Kencan
Kekecewaan adalah dasar dari terciptanya sebuah luka.
———————Sepatu flat hitam itu berhasil memberikan jejak disebuah pekarangan rumah minimalis dengan nuansa abu muda. Pemilik rumah itu memegang daun pintu, lalu membukanya secara perlahan. Ia tersenyum saat memasuki rumahnya, setidaknya setelah ini ia bisa beristirahat dengan tenang.
Langkah kaki itu membawanya ke dapur lebih dulu. Ia mengambil sebuah gelas kaca ukuran 17 centi, lalu membuka kulkas dan mengeluarkan susu full cream yang baru ia beli beberapa hari lalu. Tote bag ia letakkan di gantungan dekat pantry dan fokus mengoper susu tersebut ke dalam gelas.
Notifikasi ponsel membawanya untuk menarik kursi di ruang makan, lalu mendudukkan tubuh di sana. Di hadapannya kini ada segelas susu. Sesekali ia meneguk, kemudian tertawa lagi.
“Astaga Arthar ada-ada aja. Kalau gini gue bisa meleyot kapan aja jadinya,” katanya di sela-sela tangan yang sibuk membalas pesan Arthar yang sama sekali tidak ada lucu, atau bahkan manis-manisnya.
Setelah satu tahun lost life, tidak disangka bahwa pertemuan dua kali dalam sehari itu bisa membawa mereka kembali berinteraksi malam harinya. Tentu saja Nagine yang mengawalinya. Laki-laki itu hanya membalas seperlunya saja. Penantian akan terbayar pasti, begitu kalimat yang selalu Nagine sematkan dalam hidupnya.
Percakapan virtual itu terjeda karena Arthar harus buru-buru salat jamaah ke Masjid mengingat waktu sore sudah habis. Maghrib tiba. Nagine masuk ke dalam kamarnya. Ia meletakkan ponsel, tote bag, dan kunci motornya di laci beriringan. Gadis itu kemudian menyambar handuk dan pergi mandi. Kegiatannya setelah ini adalah masak untuk makan malam bersama sang mama.
Nagine keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di kepalanya. Ia masuk ke dalam kamar dan mengecek notifikasi dari Arthar yang sampai kini menjadi notifikasi favoritnya. Belum dibalas ternyata. Gadis itu geleng-geleng sambil tersenyum berusaha untuk menahan kesaltingannya, meskipun laki-laki itu tidak berulah apa pun, amazingnya Nagine bisa salah tingkah. Bisa bahaya untuk kesehatan jiwanya jika terus seperti ini.
“Ya Tuhan, Arthar-Arthar. Kalo ketemu aja sok-sokan nggak kenal, giliran di WA aja manis banget. Udah pemalu, gengsian lagi. Lucu banget sih, kamu!” gumam Nagine gemas sendiri membayangkan kelakuan Arthar via chat tadi. Sebetulnya tidak ada yang menggemaskan, lebih tepatnya Nagine yang gemas sendiri.
Gadis itu memijit pelipisnya berusaha menetralkan jantung yang sedari tadi berdegup cepat ini. “Kalau Aya tau bisa-bisa gue dibilang, baper kok sama ketikan. Ya ... nggak salah sih, tapi untuk saat ini gue nggak mau denger dulu, lah.”
Sambil menunggu balasan chat dari Arthar, Nagine melangkahkan kakinya menuju dapur. Ia membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan makanan seperti; telur, sosis, udang, wortel, dan kentang. Tidak tahu apa yang ingin dimasak, tapi sepertinya Nagine ingin membuat asam manis telur, sosis, dan udang, sedangkan sayuran yang ia keluarkan tadi hanya untuk pelengkap nutrisi.
Suara pintu terbuka membuat Nagine merekahkan senyum. Itu artinya sang mama sudah pulang. Dia berjalan menghampiri wanita yang usianya dua kali lipat dibanding dirinya. Setelah menyambut sang mama, Nagine kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda bersama Sevina—mamanya—hingga makan malam bersama.
Anak-ibu itu kembali ke kamar masing-masing mengingat waktu mulai larut. Di kamar, Nagine mengambil ponselnya hendak mengecek notifikasi dari Arthar. Benar saja, laki-laki itu sudah membalasnya.
Gadis itu mengerutkan dahi bingung saat Arthar menanyakan kesibukannya besok. Kesambet apaan tuh bocah?
Arthar
lo besok ngapain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Only 9 Years | lo.gi.na [END]
Ficção Adolescente[Teenfiction Islami 14+] "Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?" Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan. "Besok gue sekeluarga masuk Islam, cu...