33

1.6K 140 6
                                    

Pertiwi Hapsari. Perempuan tangguh, single mother berusia 48 tahun. Suaminya meninggalkannya ketika Amora baru berusia 9 tahun. Sudah enam belas tahun berlalu.

Waktu membuat Pertiwi semakin tegar menghadapi hidup. Tidak hanya sebagai ibu tunggal yang harus membesarkan dua anak yang masih kecil-kecil, juga sebagai janda yang seringkali dipandang sebelah mata, direndahkan, bahkan dicurigai.

Membesarkan dua anak perempuan adalah tantangan tersendiri bagi ibu tunggal seperti Pertiwi. Di dunianya, banyak tekanan, banyak beban sekaligus harapan ditumpukan pada pundak rapuh seorang perempuan. Pertiwi menyadari itu.

Ia membekali kedua putrinya ketegaran dan kebesaran hati. Keduanya dilimpahinya dengan kasih sayang, namun juga dididiknya dengan penuh kedisiplinan. Ia membebaskan keduanya berekspresi dan mengeksplorasi diri, namun menjaga mereka dengan tata krama dan norma.

Untungnya keluarga besarnya dan keluarga besar almarhum suaminya memberinya dukungan penuh dalam mendidik putri-putrinya. Mereka membantu apapun yang mereka bisa untuk perkembangan buah hatinya.

Amora tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan penyayang. Ia tegas sekaligus lembut. Ia cerdas dan punya pemikiran yang tajam, selalu memukau lawan bicaranya.

Sedangkan Kinara adalah gadis yang ceria dan selalu berpikiran positif. Ia sebenarnya gadis yang peka meskipun banyak temannya menganggapnya sebaliknya. Sikapnya manja dan polos, membuat orang lain mudah untuk menyayanginya.

Lepas dari semua itu, keduanya tumbuh seperti harapan Pertiwi; jujur, rendah hati dan bertanggung jawab. Sebagai seorang ibu, Pertiwi bisa bernafas lega, namun ia tahu tugasnya belum lagi selesai.

Ketika Amora tumbuh dewasa dan mengenal cinta, semua tampak mudah. Gadis itu bertemu pemuda yang baik, bertanggung jawab dan sangat menyayangi Amora. Meskipun Elang seorang yatim piatu, tidak menghambat Pertiwi untuk memberi restu. Ia yakin keduanya bisa saling mengimbangi, saling mengisi untuk membangun keluarga yang harmonis.

Malam ini Pertiwi tidak mudah memejamkan matanya. Kekhawatiran menjalari hati dan pikirannya, seperti pada awal ketika ia harus membesarkan anak-anaknya seorang diri.

Selama ini Amora dan Kinara bukan anak-anak yang menyusahkan. Mereka mudah dinasihati dan diarahkan. Meskipun Kinara tak secerdas Amora, gadis itu penurut dan tekun. Bahkan ia tidak pernah berkecil hati bila orang lain membandingkannya dengan kakaknya. Ia tidak iri, namun justru bangga memiliki kakak seperti Amora.

Pertiwi sangat mencintai anak-anaknya. Rasa itu membuatnya selalu waspada. Ia tidak ingin putrinya berada di tangan yang salah. Ia menginginkan keduanya mendapatkan pendamping hidup yang bisa menyayangi mereka seperti yang ia dan almarhum suaminya dulu lakukan.

Kedatangan Gatra sore tadi membuatnya was-was. Sebagai ibu dan sebagai perempuan dewasa ia sangat tahu arti pandangan mata pria itu kepada anak bungsunya. Dan itu membuatnya gelisah.

Gatra hanya lima tahun lebih muda darinya. Bahkan pria itu pantas bila mempunyai anak seusia Kinara. Perbedaan itu terlalu jauh.

Kenyataan bahwa sebenarnya Gatra adalah seorang calon suami ideal semakin membuatnya gelisah, semakin membuatnya khawatir. Pria itu baik, mapan dan juga tampan. Ia terkenal sebagai pria yang lurus dan tidak neko-neko dalam pergaulannya. Ia juga tidak pernah dikabarkan terlibat dalam suatu skandal. Baik itu pribadi maupun perusahaannya.

Kecuali usianya, pria itu tak bercacat. Bahkan usia itu pun bukan cacat. Hanya saja jika pria itu berniat untuk mendekati Kinara, Pertiwi harus memikirkannya baik-baik. Bahkan ia cenderung menolak kemungkinan itu.

Kegelisahan Pertiwi semakin besar mengingat ia sangat mengenal putrinya. Ia sangat tahu pergaulan keduanya dan orang-orang seperti apa yang bisa berteman dengan mereka. Ia juga tahu orang seperti apa yang mereka inginkan untuk menjadi pendamping hidup.

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang