Chapter 37

173 16 0
                                    

Lapang Dada
Bagaimana pun juga, masa depan tercipta karena adanya masa lalu.
-------

Terkadang setiap malam Nagine suka bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ini serius sudah selesai? Beneran kisahnya harus ditulis sesingkat ini? Pada akhirnya semua orang akan meninggalkan manusia dalam kesendirian, kecuali Tuhan.

Cerita yang sudah dirakit bersama itu akhirnya harus dirobek karena tidak sempurna.

Anehnya Nagine sama sekali tidak menorehkan rasa benci pada laki-laki yang sudah mengoyak lebar hatinya. Ia justru malah berkali-kali meracau, kalau kamu kembali dengan kesendirian, ke mari, aku masih setia dengan perasaan yang sama seperti dahulu kamu meninggalkannya.

Namun, seperti semuanya sudah tidak lagi memiliki harapan. Karena hari ini, Nagine akan menyaksikan hari paling berat dalam hidupnya. DNA. Sebuah akronim asal dari Ditinggal Nikah Arthar. Sepertinya 30 Mei kali ini akan ia tandai sebagai hari patah hati sedunia.

Dalam sebuah senandung yang tengah memberikan feel bahagia, Nagine justru diam-diam meremas kedua sisi gamis yang ia kenakan dengan kuat. Ada rasa sesak yang tidak bisa diutarakan. Hari ini semua dunianya seakan berhenti. Melihat Arthar duduk di kursi pelaminan, tapi bukan bersamanya adalah hal paling menyakitkan.

Semuanya sudah benar-benar berakhir saat kata sah itu keluar dari bibir para orang yang menghadiri pesta sakral ini.

Tiba-tiba Nagine merasa ada yang meraba tangannya lembut. Sudah bisa ditebak siapa dia, Aya. Gadis itu tahu Nagine pasti tidak akan baik-baik saja. Merelakan yang sebenar-benarnya rela belum dialami Nagine. Masih perlu proses untuk mencapai titik itu.

"Its okay. Kamu boleh patah, tapi sebentar aja," bisiknya menguatkan. Nagine menatap suasana langit yang nampak cerah itu, dia kemudian beralih melirik Aya lalu mengangguk dengan senyum yang agak dipaksakan.

"Mau salaman sama Arthar?" tanyanya. Nagine mengangguk, meskipun agak berat. "Yakin? Kalau nggak bisa, mending nggak usah."

"Gue bisa. Kalau gue menghindar, yang ada malah buat Arthar mikir kalo gue belum ikhlas. Kasian juga Adityara kalau dibayang-bayangin sama perasaannya Arthar ke gue. Kayak yang lo bilang ke dia waktu ketemu di Mall waktu itu."

Aya meringis. Dia mengangguk. "Sorry nggak bermaksud, tapi gue setuju sama tindakan lu. So, gas! Kita naik ke pelaminan, kasih doa supaya rumah tangganya nggak ada huru-hara, hehe."

Tungkai kedua gadis itu kemudian dilangkahkan menuju atas pelaminan yang diisi oleh sepasang pengantin yang berdiri sibuk menyalami para tamu. Melihat Nagine yang berjalan ke arah yang menjadi singgah sananya bersama Adityara hari ini, Arthar memalingkan wajah. Matanya seketika memanas melihat senyum kaku yang Nagine tampilkan.

"Lo nggak menepati janji, Na."

Arthar membatin frustasi. Nagine sudah berjanji akan baik-baik saja. Nagine sudah berjanji akan menghadiri pernikahannya bukan dengan senyum terpaksa. Nagine sudah meyakinkannya untuk melakukan hal itu, tapi kenapa hari ini tidak dilakukan? Bagaimana Arthar akan memulai hidup baru jika Nagine belum mengakhirinya?

Tiga hari lalu, Arthar sempat menemui Nagine. Laki-laki itu nekat ke kampus Nagine. Dia ingin memastikan kalau Nagine baik-baik saja meskipun terlihat mustahil.

"Kasih gue keyakinan penuh kalo lo akan baik-baik saja di hari itu. Setidaknya tolong lakuin itu untuk gue. Anggap sebagai permintaan terakhir sebelum semuanya berakhir," ucapnya melas.

"I will do it for myself. Not you. Gue baik-baik aja. Mau galau juga objek yang gue galauin nggak setimpal sama effort yang gue kasih, ya nggak jadi," kata Nagine tanpa ragu, bahkan di sana Arthar bernapas lega. Itu artinya Nagine benar-benar rela ia menikahi perempuan lain.

Padahal jika Arthar tahu, kenyataannya tidak seperti itu. Hati Nagine hancur. Ia remuk. Belum tahu bagaimana cara merakit buku yang sempat dirobek untuk sebuah kertas baru yang akan mengisi nantinya.

Setelah menarik napas dalam saat menaiki tangga tadi, Nagine menjabat tangan Adityara. "Selamat. Semoga sakinah sampai jannah," kata Nagine. Dia tidak kesulitan berbicara. Mungkin sudah melatih diri sejak tadi.

Nagine melirik ke arah Arthar. Dia tersenyum, sangat tulus kali ini. Berbeda dengan senyum kaku yang Arthar lihat tadi hingga membuat Adityara ketar-ketir. Takut Nagine akan merebut suaminya.

Paham bahwa Adityara mengawasi gerak-geriknya, Nagine kembali melirik ke arah istri Arthar. "Udah ah Dit, jangan takut gitu. Cowok lo bukan selera gue lagi kali."

Selain Adityara, Arthar terkejut mendengar kenyataan yang membabat habis hatinya, bahkan Aya sampai melengos tidak percaya bahwa kata-kata pedas seperti itu bisa keluar dari mulut Nagine yang dulu ia sebut agak lain jika menyangkut soal cinta.

"Gue nggak mau munafik, tapi gue masih mencintai lo, Ar. Rasa sayang gue habis di lo. Mungkin nggak akan ada lagi laki-laki yang bisa mengisi hati gue selain lo."

Terkadang persoalan-persoalan yang rumit seperti ini hanya bisa dikalahkan dengan cara tidak mempertahankannya. Bukankah memang sebaiknya memilih pergi daripada harus berjuang mempertahankannya tapi seorang diri?

Sebuah hal konyol yang memerlukan banyak energi, katanya. Ya, katanya. Karena kenyataannya masih belum bisa.

"Savage lo, Gin," bisik Aya bangga. "Lagian buat apa sih ngambil suami orang. Di dunia ini cowok nggak satu kali, takut amat. Paling kalo ada yang ngerebut laki lo matanya lagi karatan. Nggak bisa liat!" desis Aya tidak suka.

Nagine langsung menyenggol lengan gadis itu ketika melihat wajah Adityara yang dipoles make-up merah padam akibat marah, sedangkan Arthar hanya menunduk merasa tidak tahu harus meresponnya bagaimana. Dia lebih baik menjadi pendengar yang baik, daripada berbicara tapi menyakiti.

"Lupain kata-kata gue tadi. Bercanda," ucap Aya sambil menyalami tangan Adityara tanpa aba. Tentu saja pemilik tangan itu terkejut. Emosinya seketika mereda meskipun masih terlihat jelas bagaimana kekesalan itu tertata di wajahnya.

Selepas mengatakan itu, Aya menarik Nagine untuk kembali turun bergabung bersama tamu yang lain. Menemui Dito yang sedang menatap keduanya kasihan misalnya.

"Heran gue sama temen lo itu, To. Kok ya bisa-bisanya nggak ngambil jalan tengah," cerocos Aya begitu berhasil bersama lingkup Dito.

Dito hanya menggeleng. Laki-laki itu juga masih belum bisa berkata apa-apa atas apa yang menimpa sahabatnya. Terlalu tiba-tiba menurutnya.

"Kalau disuruh milih, gue pinginnya ngejalanin epilog tanpa prolog, kisah yang nggak pernah dimulai, tapi berakhir dengan kata selesai. Ya, setidaknya itu lebih baik daripada pernah memulai, tapi menumbuhkan patah hati baru," gumam Nagine. Mereka yang ada di sana menguatkan gadis itu. Menyuruhnya duduk dan menyetuskan sedotan ke dalam minuman gelas yang masih tersegel. Dito memberikannya ke Nagine. Gadis itu meneguknya.

"Gue nggak pernah menyesal telah mengenal Arthar. Ini semua bukan untuk disesali, tapi dipelajari. Di bagian mana lembaran itu kumuh untuk diperbaiki. Bagaimana pun juga, masa depan tercipta karena adanya masa lalu," lanjutnya berlapang hati.

-------
To be continued.

Besok ketemu lagi. Dengan versi barunya. Ready?

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 13 agustus 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur'an

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang