Mas.
———————“Saya siap-siap solat Jum’at ya?”
Nagine mengangguk, Husain mengelus puncak kepala istrinya. Lalu mengambil handuk yang menggantung di perekat dekat kamar mandi yang ada di dalam kamar. Laki-laki itu kemudian masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan Nagine sendirian.
Gadis itu kemudian berjalan menuju lemari kaca yang ada di samping televisi. Nagine membuka lemari tersebut, memilah-milah beberapa thawb—gamis laki-laki—milik Husain yang akan ia rekomendasikan untuk dipakai saat jamaah salat Jum’at nanti. Dia tertarik dengan salah satu thawb putih dengan bordiran di sisi pergelangan tangan.
Nagine meletakkan thawb tersebut di atas kasur. Dia kemudian menarik kursi yang menghadap langsung ke arah cermin. Mengeluarkan pouce abu-abu berbentuk koala dari ransel yang ia letakkan di atas meja rias.
Dia mengambil kapas lalu menuangkan cleanser dengan tutup kuning dan meratakannya ke permukaan wajah sehingga make-up tipis yang tadi ia tampilkan saat akad terhapus. Ba’da salat Jum’at MUA yang sama mungkin akan kembali membantu Nagine merias wajahnya untuk resepsi yang juga diselenggarakan habis Maghrib nanti.
Tidak lama pintu kamar mandi terbuka memperlihatkan Husain dengan pakaian lebih santai. Celana pendek selutut dan juga kaos oblong hitam. Melihat itu Nagine bangkit, lalu mengambil thawb yang tadi ia ambil.
“Saya ... siapin ini buat Pak Husain,” katanya memperlihatkan benda panjang itu ke Husain. “Lebih tepatnya saya sarankan Bapak buat pakai ini. Kalau Bapak nggak suka, nggak papa kok. Bapak bisa pakai yang Bapak mau.”
Husain tersenyum tipis. “Jazakillahu khairan, zaujati,” balas Husain sambil mengambil alih thawb tersebut dari tangan Nagine. “Saya pakai ini aja.” Detik itu Nagine merasa dihargai. Ya, sederhana, tapi tak semua orang bisa mendapatkannya.
Nagine mengangguk sambil tersenyum, Husain kemudian balik ke kamar mandi dan keluar lagi dengan mengenakan pakaian yang sudah Nagine siapkan.
“Sajadahnya ada di mana, Pak?” tanya Nagine.
“Biar saya ambil sendiri aja. Sampean ganti baju aja dulu,” katanya lembut.
“Biar saya bantu aja dulu. Masa udah punya istri apa-apa masih sendiri,” kata Nagine tidak mau dikalahkan. Akhirnya Husain pasrah. Jarinya mengarah pada laci dekat dengan jendela.
“Sajadah dan perlengkapan solat saya ada di situ. Laci nomer dua,” katanya memberitahu. Nagine mengangguk, lalu berjalan menuju laci dan mengambil salah satu sajadah untuk Husain.
Husain menerima sajadah yang diambilkan Nagine, laki-laki itu kemudian pamit untuk pergi salat Jum’at lebih dulu setelah mengucap terima kasih. Memastikan bahwa punggung Husain sudah tidak lagi terlihat, Nagine masuk ke dalam kamar mandi setelah mengambil one set gamis hitam senada dengan warna french khimarnya.
Keluar dari kamar mandi dia menuju luar kamar mencari keberadaan Aya. Agaknya tadi gadis itu diajak oleh ibu mertuanya ke ruang keluarga. Nagine masih mengenakan niqab yang langsung dari khimarnya. Dia memang belum membicarakan ini dengan Husain, tapi ia masih takut salah langkah. Jadi, sebaiknya dia memang menutupi wajahnya dulu.
Nah, benar saja. Nagine melihat Aya yang sedang duduk bersama keluarga besar Husain. Nampak sekali dari raut wajahnya jika gadis itu tengah mati-matian beradaptasi.
“Assalamualaikum.”
Nagine datang dan mengucapkan salam. Membuat seluruh orang yang ada di sini tersenyum ke arahnya sambil menjawab salam dengan serempak. Umi Abidah menitahkannya untuk duduk di dekat Aya. Mungkin sudah memiliki firasat bahwa gadis itu masih sulit menyesuaikan keadaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only 9 Years | lo.gi.na [END]
Novela Juvenil[Teenfiction Islami 14+] "Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?" Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan. "Besok gue sekeluarga masuk Islam, cu...