Chapter 11

257 20 8
                                    

Paket Misterius
A promise.
———————

“Hujan dan kenangan.”

Nagine menatap senang tetes demi tetes yang mulai agak mereda dibandingkan tadi. Ia juga agak-agak curi pandang ke arah Arthar yang kini juga khusyuk menatap air yang tengah jatuh ke aspal itu. Sebentar lagi hujan mungkin akan terang, dan Arthar harus benar-benar pulang.

Gadis itu menatap senyap bayangan tubuh Arthar di lantainya. For the first time Nagine duduk beriringan dengan seorang—terlebih laki-laki—di teras rumahnya sendiri sambil menikmati hujan. Jika saja boleh memilih, Nagine ingin hujan kali ini turun lebih lama agar bisa mencegah Arthar untuk pulang.

Pandangan Nagine mulai teralih saat Arthar bergerak merogoh saku untuk mengambil ponselnya. Nagine bisa melihat dengan jelas merk ponsel milik Arthar karena tipe HP laki-laki itu sama seperti tipe HP impiannya. Tidak ada kata iri untuk Arthar. Ia justru merasa bangga karena bisa setipe dengan laki-laki itu.

“HP lo xiaomi, Ar?” Arthar menoleh ke arah Nagine, lalu mengangguk dan fokus kepada ponselnya lagi. “Lo pakai kartu apa? Tri?” Arthar mengangguk lagi, kali ini tanpa menoleh.

Nagine tersenyum sumringah, “Widih, HP lo xiaomi, kartu lo tri, sabilah kalau kita jadi xiaomi-istri.

Arthar terdiam. Dia sedang membatin bagaimana bisa ada makhluk serandom Nagine ada di dunia ini. Ia bahkan hanya bisa geleng-geleng kepala dengan tingkahnya itu.

“Ke Masjid dulu kalo mau nikah,” jawab Arthar asal.

“Kalo gue beneran ke Masjid, lo bakal mau nikahin gue?” tanya Nagine. Gadis itu sepertinya menangkap serius ucapan Arthar.

“Ya.” Arthar mengiyakan saja, toh menurutnya itu juga tidak akan mungkin terjadi.

“Oke, deal!” seru gadis itu sambil berdiri. Arthar ikut berdiri. Hujan sudah sedikit reda sekarang. Tetesannya sudah jarang. Artinya Arthar bisa pulang.

“Gue pulang, ya?”

Kalaupun Nagine melarang, Arthar juga tak akan mungkin berlama-lama di sini. Waktu berjalan semakin larut, Nagine tidak boleh egois. Lain kali—jika Arthar mau—mereka bisa menyambung waktu.

“Mama lo mana? Gue mau pamit.”

“Nanti gue pamatin, Ar. Beliau sekarang lagi di kamar. Lagi renungan kayaknya. Nggak bisa diganggu.”

Arthar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Gue pulang, ya?” Nagine turut mengangguk.

Laki-laki itu kemudian berjalan ke arah motornya dan melesat begitu saja. Jangan salah, Arthar juga sempat berterima kasih untuk jamuan yang Nagine berikan saat ia menumpang teras gadis itu untuk berteduh.

Setelah punggung Arthar tak lagi terlihat, Nagine mulai menghela napas. Netranya melirik ke arah air yang menggenang di jalan. “Hujan pergi ninggalin genangan, lebih parah lagi kalau dia pergi yang tertinggal cuma kenangan.”

Nagine masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil handuk. Ia segera membersihkan diri. Balik-balik ia dikejutkan dengan sebuah paket asing—sepertinya baru diterima—yang ada di meja makan.

“Itu paket siapa?” tanya Nagine kepada mamanya yang saat ini tengah mengupas bawang di pantry. “Punya Mama? Beli apa?” lanjut gadis itu bertanya. Ia memutar-mutar bentuk kotak sempurna paket itu. Di dalamnya pasti kardus, tapi Nagine tidak bisa menebak apa isinya.

“Itu paket buat kamu. Barusan dateng,” jawab Sevina yang membuat Nagine mengerutkan dahi bingung. Ia merasa tak membeli apa pun, jadi paket ini ... milik siapa?

“Salah kirim kali, Ma. Nagine nggak merasa beli apa-apa,” kata gadis itu berhambur mengambil kotak paket itu dan melihat nama penerimanya. Galatia Nagine Zabrine. Tidak ada yang keliru. Berarti benar ini untuknya?

“Orang punya kamu. Kado kali, Gin. Udah sana buka di kamar,” titah sang mama yang langsung Nagine setujui. Gadis itu membawanya ke kamar.

Namun, ia tak langsung membukanya. Nagine beralih mengambil ponsel dan mulai menelepon Aya. Tidak bisa, gadis itu harus konsultasi ke sahabatnya.

Panggilan mulai terhubung.

Apa?

“Ay, gue dapet paket misterius woi. Gue nggak tau isinya apa. Gue nggak beli apa-apa cuy.

Ati-ati, Gin. Takutnya bukan hal baik. Lo harus waspada. Pas buka jangan lupa baca bismillah.

“Em ... tapi gue nonis, Ay.”

Astaghfirullah gue lupa. Yaudah nggak tau, lo komat-kamit apa kek yang bisa mencegah hal buruk.

“Oke-oke, gue buka.”

Tanpa memutus sambungan telepon itu, Nagine menggunting bagian-bagian tertentu agar kotak yang terbalut bubble warp hitam itu bisa terbuka dengan sempurna.

Saat terbuka, Nagine membuka lagi kotaknya. Kesekian kali gadis itu terkejut. Isinya tidak biasa. Seperti benar-benar di luar perkiraan orang-orang.

“Ay ... ini ....”

Nagine mengambil benda berbahan kain lalu menunjukkan kepada Aya, “Mukena sama sajadah.”

Keadaan tiba-tiba hening. Mereka sama-sama bingung.

“Astaga. Gue nonis, tapi dapet kiriman mukena. Ini dari siapa woi?” Nagine berkata dengan frustasi. Tak habis pikir dengan pengirimnya.

Ada surat? Nama pengirim? Lo cari deh ah!

Nagine mengikuti kata Aya, ia mencari sebuah kertas yang mungkin bisa jadi petunjuk siapa yang mengirim. Perlahan tangan itu mulai membuka lebih dalam lagi kotak standar dengan dalam hanya sekitar 10 centimeter. Tangannya berhasil meraih sebuah kertas merah yang Nagine tahu di baliknya pasti ada tulisan.

Ia membalik kertas itu. “Gue dapet suratnya.”

Apa isinya? Spill!

“Dari hamba Allah. Hai Nagine. I know it’s not you, but this is all I dedicate to you. Kalau ini semua nggak pernah kepakai, tolong jangan kasih ini ke orang lain, ya? Kamu simpan sendiri. Apa kamu bisa melakukannya untuk saya?”

Setelah membaca isi surat itu, Nagine melirik ke layar ponselnya dengan wajah yang tidak bisa dideskripsikan. Rasanya dada gadis itu bergemeruh dan semua juga terasa sangat gelisah. “Ay, kok gue takut, ya?”

Entah ketakutan itu apa sebabnya, Nagine pun sama tak tahunya. Namun, akhir-akhir ini keyakinannya sering goyah. Gadis itu sedang berusaha untuk tetap berpegang teguh pada keyakinannya, tapi ketika mengingat hal-hal yang mengganjal seperti; yang ia lihat di ponsel ibunya, kitab Nashoihul ‘Ibad yang belum ia sentuh sampai sekarang, bahkan sampai penjelasan Arthar saat itu membuatnya merasakan sesuatu yang sebelum ini tidak pernah dia rasakan.

“Apa ... ini semua dari Arthar, Ay?”

Ngaco lu! Dia barusan sama lo, ‘kan? Mana mungkin dia. Halu mulu nih bocah.

“Ya ... bisa aja dia beli di online, terus dikirim ke rumah gue langsung? Masuk akal loh, Ay.”

Tanya ke Arthar sana.” Nagine mengangguk. Ia membuka roomchat dengan Arthar tanpa mematikan sambungan telepon itu.

Nagine
ar sorry ganggu
gw dpt paket mukena pdhl gw
ga pesen, apa lu yg kirim?
soalnya cm lu doang yg tau soal
isi hati gue tentang islam
pls itu elu yg kirim?

Tidak lama pesan itu terbalas.

Arthar
bkn gw

Lalu ... siapa?

———————
To be continued.

Mukena dan hamba Allah.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 18 Juli 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang