35

1.5K 96 23
                                    

Jatuh cinta di lingkungan kampus suatu hal yang lumrah. Dengan kakak tingkat atau adik tingkat, teman sekelas atau seangkatan, atau bahkan dengan dosen sendiri. Tidak ada yang tabu dan semua dianggap wajar terlepas apapun tujuan dari hubungan itu.

Pertemanan bisa langgeng dari awal kuliah hingga lulus, bahkan sampai bekerja dan berumah tangga. Kadang juga putus di tengah jalan, karena hal sepele maupun hal yang bisa dikatakan rumit. Kebanyakan karena ego sebagai orang muda yang sering berpikiran pendek.

Seperti hubungan antara Kinara dan Amanda yang tak kunjung membaik. Hanya karena kesalahpahaman yang sebenarnya bisa dibicarakan, sudah hampir sebulan keduanya tak bertegur sapa. Gengsi, dan merasa paling benar membuat tidak seorang pun punya niat untuk mengambil inisiatif menyapa terlebih dulu.

Dewa sebagai teman dari keduanya berulang kali berusaha menjembatani, namun belum juga berhasil. Akhirnya pemuda itu membiarkan saja keduanya saling mendiamkan.

"Kangen juga ya jalan bertiga," desah Dewa seolah pada dirinya sendiri. Dia sedang berjalan berdua dengan Kinara dari perpustakaan.

Tidak ada jawaban dari gadis di sebelahnya. Dewa menghela nafas panjang.

"Kalian kan berteman sudah lama. Biasanya juga nggak pernah lama kalo marahan. Kenapa sekarang jadi betah banget diam-diaman?"

Kinara berjalan sambil menendangi kerikil di depannya. Ia mendengar apa yang Dewa katakan.

"Apa sih yang bikin kalian.... Nggak. Apa yang bikin kamu betah mendiamkan Amanda? Ini sudah hampir sebulan loh Ra! Aku yakin kamu sudah kangen sama dia," ujar Dewa setelah mendesah putus asa.

Mendamaikan perempuan ternyata lebih sulit daripada praktik riset pasar yang pernah dijalaninya beberapa semester yang lalu. Jika dua perempuan sedang rukun, obrolan mereka tak akan bisa dihentikan meskipun sebuah bom diledakkan di dekat mereka. Sebaliknya jika sedang berseteru, sekjen PBB pun takkan mampu mendamaikan.

Tanpa menghentikan alangkahnya, Kinara menjawab, "Apa menurut kalian aku sebodoh itu Wa?" Gadis itu menghela nafas. "Sampai kalian merasa lebih tau gue daripada gue sendiri. Lo pikir gue nggak tersinggung setiap kali dibilang nggak peka? Apa lo pikir gue senang menerima perlakuan kalian seolah gue itu anak kecil yang harus selalu dilindungi?"

Dewa mengerjap. Emang nggak peka ni anak!

Gadis itu tiba-tiba menoleh dan melotot, membuat Dewa tergagap. "Eh itu....itu karena..." Dewa merasa kesulitan mengemukakan opininya.

Pemuda itu menghela nafas pasrah ketika teman perempuannya itu meninggalkannya dengan langkah cepat. Ia pun lari mengejar.

"Kita bukannya menganggap lo bodoh atau apa Ra. Kadang lo kelewatan polosnya. Kadang lo nggak merasa kalo lagi dimanfaatkan," ujar Dewa setelah ia berhasil menyamakan langkahnya.

Kinara diam sejenak. Keduanya berjalan tanpa percakapan ketika berpapasan dengan beberapa mahasiswa lain.

Tiba-tiba Kinara berhenti, membuat Dewa ikut menghentikan langkahnya.

"Satu lagi," kata Kinara. "Gue nggak suka kalo kalian berlagak seolah tahu perasaan gue dan apa yang harus gue lakukan. Gue nggak tau perasaan lo ke gue apakah benar kaya yang dibilang Amanda. Meskipun itu benar, Amanda atau siapa pun nggak boleh memutuskan gue harus bagaimana. Perasaan gue, itu milik gue sendiri. Nggak ada seorang pun berhak mendikte gue. Dan gue nggak bertanggung jawab sama perasaan orang lain. Kaya misalnya lo suka sama gue, kalo itu benar, gue nggak bertanggung jawab sama perasaan lo dan gue nggak harus membalas perasaan itu. Seperti Amanda suka sama lo, gue nggak pernah mengungkit itu, karena gue merasa itu persoalan antara dia sama lo. Sampai waktu itu, gue nggak bermaksud begitu, karena gue menghormati perasaan lo sama Amanda. Tapi akhirnya gue kelepasan karena Amanda sudah kelewatan."

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang