Satu Hari Lagi
Tidak ada yang bisa diulang, tidak ada kejadian menyesatkan yang bisa dinikmati selain penyesalan untuk sebuah pembelajaran.
———————Dari kemarin mata itu belum memejam. Banyak pikiran-pikiran liar yang sibuk berlalu lalang. Nagine lelah dengan keoverthinkingannya. Ke mana Nagine yang dulu? Yang tidak pernah kenal overthinking terlebih soal laki-laki.
Gadis itu benar-benar frustasi karena waktu tidurnya benar-benar tersita untuk laki-laki. Siapa pun tolong bantu kembalikan diri Nagine yang dulu. Sungguh, dia lelah dengan hal menyebalkan seperti ini.
“Pokoknya hari ini gue harus ketemu Arthar,” monolognya kemudian bergegas keluar dari kamar. Ia menyalami tangan mamanya dan melenggang tanpa sarapan.
Tidak, gadis itu tidak pergi ke kampus. Dia ke Dwitama. Jaraknya lebih dekat dibanding ke kampusnya, Tritama. Akhirnya ia sampai di kampus favorit yang menjadi tempat Arthar melanjutkan pendidikan. Kampus favorit, termegah, dan terkeren di Jakarta setelah universitas Pratama.
Dia buru-buru masuk. Kemudian berjalan ke gedung fakultas Arthar yang letaknya sudah ia ketahui melalui peta di internet. Namun, langkahnya tertahan untuk masuk ke bangunan bertingkat itu karena ia tak memiliki kartu identitas mahasiswa Dwitama.
“Kalau begitu saya minta tolong untuk dipanggilkan mahasiswa yabg bernama Arthar Abyarsa kalau saya dilarang untuk masuk,” kata Nagine. Pria itu menyetujui perkataan Nagine lalu menyuruh gadis itu untuk menunggu di tempatnya.
Di sela menunggu, Nagine dikejutkan oleh kehadiran Dito. “Gin, ngapain di sini?” tanya laki-laki itu setelah mengedarkan pandangan sejenak.
“To? Gue nyari Arthar. Ada, ‘kan?”
“Lho? Dia kemarin izin nggak masuk. Mau ke luar kota.” Rasanya terkejut setengah mati setelah Arthar berkata demikian.
“What?! Kok dia nggak ada kabarin gue?”
“Hah, iya? Kemarin katanya dia habis ketemu sama lo.” Nagine mengangguk membenarkan. “Lah kok lo nggak tau?”
“Duh ... To, gimana?” Nagine frustasi sekarang.
“Kalian ada masalah? Cerita ke gue. Kali aja bisa bantu,” tawar Dito.
“Arthar ngajak gue nikah.”
“Lho? Bagus dong. Kan Arthar bisa ngebuktiin janjinya ke elu,” sangkal Dito.
“Siri, To,” lirih Nagine. Kemudian terduduk lemas di anak tangga kedua menuju gedung. Dito ikut duduk di samping gadis itu sambil menetralkan rasa syoknya.
”Kok siri? Lah kenapa cuy?”
Nagine menggeleng. “Gue nggak tau. Gue juga bingung. Pas gue tanya kenapa, dia nggak jawab. Dia malah pergi dan nyangkanya gue nggak akan mau nikah sama dia.” Nagine merotasikan setengah tubuhnya ke Dito. “Sekarang gini, To. Orang tuh nggak akan ngajak nikah siri kalau nggak ada apa-apa. Ya, oke kalau mau nikah siri, tapi harus jelas dong alasannya apa. Masa mau ngikat ke pernikahan supaya halal, bisa sentuh-sentuhan, tapi nggak dipublic. Sekarang dipikir deh, alur kayak gini itu nggak jauh dari ada apa-apanya. Gimana gue nggak overthinking? Kalau alasannya jelas, ya gue terima. Logis dikitlah.”
Dito menghela napas berat. Dia menautkan jari-jarinya setelah membetulkan kacamata yang bertengger di hidung. “I feel you. Sayangnya, kali ini gue nggak bisa bantu banyak. Gue akan coba ngomong ke Arthar waktu dia balik dari luar kota nanti. Lo tenang aja.”
Nagine mengangguk. “Thanks. Tolong juga untuk bilang ke Arthar kalo dia boleh nemuin gue pas udah tau apa alasannya ngajak nikah siri gue. Jujur gue bingung. Gue masih pingin sendiri.”
“Kok gitu, Gin? Kasian Arthar dong!” kata Dito tak terima.
“To, setelah semua ini, lo pikir gue bisa menata dengan mudah hati dan pikiran gue? Please, nggak mudah, To.”
Laki-laki itu memijit pangkal hidungnya. “Oke, fine. Gue akan bilang gitu. Take care, lo. Awas aja denger berita self harm karna cowo,” peringatnya.”
“Nggak. Gue bukan tipe-tipe kayak gitu.”
“Gue pegang omongan itu!”
———————
Sungguh sangat tidak mungkin bahwa waktu berjalan ke belakang. Tidak ada yang bisa diulang, tidak ada kejadian menyesatkan yang bisa dinikmati selain penyesalan untuk sebuah pembelajaran. Hidup tidak pernah menjanjikan kebahagiaan karena rotasinya bukan di sana.
Hidup seperti air yang mengalir, meskipun banyak hal yang membuatnya tertahan, ia tetap mencari jalan keluar sekecil apa pun. Menurut Nagine itu mencerminkan sebuah pribadi yang pantang menyerah dan punya pendirian. Sekecil apa pun.
Nagine sangat bingung terhadap semuanya. Ia memang terlihat tidak peduli, tapi dalam diam gadis itu mati-matian menahan tangis kerinduan. Sudah satu bulan Arthar menghilang. Statusnya seakan digantung. Ya, sedari awal mereka memang tidak pernah memiliki hubungan apa pun selain mengutarakan janji, bukan?
Tidak pernah jadian, tapi kalau tidak saling bertukar kabar merasa kehilangan. Apa itu manusiawi?
Gadis itu terus bertanya kepada dirinya sendiri. Ke mana Arthar selama ini? Kenapa dia menghilang tanpa memberi kabar? Apa perjanjian mereka harus musnah di sini? Ia tak pernah merasakan serindu ini dengan seseorang. Rasanya sangat aneh. Mau mengelak tidak bisa, bahkan ini jauh lebih menyakitkan dibanding lost contact dengan laki-laki itu.
“Arthar, gue pingin sama lo selamanya. Gue akan selalu di sini, tetap mencintai, meskipun rasanya seperti tidak dihargai, tapi bagaimana kalau ternyata Tuhan malah menyuruh kita untuk menjauh? Berakhir dengan sangat buruk. Padahal kita memulainya dengan begitu manis.”
“Tolong buat gue percaya sekali lagi kalo lo akan memberikan perasaan yang sama. Sekali saja.”
Sedari tadi gadis itu bermonolog sendiri. Sangat bingung dengan perasaannya. Mengapa di saat perasaan itu akan beranjak 9 tahun satu hari lagi, tapi justru terasa rumit seperti ini?
Nagine mengusap wajahnya kasar. Kemudian memandangi ponselnya. Selalu seperti itu. Notifikasi dari Arthar masih menjadi hal yang paling ia sukai, sekarang tidak ada lagi. Nagine harap ini bukan perpisahan mereka. Dia harus optimis. Bukankah pikiran baik akan melahirkan hal baik?
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nagine dengan antusias melirik ke arah ponselnya berharap bahwa itu Arthar. Namun, kemudian menjadi sirna karena dia bukan Arthar.
“Halo?” ucapnya malas.
“Temui Arthar di cafetaria deket Dwitama sekarang kalo lo mau tau kebenarannya. Gue harap lo bijak dalam memilih.”
Panggilan itu diputus secara sepihak meninggalkan pertanyaan-pertanyaan di kepala Nagine. Lalu bijak dalam memilih? Apa maksudnya?
Tidak banyak berpikir lagi, Nagine buru-buru melenggang meninggalkan rumahnya.
———————
To be continued.22.40 WIB, gimana buddies? Sorry kemalaman.
All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.
Indonesia, 9 Agustus 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only 9 Years | lo.gi.na [END]
Teen Fiction[Teenfiction Islami 14+] "Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?" Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan. "Besok gue sekeluarga masuk Islam, cu...