Chapter 20

246 17 7
                                    

A Marriage
———————

Di dalam hidup Nagine, sampai sejauh ini belum ada lagi yang mengisi hati gadis itu selain Arthar. Sudah berapa kali dia mempertegas itu semua?

Tidak pernah ada orang lain yang berhasil menggantikan peran laki-laki itu. Nagine masih menunggu laki-laki yang sama. Benar-benar hanya menunggu; selama yang bisa ia lakukan dan ia akan terus mengusahakan.

Kehilangan Arthar tak pernah ada dalam benaknya sebelum ini, tapi hari ini, mengapa semua terasa berbeda? Hatinya was-was takut kehilangan koneksi dengan laki-laki itu. Dia takut berujung seperti setahun lalu. Astaghfirullah, setan selalu saja berhasil membuatnya mengingat Arthar lagi.

Menunggu orang yang benar-benar tidak pasti, Nagine sama sekali tidak menyesalinya. Tidak mengeluh terlalu sering. Setelah ayahnya, Arthar memang bukan laki-laki yang mengisi harinya, tapi dia adalah laki-laki yang selalu mengisi hatinya. Dia memutuskan untuk tetap memperjuangkan Arthar, bedanya kali ini dengan Allah sebagai perantara. Jalur langit.

Laki-laki itu belum ada kabar lagi sejak Nagine mempertanyakan siapa hamba Allah yang memberinya mukena, dan lagi-lagi kegiatan Nagine setiap malam masih sama. Memantau status laki-laki itu dalam senyap. Ia juga beberapa kali mengulang pesan lama, lengkunan di bibir itu beberapa kali terbit mengingat betapa serunya mereka dulu.

Arthar cowok seperti kanebo kering versi berjalan, tiba-tiba mengulurkan perhatian yang sampai saat ini menjadi tanda tanya apakah rasa itu hanya untuknya, atau perempuan lain pernah diperlakukan sama sepertinya?

Astaghfirullah!” dia mendesis istighfar karena lagi-lagi pertukaran pikiran mengenai Arthar tak kunjung selesai. “Gue jatuh cinta kok sendirian, mandiri banget.”

Nagine menggelengkan kepalanya berusaha berhenti untuk mengingat Arthar ... lagi. Awas zina, Nagine! Lagi pun, mengapa harus stress memikirkan seseorang yang bahkan dia saja tidak pernah bertanya apakah kamu baik-baik saja?

“Ditahan kangen, tapi diungkapin sadar kalo nggak boleh pacaran. Hilih, paling bener emang rasa tanpa suara.”

Baru saja ia meletakkan ponsel itu dan bergegas terlelap tidur, tiba-tiba dentuman dari luar kaca biliknya membuat gadis itu terjingkat. Jantungnya berdebar takut terjadi sesuatu yang membahayakannya di depan. Terlebih di rumah ini tidak ada penghuni laki-laki.

Ia buru-buru menarik cardigan dan hijab instan yang baru dibeli kemarin dan memakainya. Setidaknya saat terjadi sesuatu yang membahayakan dan dia harus bertemu menjadi seorang jenazah auratnya masih tertutup. Nagine kebetulan saat itu memakai kaos kaki karena udara malam ini begitu dingin hingga menembus telapak kakinya.

Nagine berjalan pelan mendekati sudut kamar yang di sampingnya adalah jendela percis yang tirainya tengah menutup. “Ya Allah semoga bukan sesuatu besar yang akan terjadi.

Pelan-pelan ia menarik sedikit tirai itu. Mengintip dengan salah satu mata. Seketika matanya membulat melihat siapa yang tengah bersusah payah mengetuk pintu kamar itu. Tahu siapa yang ada di depan sana, Nagine langsung membuka lebar tirai itu.

“Gila lo? Ngapain ke sini?” tanya Nagine, ia juga sempat melihat sekeliling memastikan bahwa tetangganya tidak ada yang berlalu lalang. Tidak ada jawaban dari orang di hadapan Nagine yang terhalang kaca itu. Dia mematung seperti syok melihat pemandangan di depannya.

“Lo Gina?” tanyanya masih belum bisa mempercayai apa yang dilihat. Pemilik nama itu tentu saja mengangguk. “Login, Na?”

Astaghfirullah. Nagine baru menyadari akan keterkejutan orang di hadapannya ini. Ia kemudian merekahkan senyum. Lalu mengangguk.

“Gue udah masuk Masjid buat ibadah. Kapan lo mau nikahin gue?” tanya Nagine mengungkit pembicaraan mereka ketika di Bandung saat itu. Terlihat seseorang yang mengiyakan permintaan itu bersusah payah meneguk lidah.

Dia tertawa meremehkan. “Lo pasti boongin gue. Ngaku lu!”

Nagine memundurkan kepalanya tanpa menghilangkan dahi yang kini berkerut. “Dih, siapa juga yang boongin? Gue udah syahadat tiga hari lalu.”

Masih tertawa tak menyangka, laki-laki itu membuang muka. “Ini mah akal-akalan lo biar gue nikahin. Yakan? Ngaku lu!”

Kali ini bergantian Nagine yang tertawa. “Ya Allah Arthar, PD banget lu gue minta dinikahin. Gue serius udah masuk Islam. Sekeluarga. Catet. Se–ke–lu–ar–ga.”

“Dih malah sekeluarga. Nggak percaya gue. Masa cucu pastor yang notabene orang taat di agamanya bisa masuk Islam?” dia meragukan ternyata.

“Heh Arthar! Sekelas ustaz aja bisa murtad! Lo jangan ngeremehin,” kata Nagine.

Arthar menatap lekat seorang perempuan yang ada di hadapannya. Nagine seketika menundukkan pandangan. Ia tak mau timbul syahwat seperti yang dinasihatkan Habiba saat itu.

Hening sedang menguasai. Arthar kalut dengan pikirannya yang terus mempertanyakan keimanan Nagine. Setelah hari di mana mereka bertemu dengan sekilas membicarakan tentang Islam, apa ini jawaban dari pertanyaannya saat itu? Apa Nagine benar-benar sudah masuk Islam?

Jika iya, sudah gawat. Ia terlanjur mengiyakan permintaan konyol yang dipandang bukanlah perkara yang akan terjadi. Rupanya, tak sampai seminggu perkataan itu terwujud.

“Ke Masjid dulu kalo mau nikah,” jawab Arthar asal.

“Kalo gue beneran ke Masjid, lo bakal mau nikahin gue?” tanya Nagine. Gadis itu sepertinya menangkap serius ucapan Arthar.

“Ya.” Arthar mengiyakan saja, toh menurutnya itu juga tidak akan mungkin terjadi.

“Oke, deal!” seru gadis itu.

Tidak, tidak! Arthar yakin kali ini perempuan di hadapannya sedang pura-pura, atau kerap sering didengar sebagai prank. Ya, pasti Nagine sedang membercandainya sekarang.

“Mana kameranya?” tanya Arthar. Dia mengedarkan pandangan mencari sesuatu.

“Kamera apa?” Nagine bingung.

“Lo kan lagi ngeprank gue. Jadi, di mana kameranya?”

Seketika Nagine mengembungkan pipinya menahan tawa. Ini baru pertama kali murid berprestasi di sekolahnya terlihat sebodoh ini.

Ayshadu An-la ilaha illallah. Wa Ayshadu Anna Muhammada Rasulullah.

Netra yang semula memicing fokus mencari kamera di setiap sudut bilik Nagine melalui kaca luar seketika berganti menjadi bulat sempurna dengan dua kalimat syahadat yang dilantunkan tanpa ragu. Arthar ingin menjerit sekarang. Seketika ia lupa dengan tujuannya datang ke sini untuk apa.

“Na, lo ... beneran?” Nagine mengangguk. Berharap kali ini laki-laki itu mau mempercayai jika mereka benar-benar seiman sekarang.

Nagine dapat melihat senyum terbit di bibir laki-laki itu. Ada rasa senang sekaligus terharu yang tidak bisa diutarakan. “Ma syaa Allah, Gina?! Jadi, kita seiman?”

“Semoga seamin juga,” ucap Nagine pelan, tapi masih mampu didengar oleh Arthar. Laki-laki itu mengamininya dalam hati.

“Kenapa kamu ke sini malem-malem?” tanya Nagine mengingatkan tujuannya datang ke sini.

“Mau menjanjikan lo sebuah pernikahan,” jawabnya tersenyum jahil, tapi sukses membuat pipi Nagine memanas.

———————
To be continued.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 27 Juli 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang