43

1.3K 120 12
                                    

Apa yang terjadi pada Yosa? Ia begitu marah karena tak kunjung menemukan perjanjian yang dibuat Gatra menjadi pesawat kertas. Ia sangat geram dan tak habis mengerti bagaimana ia bisa kehilangan dokumen penting itu di depan matanya. Padahal menurutnya ia selalu mengawasi teman tapi lawannya itu.

Kekesalannya bertambah karena sudah berulang kali berteriak untuk memanggil anak buahnya, namun tidak ada yang datang. Ia bergegas keluar ruangan untuk mencari mereka dan terkesiap. Gerbang kayu besar di bagian depan bangunan miliknya sudah terbuka lebar. Ia marah, namun juga curiga.

Dengan penuh kewaspadaan ia mengendap-endap mengawasi kawasan di sekitar tempatnya berada. Tidak nampak anak buahnya seorang pun. Ia memandang keluar gerbang, hanya mendapati jalanan yang sepi. Bangunan sekolah di seberang jalan yang mangkrak juga terlihat sepi.

Ia menutup gerbang, lalu berbalik hendak masuk kembali. Alangkah terperanjatnya ia.  Di dahinya, tepat di tempat yang terluka akibat kepala gesper milik Gatra, sudah menempel laras senjata api. Saat itu baru disadarinya beberapa anak buahnya yang tadinya berjaga di gerbang dan dalam ruangan bersamanya, sudah dalam keadaan terikat.

Selanjutnya semua berjalan cepat. Yosa diringkus tanpa perlawanan berarti. Ternyata saat ia dan anak buahnya mengejar dan mengepung Gatra, gerbang depannya berhasil ditembus dan anak buahnya dilumpuhkan.

Polisi yang menangkapnya menyebutkan hak-haknya sebagai tersangka. Lalu ia bersama anak buahnya dibawa untuk diamankan.

Pihak kepolisian menggeledah tempat itu dan menemukan beberapa bukti tindak kejahatan yang selama ini dicari polisi. Yaitu tindak kriminal yang dilakukan Yosa maupun kerabatnya. Banyaknya laporan penipuan yang dilakukan Yosa maupun kerabatnya ternyata membuat mereka menjadi target penyelidikan selama ini.

Gatra terpaksa ditandu karena kondisinya yang lemah. Dewa dan Dika memandangnya dengan iba ketika ia dibawa dengan tandu melewati mereka. Pria matang itu masih sempat tersenyum dan mengacungkan jempolnya kepada keduanya.

Kinara sedang diberi minum coklat hangat ketika tandu yang membawa Gatra datang menuju ambulan tempatnya berada. Gadis itu segera meletakkan cangkirnya dan berlari kecil menghampiri penyelamatnya.

"Om," panggilnya lirih. Hatinya pilu melihat Gatra yang babak belur. Gadis itu segera bercucuran air mata.

Gatra dinaikkan ke ambulans dan Kinara ikut naik juga. Gadis itu menggenggam tangan Gatra sedangkan air matanya terus memgalir.

"Kamu baik-baik saja Kinara?" tanya Gatra dengan suara lemah. Kinara hanya sanggup mengangguk sembari tersedu. "Jangan menangis, saya tidak apa-apa."

"Tapi Om luka-luka," cicit gadis itu di sela tangisnya. "Lengan Om berdarah. Pipi Om lebam."

Gadis itu menyentuh pipinya dengan halus, membuat pria itu memejamkan mata.

"Pasti ini sakit," lirih Kinara.

"Tidak sakit. Karena kamu baik-baik saja, semua tidak terasa sakit."

Kinara kembali menangis mendengar jawaban Gatra. "Maaf karena Nara nggak hati-hati, Om jadi susah begini," isaknya.

"Ssshhh, tidak. Bukan salah kamu. Saya yang salah. Dia bermasalah dengan saya tapi melibatkan kamu. Seharusnya saya memperhitungkan itu dan menjaga kamu."

Kinara menggeleng sambil terus menangis. Gatra terkekeh sambil mengernyit karena ulu hatinya nyeri dipakai untuk tertawa.

"Ternyata gadis kecil Om ini cengeng juga," katanya. "Om tidak apa-apa. Percayalah! Beberapa hari dirawat juga akan sembuh. Jangan menangis."

Kinara mengangguk, namun air matanya terus mengalir. Ia berusaha menghapus air matanya dengan kedua tangannya, namun tetap saja air matanya tak mau berhenti.

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang