Someday
Will be true.
———————Kain yang memanjang hingga menutupi mata kaki—tapi tak sampai menyapu lantai—bewarna hitam itu dipadukan dengan pashmina coklat pekat yang dibalut menutupi bagian dadanya. Sebuah sling bag bewarna senada dengan pashminanya kini bertengger di bahu. Dalam bayangan di cermin itu tampak sebuah ponsel yang sibuk memotret bayangan tersebut.
Dirasa sudah selesai, gadis itu meletakkan kembali benda yang semula ia gunakan untuk mengambil gambar ke dalam sling bag yang ia bawa. Kini dia berjalan menuju rak sepatu yang ada di kamarnya dan mengambil sandal selop hitam dengan gambar beruang.
Hari ini dia akan memenuhi janji untuk mengikuti acara makan bersama yang diselenggarakan Kina tadi, bahkan kini sahabatnya juga sudah on the way menjemputnya. Setelah dipaksa, Aya tak mungkin akan menolak. Apalagi wajah melas itu sungguh menyita sifat dinginnya.
Saat suara klakson tipe motor khas milik Aya, gadis itu buru-buru keluar rumah dan menghampiri gadis yang kini tengah santai duduk di atas motornya dengan keadaan mesin yang masih menyala. Nagine naik ke atas motor, tak lama keduanya kemudian melenggang.
“Sorry, Ay. Gue harus angkat telpon dari Mama dulu. Nih beliau lagi telepon,” ujar Nagine sambil memperlihatkan ponselnya ke Aya. “Lo masuk duluan. Gue nyusul. Gue tau lo nggak suka nunggu.” Aya berdehem, kemudian pamit meninggalkan sahabatnya lebih dulu.
Tungkai yang sedikit malas itu melangkah menjauhi Nagine. Melihat dirinya sudah berada di tengah-tengah kafe, tiba-tiba tangan seseorang di sudut ruangan melambai. Tanda bahwa itu tempat yang akan dihuni untuk melangsungkan birthday party sekaligus reuni SMA.
Arthar ada di sana. Laki-laki itu mengedarkan pandangannya mencari sosok yang sedari tadi ditunggu-tunggu. Wajahnya berubah panik saat Aya datang seorang diri. Bukan tak ingin bertanya, tapi dia terlalu gengsi untuk hal semacam itu.
Sadar apa yang dicari sosok laki-laki di sebelahnya, Dito akhirnya menyuarakan keinginan Arthar. Spontan laki-laki itu terkejut senang, merasa ia diwakilkan. Selain Mahendra, Dito adalah orang yang paling mengerti dirinya.
“Nagine nggak ke sini, Ay?” tanya Dito.
Narasumber belum menjawab, ia memilih untuk duduk di salah satu kursi yang di sebelahnya juga masih kosong agar nanti bisa bersebelahan dengan Nagine.
“Ada, di depan,” jawab Aya yang seketika membuat Arthar menghela napas lega, tapi sepertinya terlalu keras hingga membuat beberapa yang hadir memicingkan mata curiga ke arahnya.
“Lo belom move on ya, Thar!” ujar Kina sambil mencatat pesanan di dalam nota yang baru saja diserahkan waitres. Arthar bergeming. Dia tak memberikan jawaban apa pun.
Dulu, Aya sangat malas dengan topik semacam ini. Sudah jelas ada perbedaan yang begitu kontras, tapi tetap saja teman-temannya ini menjadi shipper sejati. Sekarang sudah tidak lagi. Mungkin saatnya ia yang akan coba belajar menikmatinya juga. Mereka sudah seiman sekarang, semoga juga seamin. Semoga juga Nagine lebih bisa menjaga diri. Mengingat dirinya sendiri bahwa kini sudah masuk Islam dan rasa malu harus tertanam. Sesuai yang Habiba nasihatkan saat itu.
“Assalamualaikum.”
Suara salam tadi serempak dijawab oleh mereka yang hadir. Tidak, kali ini jawabannya bukan hanya dengan jawaban salam, tapi mereka semua spontan melengos setelah mengakhiri jawaban salam dengan kata what? Kecuali, Arthar.
Laki-laki itu masih sibuk memastikan siapa yang ia lihat. Seperti kenal, tapi tidak mungkin itu orang yang ia cari.
“Widih, muallaf udah dateng!” timpal tiba-tiba sosok yang baru saja muncul setelah Nagine bergabung. Mahendra baru balik dari toilet.
Muallaf? Arthar masih sibuk mempertanyakan apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar. Sementara Nagine, gadis itu menunduk malu sambil berjalan duduk di samping Aya yang tetap memasang muka datar. Mau berita seheboh apa pun, percayalah, Aya akan menganggapnya biasa-biasa saja.
“Lo Gina?” tanya Kina. Nagine mengangguk. “Login, Na?” Nagine mengangguk lagi. Serempak mereka terkejut lagi.
“SERIUS LO LOGIN, NA?!” pekik Dito yang masih kurang percaya. Selain Mahendra, Dito memang agak sulit diberitahu dengan cara yang baik.
“Iye. Gue udah Islam. Why? Bukannya bagus, gue seiman sama kalian,” kata Nagine sambil melirik ke arah Arthar yang tengah menatapnya bingung. “Iya ‘kan, Ar?” imbuh gadis itu sengaja meminta pendapat Arthar.
Arthar menggaruk tengkuknya. Dia mengedarkan pandangan salah tingkah. Orang yang selama ini ia kagumi, kini sudah resmi seiman dengannya? Jadi, hari itu ... saat dia bertanya tentang Islam, ternyata tidak lama dia memutuskan pilihan untuk masuk ke agamanya. Islam is a beautiful religion.
Benar-benar Arthar sudah tidak bisa menyembunyikan segala perasaan yang menerpa hati dan pikirannya; senang, haru, kagum, bahkan cinta. Ya, cinta itu bertambah sekarang.
Masih menatap Nagine dengan pandangan yang sudah dinetralkan, Arthar berkata, “Kita seiman, Gin?” tanyanya. Entah apa yang membuat Arthar kehilangan kegengsiannya kali ini. Ya Allah, dia benar-benar senang sekarang!
Nagine menarik dua sudut bibirnya, kemudian mengangguk dengan penuh keyakinan. “Kita bisa ke Masjid, Ar,” kata gadis itu sengaja membuat Arthar mengingat kejadian saat di teras rumahnya hari itu.
Arthar yang semula lupa, kini kembali diingatkan. Kenyataan yang menurutnya tidak akan pernah terjadi, ternyata terjadi. Apa iya dirinya harus menyesal telah menjanjikan sebuah pernikahan saat Nagine sudah bisa memasuki Masjid? Arthar harap itu hanya candaan dan tidak harus direalitakan.
“Lho? Bentar.” Dito menyingkap tangannya. Dia menatap Arthar dan Nagine bergantian. Rupanya kebingungannya bertambah saat Nagine mengucapkan kalimat terakhirnya. “Arthar bilang bakal nikahin lo kalo lo masuk Islam, Gin?”
Nagine mengangguki pertanyaan itu. “Ya, dia bilang saat kita ketemu. Beberapa hari lalu.”
“Berarti lo masuk Islam karna Arthar?” selidik Sindi.
“Big no! Gue masuk Islam karna Allah. Bukan karna Arthar. Cuma setelah masuk Islam, selain bisa mengenali kebenaran, Arthar gue anggap sebagai bonus. Kita seiman, tapi gue masuk Islam murni karena Allah. Bukan Arthar,” jelasnya.
“Terus kalian mau nikah?”
“GAK!”
Kali ini bukan Nagine yang menjawab, tapi Arthar. Selain kebingungan, laki-laki itu panik sekarang. Menikah belum ada dalam list goalsnya tahun ini. Siap secara finansial, tapi belum siap secara mental. Tidak, dia tidak akan menikah tahun ini!
“Gue cuma bercanda hari itu,” imbuh Arthar dengan suara yang lebih pelan. Sebenarnya Nagine tahu Arthar tidak akan serius dengan ucapannya hari itu. Ia yakin saat itu Arhar hanya menyepelekan dirinya karena dinilai tidak akan masuk Islam baik cepat ataupun lambat.
“Bercanda apa bercanda ....” Kompak mereka semua menggoda kecuali Aya, sedangkan Nagine malah menunduk malu dan berharap ia memang akan menikah dengan Arthar suatu saat nanti. I wish.
———————
To be continued.All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.
Indonesia, 1 Agustus 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only 9 Years | lo.gi.na [END]
Teen Fiction[Teenfiction Islami 14+] "Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?" Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan. "Besok gue sekeluarga masuk Islam, cu...