-Author pov-
Baru satu jam berlalu sejak Pete berhenti menangis dan mengusir Porsche dari rumahnya. Tentu ia merasa kesal karena tindakan Porsche kali ini sudah keterlaluan.
Coba fikirkan kembali, bagaimana kalau orang yang menidurinya semalam adalah kriminal yang memperkosa, membunuh, dan menjual organ tubuhnya?
Walau tak terjadi, tapi hati Pete tetap terasa sakit. Ia pusing tujuh keliling memikirkan apa tanggapan yang akan Arm berikan jika kejadian tadi malam terdengar ke telinganya?
Ya memang, tanggapan Porsche tentang ketidakjelasan status antara Pete dan Arm tak ada yang salah. Semua orang tahu kalau kedua adam itu flirting everywhere everytime. Sudah cocok untuk dianggap kekasih. Tapi sayang, tak satu pun diantara mereka yang berani untuk membuat satu langkah lebih maju.
Bagi Pete, Arm adalah sosok yang lembut. Ia mengagumi senyum manis milik Arm saat pria itu menoleh sembari membenarkan posisi kacamatanya yang sedikit turun setelah 2 jam penuh bertahan dalam posisi kepala menunduk. Begitulah, si kutu buku itu akan senantiasa mengoceh tentang keseluruhan teori paradoks ilmiah dan dunia parallel yang menjadi kegemarannya.
Beberapa orang seringkali menghentikan ocehan Arm karena merasa tak mampu menyanggupi kapasitas otaknya yang melampaui limit. Tapi, Pete hanya diam disana. Menikmati perubahan ekspresi dan intonasi Phi Arm-nya seraya menganggukan kepala seakan ia mengerti akan apa yang menjadi tajuk pembicaraan mereka. Walau isi kepalanya kosong, setidaknya Pete mendapat penyegaran mata dan hati.
Mengapa? mengapa sekarang semuanya berantakan?
Pete bingung memikirkan tentang apakah ia masih pantas untuk Arm setelah dirinya dengan sukarela melebarkan kaki di hadapan seorang pria asing yang pergi tanpa ucapan selamat tinggal.
Pria manis itu kini berdiri di hadapan cermin kamar mandi miliknya yang terasa dingin. Jemari tangan lentik miliknya tak henti memberikan usapan dan gosokan pada jejak hisapan yang tersebar penuh di sekujur tubuh dari mulai leher, dada, perut, rahang, bahkan juga pergelangan tangannya. Beberapa diantaranya bahkan menunjukkan bekas gigitan yang menyisakan luka. "Astaga, sebenarnya aku ditiduri oleh apa? hewan buas?!" Tak henti-hentinya Pete menggerutu terlebih saat ia menyadari bahwa tanda-tanda laknat itu juga tersebar hingga ke bagian punggung dan paha belakangnya.
Wajahnya muram, "bajingan sialan itu! setidaknya beri aku salep lecet!" Pete membuat gerakan meninju udara.
-Pete Pov-
Sepertinya salah satu kelemahan terbesar yang aku miliki dalam hidup ini adalah marah dan menjauhi Porsche. Buktinya, dalam waktu 24 jam saja aku sudah bersedia datang ke ajakan makan siang yang diajukan olehnya sebagai permintaan maaf.
Aku duduk termenung di salah satu sofa cafe bertema vintage yang sudah menjadi langgananku dan Porsche sejak awal masa orientasi mahasiswa baru. Merenungi nasib dan merasa insecure atas diriku sendiri yang dipakai lalu ditinggalkan. Maksudku, ayolah! aku tampan kan? aku juga cukup yakin sepertinya dia menikmati malam itu.
Argh! aku harus berhenti memikirkannya!
Sesi melamunku buyar saat bel pintu masuk cafe berbunyi cukup nyaring menjangkau pendengaranku yang hanya berjarak 2 meter dari sana. Saat itulah aku melihat Porsche sudah memamerkan senyum manis dan melambai heboh ke arahku diikuti Kinn yang berjalan dengan raut wajah tenang di belakangnya.
Aku memutar malas kedua bola mataku lalu balas melambai ke arah Porsche.
Semuanya normal, sampai aku menangkap gelagat aneh dari Kinn saat tiba di meja yang aku tempati.
Wajah tenangnya seketika berubah menegang dan tubuhnya membeku kaku. Tidak sampai disitu saja, ia kemudian menatap resah ke arahku dan menutup hidungnya dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku kemeja merah miliknya.
Ada apa dengan pria ini?
Aku otomatis mengendus tubuhku sendiri karena khawatir bila ada yang salah dengan aroma tubuhku dan mengganggu indera penciuman Kinn.
Nihil. Aku masih memiliki aroma body scent vanilla kesayanganku.
Porsche yang melihatku mengendus tubuhku sendiri seraya menatap khawatir ke arah Kinn pun mengalihkan pandangan ke arah Kinn. Alisnya bertaut tanda ia bingung dengan kejadian apa yang menimpa kekasih dan sahabatnya saat ini, "Kinn, ada apa denganmu? kenapa menutup hidungmu seperti itu? tak sopan!" Porsche menarik lengan Kinn untuk segera duduk disampingnya berhadapan denganku.
Aku dapat melihat bahwa Kinn semakin resah dan merasa tak nyaman. "Kinn aku.. bau ya?" Aku benar-benar tak enak hati akan sikapnya. Mungkin aku memang masih bau alkohol namun tak menyadarinya.
Kinn tak menjawab. Ia malah melepas sapu tangan dari hidungnya dan menarik nafas dalam-dalam seakan berusaha menetralkan kesadaran yang ia miliki.
"Pete, k-kam, kamu sebenarnya telah tidur dengan siapa?"
Porsche memukul kepala belakang Kinn dengan cukup keras, "dasar bodoh! kamu mau dia marah lagi padaku?! kenapa dibahas lagi?!" Porsche terus menyiksa Kinn dengan cubitan keras yang ia berikan pada pinggang dan lengan Kinn.
Kinn meringis dan menggeleng ribut, "bukan begitu! Tapi Pete mengeluarkan feromon alpha yang menyesakkan untukku!" ujarnya membela diri.
Aku seketika merasa bingung, "Feromon? Alpha? maksudmu apa?" tanyaku padanya.
Bukan. Bukan jawaban yang aku terima.
Porsche tiba-tiba berhenti menyiksa Kinn. Ia justru merubah jenis tatapannya dari kesal menjadi siap untuk membunuh ke arah kekasihnya.
Adapun Kinn, ia mengatupkan mulut seakan kalimat yang baru ia lontarkan beberapa saat sebelumnya adalah hal terlarang.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
He's My Queen (VegasPete)
RomanceAntara melahirkan seorang putra mahkota atau mati, Pete Jakapan harus menentukan pilihannya secepat mungkin. Meski begitu, ia tahu betul bahwa apapun pilihannya, ia akan selalu berakhir dalam dekapan seorang Vegas del Hera.