31

1.4K 81 0
                                    

Suara musik berdentam seirama gemerlap lampu warna warni silih berganti. Membuat pusing mereka yang tidak terbiasa. Apalagi ditambah bau alkohol menyeruak di hidung dan asap rokok memenuhi udara. Orang-orang asyik ketawa ketiwi dan menggoyangkan badan seirama musik. Ada yang asyik dengan dirinya sendiri, ada yang asyik masyuk bermesraan dengan lawan jenis atau sesama jenis.

Sonya mengikuti langkah ayahnya masuk ke klab malam itu. Ia berusaha terlihat santai, agar tak terlihat bahwa ia belum pernah menginjakkan kaki di tempat semacam itu.

Baju yang dikenakannya pun membuatnya tak nyaman. Begitu pendek dan tak berlengan. Belahan dadanya juga begitu rendah. Sesungguhnya ia tadi sudah menolak mengenakan pakaian itu, namun ayahnya memaksa.

Seorang pria melambai dari sebuah meja. Ayahnya membalasnya, lalu mengajaknya menemui orang itu. Ada beberapa pria di meja itu, juga beberapa wanita berpakaian minim.

Hengki memberi salam kepada semua yang mengelilingi meja itu. Kelihatannya ia mengenal baik orang-orang itu. Kemudian mereka memperhatikan Sonya yang hanya bisa berdiri dengan canggung.

"Ini anak lo?" Seseorang berdiri lalu berputar mengelilingi gadis itu sambil mengamatinya dengan seksama. "Boleh juga."

"Anak gue!" Hengki membusungkan dada. Sonya mencibir dalam hati. Lain waktu lelaki itu tidak mau mengakuinya anak.

"Memangnya lo butuh berapa?" seorang lagi menanyai Hengki.

"Minimal seratus," jawab Hengki sambil menghembuskan asap rokok dari hidungnya. Ia duduk di antara mereka dan menarik Sonya duduk di dekatnya. Mereka duduk saling berdekatan.

"Banyak juga," ujar salah seorang wanita. "Gue bisa bikin anak lo jadi primadona."

Hengki mendengus. "Jangan apa-apain anak gue! Lo-lo pade boleh ngajak dia minum, tapi jangan macam-macam."

Terdengar suara-suara mencemooh. Bahkan mereka menatap Sonya dengan pandangan merendahkan.

"Ngapain lo bawa anak lo ke sini kalo kagak boleh diapa-apain. Otak lo kemane? Lo ngarep duit segitu, jaminan lo apa? Biar kate kita temen, bisnis tetep bisnis. Masalah duit nggak ada temen nggak ada saudara," ujar seorang di antaranya.

Seorang pria yang duduk di sebelah Sonya meletakkan tangannya di paha gadis itu. Sonya terjenggit kaget dan berusaha menyingkirkan tangan besar hitam yang mulai mengelus pahanya. Masih terhalang bajunya, tapi entah bertahan berapa saat lagi.

Dengan risih Sonya berusaha lebih merapat kepada ayahnya. Pria itu ikut beringsut mendekatinya. Ia bahkan mendekatkan wajahnya. Mulutnya yang berbau campuran asap rokok dan alkohol berada dekat di telinga kirinya, sedikit menjilat, lalu mengendusi belakang telinganya. Sonya merasa jijik dan ingin sekali pergi dari situ.

"Ayo kita ngedance!" bisik pria itu dengan suara serak. Sonya memandang pria itu ragu-ragu. Ia sedikit takut. Pria itu kelihatannya agak mabuk.

"Heng! Gue ajak anak lo ngedance!" ujar pria itu dengan suara keras kepada ayahnya karena Sonya tidak bereaksi.

Hengki memandang putrinya lalu memberi isyarat dengan matanya agar gadis itu mengikuti pria yang mengajaknya. Dengan enggan Sonya bangkit ketika pria tadi menarik tangannya. Mereka menuju dance floor yang sudah penuh dengan orang-orang yang bergoyang seenak hati mereka mengikuti irama musik.

Perlahan Sonya mulai menggerakkan tubuhnya mengikuti suara musik. Pria tadi berada berada di belakangnya, dengan kedua tangannya di pinggul gadis itu. Tubuhnya menempel ketat di belakang Sonya membuatnya risih namun tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolak.

Lama kelamaan ia memutuskan untuk menikmati saja suasana klab malam itu. Apalagi musik yang disuguhkan sang dj lumayan enak untuk bergoyang.

Hengki hanya mengawasi putrinya dari tempatnya berdiri. Bagaimanapun, meskipun mulutnya mengatakan pengingkaran, namun dalam hatinya Sonya tetaplah putrinya yang dulu dimanjakannya.

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang