Masih Sama
Not a secret admirer.
———————Dengan cekatan Nagine berhasil membawa dan menidurkan mamanya di kamar milik wanita itu. Ia perlahan bergerak melepas arloji yang melingkar di pergelangan Sevina juga melepas sandal hak yang memiliki tinggi hanya 3 centimeter. Tidak lupa Nagine juga menarik selimut untuk menutupi tubuh Sevina sampai dada. Wanita yang kerap kali ia panggil mama itu akhirnya tertidur dengan pulas karena efek alkohol.
Tidak ada lagi gumaman kecil yang Nagine dengar selain di luar rumah tadi. Gadis itu masih duduk di sisi ranjang sambil mengamati Sevina. Sebenarnya ini bukan kali pertama Nagine mencium alkohol dari mulut mamanya. Sudah tak terhitung berapa kali ia mencium aroma itu, tapi kali ini sepertinya Sevina berada dalam puncaknya. Wanita itu sampai mabuk padahal sebelum ini ia tak pernah mengalami mabuk berat selain hari ini.
Tentu saja di dalam hati dan pikirannya Nagine bertanya-tanya bagaimana semua ini bisa terjadi?
Setelah memastikan bahwa Sevina tak lagi membutuhkannya, Nagine melirik ke arah celana piyamanya dan bergegas menuju kamar mandi yang letaknya tak jauh dari dapur. Gadis itu sekalian mandi karena merasa bau alkohol masih menyengat di indra penciumannya.
Bersamaan keluar dari kamar mandi, suara ketukan pintu terdengar. Nagine berlari kecil membukakan seseorang di luar sana. Ia terkejut begitu pintu itu terbuka memperlihatkan siapa yang berdiri di depan situ. Seorang gadis dengan balutan pashmina menutup dada juga dipadukan gamis polos abu-abu sedang menatapnya datar.
“Aya?”
Nagine merasa bingung saat gadis seusianya menatap dari atas sampai bahwa. Terlebih mata hitam pekat itu menyorot cemas.
“Are you okay?” tanyanya. Tangan Aya memegang pundak Nagine sambil menelisik tajam. Ia fokus. Berusaha untuk tidak melewatkan satu pun bagian tubuh gadis itu.
“I’m okay. Why? Tumben lo ke sini nggak bilang?” Nagine balik bertanya, ia kemudian menggandeng Aya untuk masuk ke dalam. Sebelum benar-benar masuk Aya sempat menenteng kembali dua paper bag yang sempat ia letakkan sebelum memegang pundak Nagine.
Helaan napas berat yang cenderung melegakan terdengar dari Aya. Gadis itu duduk di sofa sambil mengambil sesuatu dari salah satu paper bag yang dibawa. Ia mengeluarkan sebuah kotak yang bisa Nagine tebak begitu mudah dari aroma yang menyengat. Martabak manis.
“Dalam rangka apa, nih?” tanya Nagine begitu Aya menyodorkan martabak itu ke arahnya. Aya hanya menggeleng saja.
Nagine membuka kotak itu. Ia mengambil potongan terkecil dari martabak yang dibagi 6 potongan. Baru hendak menyuapkan ke mulutnya, Nagine dibuat urung dengan pernyataan yang baru saja ia dengar dari mulut Aya.
“Gue khawatir sama lo.”
“Khawatir kenapa?” tanya Nagine sambil meletakkan martabak yang sempat ia ambil ke tempatnya.
“Habis terakhir gue liat lo dalam keadaan seperti lagi nahan sesuatu gitu, Gin. Gue takut lo kenapa-napa.”
Bukannya merasa senang diperhatikan, Nagine justru penasaran apa yang membuat gadis di depannya tiba-tiba seperti ini.
“Lo kesambet?”
Aya berdecak kesal. “Gue serius malih! Lo ada apa? Jangan dipendem sendiri. Gue jadi ngerasa nggak berguna.”
Nagine menggeleng. “Gue nggak papa. Sangat nggak papa.”
“Bohong! Bilang aja lo nggak mau cerita ke gue!” Aya mengacak hijabnya frustasi. Ia kemudian melepas paksa kain yang menutupi rambutnya dan bergegas masuk ke kamar Nagine tanpa permisi. Benar-benar anak itu memang tidak bisa dikhawatirkan!
Nagine melangkah menyusul Aya. Gadis itu tak lupa membawa martabak dan dua paper bag yang Aya bawa tadi.
“Gue beneran nggak papa,” kata Nagine begitu menutup pintu kamarnya.
“Halah! Lo kenapa jadi beda si? Apa gue ada salah sama lo? Kalo iya bilang, Gin. Ah, jangan-jangan masalah Arthar ya? Masalah yang gue nasihatin lo waktu itu? Astaghfirullah, Gina. Gue nggak bermaksud——” Tanpa permisi Nagine membekap mulut Aya. Bisa nyerocos terus kalau tidak dihentikan dari sekarang. Namun, naasnya Nagine menerima gigitan maut dari gadis itu dan membuatnya mau tak mau melepas bekapannya.
“Sakit,” rintihnya meringis sambil mengibas-ibaskan tangan.
“Ya lo! Lo ada masalah apa si? Kenapa jadi beda gini? Lo banyak diem di kampus. Pulang nggak ngabarin, kita ini sematkul, sefakultas, argh!”
“Aya. Gue masih sama. Masih Nagine yang dulu. Perempuan cantik, baik hati, tidak sombong, taat sama Tuhan, cinta alam dan kasih sayang sesama manusia, patriot yang sopan dan kesatria, patuh, suka musyawarah, rela menolong dan tanpa, em... terus apa lagi, ya?”
Netra itu memutar malas mendengar penuturan seorang gadis yang duduk sambil membawa sepotong martabak dan mendikte dasa dharma pramuka untuk masuk di list kriterianya.
“Ah ya! Gue juga masih sama. Masih ngecrushin Arthar.”
Mendengar kalimat yang baru teringat di otak Nagine, Aya semakin malas mendengarnya.
“Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?” tanya Aya. Ia masih berusaha menyadarkan Nagine rupanya.
“Dih! Sembilan tahun apaan. Orang masih delapan tahun lebih empat bulan.”
Aya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia juga berdecak kesal. “Ya tetepan udah mau sembilan tahun, tapi masih stuck sama orang yang beda iman sama lo! Kalian pasti nggak punya ujung yang sama. Kalian beda Tuhan. Nggak gampang buat Arthar masuk ke agama lo dan nggak gampang buat lo masuk ke agama Arthar.
Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan.
“Besok gue sekeluarga masuk Islam, cuy.”
Air yang semula digembungkan ke mulut langsung muncrat begitu saja saat Nagine mengatakan hal demikian. Ia baru memasukkan air mineral ke dalam mulutnya, tapi kalimat yang baru ia dengar seperti lebih tidak masuk akal lagi sehingga membuat air itu tanpa diminta keluar dengan sendirinya.
“Hah? Gi–gimana?” gue pasti salah denger.
“Lo nggak salah denger. Gue sekeluarga besok mau masuk Islam! Kebetulan lo di sini. Jadi, bisa temani gue baca syahadat di Masjid.”
Aya tertawa sumbang. “Lo boongnya mulus banget.”
“Dih. Gue serius Nagine! Gue besok pas baca syahadat mau pakai atasan mukena yang hamba Allah kasih waktu itu. Cantik mukenanya. Gue suka. Adem dipakai.”
Aya semakin tak mengerti dengan perkataan Nagine yang ia rasa sebuah haluan.
“Halah. Mana mungkin masuk Islam sekeluarga. Agama keluarga lo kuat. Ngayal mulu! Lo aja nggak pernah tau tentang Islam,” kata Aya. Gadis itu masih belum percaya, bahkan 100% tidak akan mempercayainya.
“YA ALLAH!! GUE SERIUS AYA!! BESOK GUE MAU MASUK ISLAM SEKELUARGA!!”
Kali ini Aya semakin tidak percaya karena saat Nagine berusaha meyakinkannya, ia berbicara dengan antusias dan mata yang berbinar. Ini ... serius?
“Lo Gina? Login, Na?”
———————
To be continued.Bagian yang katanya ditunggu-tunggu. Xixi.
All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.
Indonesia, 23 Juli 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only 9 Years | lo.gi.na [END]
Dla nastolatków[Teenfiction Islami 14+] "Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?" Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan. "Besok gue sekeluarga masuk Islam, cu...