32

1.6K 147 34
                                    

Siang yang terik secepat itu berubah redup. Mendung sekonyong-konyong menutup langit biru yang tadinya begitu cerah. Kinara sudah tak terlihat. Gadis itu meninggalkan kedua sahabatnya begitu saja dalam situasi yang canggung.

Amanda duduk dengan kepala menunduk di sebuah bangku semen, masih di halaman kampus, tak jauh dari tempatnya tadi bertengkar dengan Kinara. Dewa berdiri tak jauh darinya, bersandar di sebatang pohon. Tak ada yang membuka suara sejak sepuluh menit yang lalu, waktu Kinara meninggalkan mereka.

"Seharusnya lo kejar dia tadi Wa," ujar Amanda pada akhirnya. Ia masih menunduk.

Dewa tidak menjawab. Pemuda sederhana itu hanya menghela nafasnya dalam-dalam. Ia tidak bodoh untuk memahami bahwa mereka sedang terjebak dalam cinta segitiga.

"Gue gemes tau nggak sama lo?! Lo jadi cowok kurang agresif. Lo punya banyak kesempatan buat nyatain perasaan lo, tapi nggak lo lakuin. Lama-lama greget gue sama lo!" Amanda menggerutu, namun kepalanya masih menunduk.

Kini Dewa memandang gadis yang sama sekali tak mau menatapnya itu.

"Kalo gue nyatain perasaan gue sekarang, apa yang bisa gue janjikan buat dia?" Pemuda itu mengajukan pertanyaan yang tak mampu Amanda jawab. "Gue nggak main-main sama perasaan gue, karena itu gue nggak mau mainin perasaan dia."

"Sampai kapan? Gue capek kalo dia salah paham terus!"

Dewa menegakkan tubuhnya, ujung sepatunya membuat pola abstrak di tanah. Lalu ia memandang lurus kepada temannya itu.

"Gue nggak tau Man. Sampai gue bisa bertanggung jawab sama anak orang. Atau sampai gue merasa harus mundur."

Amanda seketika memandang pemuda itu dengan matanya yang memerah. "Lo mau menyerah? Lo aja belum mulai."

"Kaya lo. Lo juga menyerah sebelum mulai Man."

Keduanya saling menatap dengan manik mata saling mengunci, saling menyelami pikiran masing-masing.

"Maksud lo?"

Dengan masih menatap lawan bicaranya, Dewa berkata, "Hari ini gue sadar, Kinara nggak sepolos yang kita kira. Dia sebenarnya orang yang paling ngerti lo dan cukup ngerti tentang gue. Dari reaksinya tadi, gue tahu dia nggak punya perasaan ke gue. Dia nggak cuma pura-pura buat ngejaga perasaan lo, seperti lo yang pura-pura buat ngejaga perasaan gue."

Pemuda itu meninggalkan Amanda yang masih mencerna kata-katanya dengan dahi berkerut.

"Maksud lo apa, Dewa?"

Dewa berhenti sejenak, lalu kembali menatap Amanda.

"Seharusnya lo sama gue belajar dari Kinara buat jujur sama perasaan kita sendiri. Termasuk lo, Man!"

Dewa benar-benar pergi. Amanda masih termangu di tempatnya. Sesuatu terasa mengusiknya. Sementara gerimis mulai jatuh.

"Dewa!"

□■□

Hari Sabtu, pagi-pagi sekali Kinara sudah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Setelah bersitegang dengan sahabatnya di hari sebelumnya, ia begitu merindukan rumahnya, tempat yang membuatnya merasa tenang.  

Begitu turun dari bus yang ditumpanginya, ia segera menuju pangkalan becak. Sebenarnya banyak angkuran umum menuju rumahnya, namun ia paling suka naik kendaraan yang satu ini.

"Pak Jamal!" tegurnya pada salah satu tukang becak yang sedang terkantuk-kantuk di becaknya. Tukang becak itu terkejut, namun seketika berubah senang saat melihatnya.

"Eh, Mbak Kinara! Pagi banget sudah sampai di sini. Mau pulang Mbak?"

Kinara mengangguk sambil naik ke becak yang sudah diputar menghadap ke arah tujuannya.

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang