Deja Vu
———————Pagi ini terlihat sangat beda. Mungkin akan menjadi hari paling menyakitkan kedua setelah perpisahannya dengan Arthar. Entah apakah Nagine harus percaya bahwa Aya akan tetap menjadi temannya selama gadis itu jauh dari pandangannya?
Bayang-bayang kehilangan sudah sangat menutupi isi kepalanya yang lain, ia hanya berotasi di sana. Ingin percaya, tapi takut kecewa. Tidak, tidak! Nagine harus percaya. Terserah akhirnya bagaimana, Nagine harus tetap percaya. Aya sahabatnya! Mana mungkin dia mengingkari janjinya.
Setelah pelukan itu terlepas. Aya melambaikan tangan. Dia kemudian menghapus air matanya yang sedari tadi keluar karena tidak kuat. Jujur, jauh dari Nagine bukanlah sebuah hal yang sudah ia persiapkan jauh hari, bahkan tak pernah terlintas. Jika bukan karena neneknya yang meminta, mungkin hal ini tidak pernah terpikirkan.
Melepas Nagine sendirian, Aya sangat takut. Bagaimana jika Nagine terluka dan memendam semuanya sendirian? Aya tahu bahwa Nagine belum sembuh secara pasti. Gadis itu belum baik-baik saja seperti kelihatannya, bahkan selama dua tahun ini Nagine masih saja suka memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak ia pikirkan. Menanggung rasa sakit sendirian.
“Nggak papa walau nice try. Jangan lupa tetep senyum. Karena lo terluka pun, Arthar nggak akan peduli,” kata Aya menepuk bahu Nagine. Dia kemudian membetulkan tas slempangnya.
“Gue pergi, ya? Lo hati-hati,” imbuhnya sambil melambaikan tangan.
“Harusnya gue yang bilang hati-hati!” kata Nagine dengan bagian bawah mulutnya yang terkulai mewek.
“Tapi yang harus dikhawatirin itu lo,” elak Aya.
“Gue juga khawatirin lo!” tolak Nagine.
“Oke, kita sama-sama khawatir. Yaudah, saling hati-hati kalo gitu. Solatnya jangan bolong, jangan dateng ke majlis ilmu kalau ada waktu, tapi harus bisa meluangkan waktu untuk datang ke situ.” Nagine mengangguk. “Gue pamit, ya? Setahun lagi kita ketemu. Atau lo mau mempercepat pertemuan kita? Silakan ke Semarang. Gue tunggu lo dateng. Be nice person!”
Aya melangkah mundur sambil melambaikan tangan yang lambaian itu diikuti Nagine. Sampai akhirnya tubuh itu kian mengecil, hingga ia berbalik badan dan benar-benar meninggalkan Nagine seorang diri. Harusnya ia bahagia, bukan? Sahabatnya akan melanjutkan hidup baru di kota neneknya, tapi mengapa hatinya sangat resah?
Nagine membalikkan badan, ia sudah selesai mengantar keberangkatan sahabatnya. Dia menulusuri Bandara seorang diri. Kembali memberikan dirinya ruang untuk berdamai. Healing hanyalah pengalihan isu. Sebenarnya letak kedamaiannya hanya ada pada hatinya sendiri, bukan pulau yang baru saja ia kunjungi.
Sampai saat ini ia masih belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Sangat sulit karena berkali-kali telah ditusuk oleh rasa sakit. Mungkin mulut berkata ikhlas, tapi kenyataannya masih kesulitan untuk melepas.
Bagaimana bisa saat itu ia mengatakan hubungannya selesai, jika tokoh utamanya saja masih membelenggu dalam imajinasi? Ternyata benar, dia pernah memiliki laki-laki itu meskipun hanya sekadar cerita fiksi.
Sambil menunggu penerbangan menuju Jakarta satu jam lagi, dia mengecek notifikasi untuk sekadar melirik apakah ada sebuah pesan masuk. Tidak ada ternyata. Nagine kembali memasukkan ponsel itu ke dalam sling bag, lalu kembali menarik kopernya.
Terkadang di saat berada dengan hiruk pikuknya dunia, menyendiri dan membangun koneksi dengan Tuhan memang pilihan yang baik.
Ya, Nagine berjalan sambil menikmati keresahan hatinya yang sedari tadi meluapkan segala hal tanpa ia minta. Ia percaya Allah akan mendengarkannya.
Tidak semua orang bisa kembali tertawa lepas setelah kehilangan, sekalipun ia menangisi seseorang yang menjadi patah hati terberatnya.
Rasa sakit memang bonus, tetapi kuat tidaklah harus.
————————
Benar kata Aya, tidak ada waktu untuk memikirkan Arthar ketika kakinya sudah berhasil menginjak pekarangan luas dengan tiga gedung bertingkat di dalamnya. Dia berhasil mendaratkan diri di Jakarta kemarin lusa, dan kemarin adalah waktunya mempersiapkan diri untuk masa pengenalannya sebagai seorang guru di sekolah swasta ini.
Menara Lima High School. Nagine tidak akan menyangka akan menjadi pahlawan tanpa tanda jasa di sekolah yang katanya favorit ini. Menginjakkan tumitnya di sini terasa seperti sebuah mimpi yang Nagine berharap ia tidak akan bangun lebih cepat.
Asik melamun setelah turun dari motornya. Nagine dikejutkan oleh seseorang yang entah sejak kapan berdiri di sebelahnya.
“Bu Galatia?” tanya seorang wanita. Nagine mengangguk, lalu menyalimi tangan itu. Sepertinya beliau seorang guru yang umurnya dua kali lipat dibanding dirinya. Harus sopan!
“Panggil Gina saja, Bu.”
Wanita itu terkekeh, lalu menggandeng Nagine menuju ke ruang guru karena sedari tadi gadis itu memang sudah ditunggu. Katanya, Nagine adalah satu-satunya guru yang berhasil mengajar di sekolah ini tanpa tes. Setelah karena rezeki dari Allah, sekolah ini sangat membutuhkan guru Bahasa Indonesia untuk anak didik kelas XI secepatnya.
Singkat cerita, setelah acara peresmian Nagine sebagai guru di sekolah ini bersama guru-guru di kantor, gadis itu kemudian dibawa keluar untuk melakukan upacara bendera yang digelar pada hari Senin.
“Upacara selesai.”
“Seluruhnya, tanpa penghormatan. Bubar barisan, jalan!”
Kurang lebih setengah jam terlewati. Kemarin Nagine sudah mendapatkan jadwalnya mengajar. Hari ini di jam pertama kelas XI IPA 2. Setelah pamit kepada rekan-rekannya, Nagine dibantu oleh Bu Astuti yang tadi membawanya ke kantor berjalan menuju ruang kelas XI IPA 2.
Sungguh jantung guru muda itu berdegup dengan sangat cepat. Ini pertama kalinya ia berdiri di sebuah sekolah ternama sebagai seorang guru. Setelah hampir 8 tahun tidak menginjakkan kaki di sekolah, hari ini ia kembali menginjakkan kaki di sebuah sekolah dengan status barunya.
“Ini ruang kelasnya. Saya tinggal ya?” Nagine mengangguk. Mempersilakan guru itu pergi setelah mengucapkan terima kasih. Pintu kelas ditutup. Dulu saat sekolah pintu ruang kelas ditutup alasannya hanya ada dua; karena panas dan karena berniat mengelabuhi guru-guru lain bahwa di kelas ada guru, padahal tidak ada. Menurut Nagine, pintu ditutup kali ini karena opsi kedua.
Dengan perlahan ia membuka pintu itu. Ya, terkejut! Bukan hanya siswa-siswi di dalam kelas yang terkejut, tapi Nagine juga. Sial! Ternyata di dalam ada seorang laki-laki yang berdiri di depan papan sebagai seorang guru. Masalahnya bukan hanya itu, guru itu yang pernah ia pergoki memerhatikannya di Masjid dan terakhir kali bertemu adalah saat sekolah Budi Djaya melakukan kunjungan ke kampusnya. Astaga, mereka bertemu lagi? Kesan yang sungguh freak.
Bentar deh, kalo bapak ini guru di SMA BDjaya kenapa bisa ada di Menara Lima?
“Ah, maaf mengganggu,” ucap Nagine sungkan, kemudian menutup kembali pintu kelas, tapi tertahan saat suara ngebass khas laki-laki itu menyerunya untuk berhenti dan membiarkan pintu terbuka.
“Tidak usah ditutup. Ini jam pelajaran Ibu, ‘kan? Saya wali kelas sebelas IPA dua. Saya sudah selesai menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan. Jadi, Ibu boleh masuk untuk mengajar mereka.” Laki-laki yang juga memiliki status sama dengan Nagine itu meletakkan spidol, lalu mengambil ponselnya dan beralih keluar tepat setelah Nagine melihat name tag yang terpasang di seragam coklatnya. Husain Ali Ad-Dhuha.
Seketika otaknya memberikan respon ingatan saat seorang murid meneriaki namanya di lorong fakultas Bahasa dan Seni. Husain, iya namanya Husain.
———————
To be continued.All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.
Indonesia, 16 Agustus 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only 9 Years | lo.gi.na [END]
Teen Fiction[Teenfiction Islami 14+] "Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?" Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan. "Besok gue sekeluarga masuk Islam, cu...