Chapter 44

166 19 0
                                    

Bid’ah
Perkara baru dalam Islam.
———————

Setelah menyelesaikan salat Ashar, para siswa-siswi diminta untuk menyantap makanan siang mereka yang sudah disediakan pihak sekolah. Selepas makan mereka akan diminta kembali berkumpul ke titik pusat untuk melanjutkan lomba berikutnya.

Ada 2 lomba yang akan dilaksanakan pada hari ini. Dua yang belum terlaksana adalah; kegiatan potret aesthetic akan dilaksanakan setelah makan, dan kegiatan setelah Maghrib adalah sharing antar kelas.

“Potret aesthetic ini cuma mengandalkan HP doang. Kalian foto saja apa yang ingin kalian foto, asalkan foto itu harus memiliki nilai estetika. Enam potret terbaik akan dipasang di mading sekolah. Selamat berkreasi anak-anak. Waktu kalian sampai jam 5 nanti ya,” ucap Pak Salman setelah akhirnya meneguk air mineral.

Lomba paling santai menurut Nagine adalah potret aesthetic. Di mana siswa-siswi hanya perlu mengandalkan ponsel untuk menangkap gambar-gambar yang sesuai dengan keinginan mereka. Karena kegiatan juga dilakukan sambil berjalan menyusuri lingkungan. Setidaknya memberikan sedikit refreshing untuk mereka dalam waktu satu jam setengah sebelum akhirnya senja mendekat.

“Bu Gina saya boleh minta tolong diambilkan kayu yang ada di sana?” Pak Bagus mengarahkan jari telunjuknya ke arah tumpukan kayu-kayu sebelah barat yang dekat dengan pohon mangga yang cukup besar. Nagine menganggukinya dengan semangat. Ia berdiri dari duduknya yang bersila tadi, lalu melangkah mendekat ke arah kayu itu berada.

Astaga, saking semangatnya ia sampai tidak sadar kalau tumpukan kayu itu disekat dengan sungai. Itu artinya dia harus melompat lebar atau berjalan di atas jembatan kayu yang hanya berukuran 10 centimeter itu. Sama-sama mengerikan menurut Nagine.

Gadis itu berjalan cemas, meskipun terlihat tidak seram, tapi ketahuilah dia punya ketakutan untuk itu. Dia sendiri tidak paham dari mana ketakutan itu berasal. Padahal jika terjatuh pun ia tidak akan tenggelam karena keadaan sungai sangat dangkal, bahkan lumut di dalamnya bisa dilihat jelas hanya dengan sekali pandang

Dia semakin berjalan mendekat, tapi tak berani menyebrangi sungai kecil itu. Melangkah yang dinilai gampang saja sangat sulit, kakinya ternyata tak sampai. Jalan satu-satunya memang melewati jembatan. Namun, masalahnya kakinya begitu keluh hanya untuk berjalan di atas titian balok kayu itu. Dia takut jatuh dan takut malu.

Nagine mencoba memberanikan dirinya dengan menginjakkan salah satu kakinya di atas kayu itu. Belum apa-apa ia sudah kesulitan meneguk salivanya sendiri. Astaga Nagine tidak bisa!

Please, ya Allah gimana ini? Gue nggak bisa,” lirihnya. Terkadang ia merasa kesal dengan dirinya sendiri yang menakuti hal-hal kecil seperti ini. Menyulitkan saja!

Dengan bersusah payah dan langkah yang terbata-bata, akhirnya gadis itu bisa menghela napas dengan lega karena berhasil melewati jembatan kecil yang menyeramkan itu.

Perlahan tangannya mulai bergerak mengambil kayu-kayu yang menumpuk dan sudah diikat menjadi satu itu, dia akan segera balik, tapi tertahan. Dia lupa bagaimana bisa menjaga keseimbangan seperti tadi. Bagaimana kalau dirinya terjatuh dan terjebur di sungai itu?

“Kenapa?”

Mendengar suara yang berasal dari tanah seberang—halah disekat sungai kecil saja—Nagine langsung memusatkan matanya. Kesempatan untuk meminta tolong.

Pak Husein ternyata.

“A–anu Pak. Ini, saya nggak bisa,” ucapnya. Dia menyerahkan serangkaian kayu itu ke Husain. Sebaiknya seperti ini, urusan balik dari jembatan kayu itu bisa ia perjuangkan sendiri nanti. Yang terpenting kayu yang diamanahkan Pak Bagus tadi aman di tangan orang yang tepat.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang