Definisi Sempurna
Manusia memiliki standar sempurna, tapi kodratnya tetap tidak ada yang sempurna; termasuk perbedaan iman.
———————Galatia Nagine Zabrine. Dengar-dengar tiga nama itu asal papa dan mamanya buat. Serba tiba-tiba saja karena saat lahir, kelamin bayi mereka jadi perempuan. Padahal saat USG laki-laki. Tuhan memang benar-benar menunjukkan kuasanya saat itu.
Saat di dalam kandungan Lukas—papanya—mengajaknya interaksi layaknya seorang petarung masa depan. Dari awal gadis itu diajarkan bagaimana menjadi laki-laki tangguh dan bisa bertanggung jawab dengan semua yang dia lakukan. Sudah didik menjadi batu karang sejak kecil.
Kini, ajaran-ajaran kecil untuk jagoannya terlatih di diri Nagine yang suka keras kepala. Tidak bisa dianggap badgirl atau istilah buruk lainnya karena gadis itu hanya gagal dalam percintaan.
Nagine tidak pernah gagal dalam membahagiakan orang di sekitarnya—mungkin—bahkan membahagiakan dirinya. Gadis itu begitu mudah melakukan self love untuk dirinya sendiri, tapi sangat susah untuk berhenti love others person.
Di antara banyak laki-laki baru yang menemaninya, mengajaknya menjalin hubungan yang lebih pasti, bahkan sampai memberikannya kebahagiaan, tapi tidak ada satu pun yang berhasil merebut hatinya secepat Arthar. Terlalu setia kata temannya.
Kata Nagine, tipenya seperti Arthar, tapi saat ada orang lain yang memiliki kriteria sama seperti laki-laki itu, dengan gampang dia berkata, “Dia emang tipe gue banget, tapi dia bukan Arthar.” Sesederhana itu.
Saat hubungannya dengan Arthar satu tahun lalu memburuk, setiap malam gadis itu hanya memandangi ponselnya. Melakukan kegiatan yang sama berulang kali; memantau aktivitas online/offline laki-laki itu. Ya, ia melakukan hal yang sama setiap harinya. Kadang juga Nagine search di kolom status untuk memeriksa apakah laki-laki itu membuat snap hari ini.
Jika nama Arthar tertera di layar ponselnya, mata itu akan berbinar, jika tidak ada, dia diam. Tidak berkata apa-apa, tapi hatinya punya keyakinan bahwa suatu hari nama itu akan muncul lagi.
Tidak tahu, semua perasaan Nagine pada Arthar itu datang secara tiba-tiba. Menurut banyak orang; Arthar itu tidak tampan, kulitnya sawo matang, intinya sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan Lee Min-ho. Namun, bagi Nagine itu semua tidak penting. Karena baginya, ia memandang Arthar bukan dari fisik, melainkan cara berpikir laki-laki itu yang kritis, perilakunya yang baik, sampai sikapnya yang disiplin.
Nagine mengagumi semua hal tentang laki-laki itu. Nyaris sempurna, tapi balik lagi manusia tidak ada yang sempurna. Terbukti bahwa; meskipun definisi sempurna menurutnya dipegang oleh Arthar, tetap saja kekurangannya adalah mereka berdua tidak seiman.
“Makanya. Kalau jadi orang tuh jangan norak sampek congkak kayak begitu. Kena kibul ‘kan lo?”
Bukannya memberikan asupan yang membangun, Nagine justru merasa dijatuhkan oleh kalimat-kalimat yang Aya keluarkan. Payahnya rasa kesal itu tidak berlangsung lama. Karena setelah ini Nagine pasti akan kembali tertawa seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.
Sudah ke sekian kali Aya bilang untuk tidak mengharapkan laki-laki itu kembali. Semua akan terasa rumit jika keduanya sama-sama melibatkan sebuah rasa. Nyatanya, sampai detik ini Arthar masih belum leluasa menyuarakan perasaannya. Membuat Nagine merasa harapannya digantung, padahal gadis itu tahu Arthar tidak sejahat itu. Dia pasti tidak sengaja. Memang hatinya saja yang mudah luluh dengan pesona laki-laki itu.
“Lo mau move on?”
Pertanyaan ini sudah tidak terhitung lagi berapa kali ditanyakan, bahkan anggukan kecil dari pemilik rasa seperti tidak ada artinya karena saking terlalu sering. Kenyataannya, Nagine tidak pernah benar-benar serius untuk merealisasikan apa yang ia katakan. Semua hanya sekadar angan.
“Dulu-dulu lo juga bilang gini. Nyatanya nggak ada bukti. Kalo pun ada isu lo move on, paling lama seminggu. Gue sampek heran sama lo yang nggak sadar-sadar sama tembok besar—”
Nagine buru-buru menyela. “Please, bisa nggak usah melibatkan perbedaan itu, Ay? Gue muak.”
Aya menghela napas gusar. Ia memijit pangkal hidungnya. “Sampai kapan lo mau menolak sadar, Gin? Apa nggak capek gini terus?”
Ajaib. Benar-benar ajaib. Nagine menggeleng sebagai sebuah jawaban.
“Gue nggak capek. Seperti yang lo bilang dulu kalau gue nggak ngecrushin Arthar itu kayak ada yang kurang. See? Sekarang menyukai laki-laki itu udah jadi bagian bersejarah dalam hidup gue. Rasanya sulit dilepas. Karena memang sudah benar-benar melekat. Nama Arthar udah tergabung di hati gue. Udah punya koneksi tersendiri.”
Detik itu, Aya menyesal karena pernah mengatakannya. Gadis itu mau saja mendukung Nagine yang pantang menyerah untuk bisa mengambil hati Arthar, tapi mau sampai kapan? Keyakinan keduanya benar-benar kuat. Seperti ... tidak akan ada yang bisa mengalah satu sama lain.
“Gin.” Nagine menoleh. “Gue ada bacaan niat move on, tapi awalannya pake bahasa Arab. Lo mau coba? Kali aja manjur.” Nagine nampak tertarik, gadis itu mengangguk. “Lo ikutin gue, ya?” Nagine mengangguk lagi.
“Nawaitu.”
“Nawaitu.”
“Forget you, block you, bye, and fak you.”
“AYA!!!!!!!”
Kekehan kecil berhasil keluar dari mulut Aya. Gadis itu merasa puas karena berhasil membuat kesal sahabatnya.
Setelah puas tertawa, Aya menyeruput ice matcha latte-nya. “Gimana? Udah mendingan keselnya?”
Nagine mengangguk. “Of course. Sekecewa apa pun gue sama Arthar, gue tetap liat dia dari sisi baiknya.”
Lagi-lagi Aya merosotkan bahunya tidak kuat. Ia bingung bagaimana menyadarkan gadis itu. Bocah ajaib.
“Gue tau lo orang yang nggak gampang menilai buruk seseorang, tapi soal lo sama Arthar, itu bukan tentang baik buruknya, tapi tentang kesadaran,” kata Aya, Nagine memutar bola matanya malas.
“Oke. Gue sadar kalo gue sama Arthar beda. Cukup miris buat didenger, but, gue nggak bisa tanpa dia.”
Aya berdiri dengan sempurna. Dia menuding Nagine. “This. Bener dugaan gue, yang salah itu otak lo. Pikiran lo. Kalo lo sadar kalo kalian nggak sama kenapa dipertahanin? Alasan nggak bisa itu klise, Gin. Nyatanya hidup lo selalu tentang Arthar. Selalu. Gue aja cape dengernya. Mau dibawa ke mana kalo seandainya kalian memilih untuk bersama?”
Nagine begidik bahu tak tahu.
“Bahkan untuk hal ke depan aja lo nggak tau. Itu sama aja lo buang-buang waktu.” Aya membuang mukanya. Gadis itu berusaha mengatur emosi agar tak sampai kalut. Hening. Setelah merasa tenang, Aya menghadap sahabatnya lagi. “Cuma ini yang bisa gue omongin, selebihnya terserah lo mau dengerin apa enggak. Gue nggak mau hubungan kita ikut lost kalo sampek gue terlalu dalam nasihatin.”
Nagine mengangguk mengerti. “Thanks pencerahannya, tapi kayaknya ... itu nggak mempan.” Aya melototkan matanya. “Karena gue akan tetap memperjuangkan Arthar.” Detik itu juga Aya memaki dalam hati.
———————
To be continued.Selain Arthar, Nagine juga nyebelin pemirsah -_-||
All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.
Indonesia, 11 Juli 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only 9 Years | lo.gi.na [END]
Teen Fiction[Teenfiction Islami 14+] "Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?" Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan. "Besok gue sekeluarga masuk Islam, cu...