

Gatra bergegas menuju mobilnya.

"Om tunggu!"

Gatra dan Elang menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat Dika dan Dewa berlari-lari menghampiri.

"Ada apa?" tanya Gatra kepada kedua anak muda itu. "Kalau ada yang mau disampaikan, tunggu di sini. Saya tidak punya waktu."

Ia hendak meneruskan langkahnya, namun Dika menahannya. "Justru itu Om."

Gatra kembali menatap kedua pemuda yang sedang memandangnya dengan wajah bersungguh-sungguh. Dewa sedang mengeluarkan sesuatu dari ransel yang mereka bawa. Sebuah kotak kecil. Pemuda itu memberikannya kepada Dika yang kemudian menunjukkannya kepada Gatra. Gatra menatapnya tak mengerti.

Di dalam kotak itu ada penjepit dasi yang mirip miliknya. Gatra mulai kesal karena merasa kehabisan waktu dan keduanya hanya melakukan hal yang tak penting.

Dika tahu keheranan dan kekesalan pria di depannya.

"Ini kamera, Om. Tolong tukar penjepit dasi Om dengan yang ini. Kami merakitnya sendiri. Kami tahu Om mengkhawatirkan Kinara, tapi Om juga harus selamat."

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang