Chapter 09

256 20 4
                                    

Karena-Nya
Do it for Allah.
———————

Terbukanya sebuah hati dan lapangnya dada untuk meyakini kebenaran agama Islam merupakan definisi dari hidayah menurut Islam. Mendengar apa yang Nagine katakan barusan, Arthar jadi mengingat sebuah ayat yang baru kemarin ia baca.

Surah al-’Araf ayat 178: “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan di dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi (dunia dan akhirat).

Apa ini hidayah untuk Nagine? Masalahnya semua terjadi tiba-tiba, bahkan sebelumnya gadis itu sama sekali tidak pernah membahas atau mencari tahu tentang Islam. Ini baru pertama kali menurut perkiraan Arthar.

Laki-laki itu masih diam memikirkan perkataan Nagine yang merasa dipeluk hangat oleh kalimat itu. Selama hidupnya, Arthar tidak pernah mendengar ada orang yang berkata seperti ini, bahkan orang Islam sekalipun.

“Dan anehnya, tiba-tiba aja gue mau cari tau lebih tentang Islam,” lanjut gadis itu yang semakin membuat Arthar speechless. Seketika ia lupa bagaimana caranya merespon perkataan-perkataan orang di sekitarnya saking bug.

“Tapi di sisi itu gue takut akan mengkhianati kepercayaan gue yang sekarang. Gue pingin belajar tentang Islam, tapi gue nggak bisa meninggalkan keyakinan gue.”

Dilema. Hanya satu kata itu yang muncul di benak Arthar begitu mengetahui isi hati Nagine.

“N, untuk meninggalkan sebuah kepercayaan itu memang berat. Di sini gue ngomong juga nggak maksa buat lu seagama sama gue, but please, kalau suatu saat lu pindah ke agama gue, tolong lakukan itu karena Allah, bukan karena manusia.”

Nagine menatap Arthar yang saat ini memandang lurus ke depan. “Ya, Ar. I know, tapi kenapa debaran di dada gue semakin kenceng pas gue nyebut agama lo?”

Lagi-lagi Arthar diam. Masih sama, laki-laki itu belum tahu bagaimana menjawabnya. Ia juga masih orang awam di agamanya. Tidak tahu bagaimana cara yang baik dan benar untuk menjawab segala jenis pertanyaan yang berat ini. Bukan hanya itu, sebagai orang yang mengaku hamba Allah saja ia masih bisa melakukan dosa seperti ini.

Tiba-tiba saja gadis itu terkekeh membuat Arthar ditarik untuk memandangnya. Nagine kini menatap lurus ke depan. Sesekali dia menyibakkan rambut ke belakang telinga akibat angin yang menerpanya.

“Pasti lo bingung buat jawab semuanya.” Benar Na, tidak salah sama sekali. “Gue juga bingung kenapa pertanyaan-pertanyaan ini bisa muncul di kepala gue. Padahal dulunya gue sama sekali nggak berniat buat nyari tahu apa pun tentang hal-hal kayak gini. Menurut gue nggak penting. Karena keyakinan gue, ya keyakinan gue, tapi kenapa akhir-akhir ini semua seakan penting buat gue?”

I feel you. Lo tanyakan aja ke orang-orang yang lebih tau tentang Islam dibanding gue orang yang awam. Takutnya kalo lo tanya gue, gue bisa salah bicara dan nggak ngasih yang sebenarnya tentang hal yang lo tanyakan. Gue ada kenalan yang ngerti ini semua, lo mau tanyain itu?”

Dengan antusias tanpa berpikir panjang pun Nagine mengangguk mengiyakan. Rasa penasaran di hatinya harus segera hilang. Ia harap akan menemukan jawaban dari orang yang Arthar maksud.

“Yaudah lanjut, lo mau naik wahana apa?” Arthar bertanya sambil berdiri diikuti dengan Nagine.

Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, lalu menatap Arthar. “Kita kelilingin tamannya, yuk!”

“Ayo! Kita sewa sepeda dulu,” kata Arthar sambil berjalan mendahului Nagine. “Tapi kita harus buat kartu, nanti diisi saldo tiga puluh ribu buat metode pembayaran. Setau gue gitu,” imbuh laki-laki itu yang diiyakan Nagine.

Setelah beres, mereka menyambung dengan langsung mengenakan sepeda dan mulai memutari taman beriringan. Athar nampak menarik dua sudut bibirnya begitu melihat wajah bahagia Nagine. Sejenak ia merasa bersalah tentang hari itu yang melibatkan Nagine dengan tantangan yang diajukan temannya itu. Mau bagaimana lagi, satu-satunya perempuan yang terakhir kali bermessege dengannya adalah Nagine.

“Liat gue gitu banget, Ar! Nggak bisa move on ya lu sama gue?” tanya Nagine tiba-tiba yang membuat Arthar memalingkan muka dan fokus ke depan. Antara malu dan kesal karena Nagine selalu saja mengungkit hal-hal yang telah lama.

Namun, kenyataannya sejak hari itu perasaan laki-laki itu tidak berubah. Ia masih ingat betul bagaimana saat Nagine membacakan sebuah puisi yang membuat seluruh kakak kelas mereka yang tengah wisuda hari itu menangis haru. Puisi yang dibacakan dengan ekspresi yang membawa semua orang hanyut bersama. Sejak saat itu rasa kagum itu belum hilang, dan mungkin merambat lebih tinggi lagi.

Bodohnya, laki-laki itu terlalu kentara dalam menunjukkan sikap suka-nya. Sehingga mudah membuat orang-orang menebak bahwa ia menyukai Nagine; ia sendiri pernah menjadi satu-satunya murid laki-laki yang menolong Nagine saat dibully teman sekelasnya hanya karena salah dalam memberi contekan Matematika, dirinya bahkan sampai membentak habis orang yang membuat Nagine menangis saat itu.

Pernah juga saat itu Nagine sengaja dikunci di luar kelas bersama Aya. Ini termasuk pembullyan berjamaah dan Arthar benci itu. Dia yang memang kebetulan baru dari ruang guru melihat kejadian menyebalkan itu langsung mendobrak pintu kelas hingga selotnya patah.

Semua orang tentu saja dengan mudah menebak ketertarikan itu karena Arthar sendiri merupakan tipe laki-laki kaku yang terkenal tidak tertarik dengan wanita. Mereka mengakui Arthar normal, hanya saja belum ada perempuan lain yang berhasil mendobrak pintu hati laki-laki itu selain Nagine. Selain itu, dia juga berprestasi yang membuatnya suka membuang jauh-jauh perasaan terhadap lawan jenis karena dinilai membuang-buang waktu.

Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Arthar justru menjatuhkan hatinya pada seorang gadis yang parahnya dia berbeda dengannya. Semua momen yang membuat baik Arthar maupun Nagine melayang bersama hanya ada saat kelas XII. Masa-masa menyedihkan karena waktu mereka hanya setahun. Parahnya lagi, saat kelulusan tiba, mereka beda universitas.

Tanpa sadar laki-laki itu merindukan kedekatan mereka meskipun sebatas saling tolong menolong ketika jam pelajaran, meskipun saat itu Nagine yang banyak memulai karena Arthar terlalu gengsi. Hari ini rasanya ia tidak ingin menyia-nyiakan sebuah kesempatan, tapi sepertinya ia harus menjauh karena tembok itu sangat tinggi untuk dipanjat.

“PD amat lu jadi orang,” kata Arthar tanpa melihat Nagine.

Dih, emang bener, kok. Yang gue bilang ini fakta.” Arthar hanya berdehem membuat Nagine kesal dan tanpa sadar mengungkit semua hal memalukan yang pernah terjadi bersama Arthar.

“Gue juga masih inget dulu lo sempet mencet emotikon love, padahal jarak dari emot buah apel ke love itu jauh, ya! Beda tempat lagi. Gengsi lu gede banget astaga.”

Seketika laki-laki itu menyesal karena harus menjawab celetukan gadis itu tadi. Harusnya ia bisa diam atau tidak pipinya akan merah menahan malu seperti kali ini.

“Kayak kepiting rebus pipi lu, tapi gue suka. Soalnya lo makin ganteng!”

Astaghfirullah Nagine.

———————
To be continued.

Agak geli pren, seumur-umur nggak pernah ngetik adegan seanu ini. Terlalu berat karena belum terbiasa, but I’ll give my best. Doain biar nulisnya lancar!

All rights reserved. Tag my Wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 16 Juli 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang