You are Enough.
Menyuarakan rasa bukanlah kesalahan.
—————Sesuai dengan ucapan Husain tadi. Para tamu terhormat sudah mulai berdatangan. Kyai Afnan dan istrinya menyambut ramah beberapa kyai dan gus yang sudah hadir. Beliau menuntun mereka untuk duduk lesehan di ruang tamu yang memang khusus disediakan.
Akibat waktu yang semakin malam, kedua pengantin sudah tidak lagi duduk di singgasana. Mereka bergabung bersama orang-orang alim itu. Husain duduk di sebelah kanan kyai ternama seprovinsi, Kyai Taqiyudin. Di sebelah kirinya ada Nagine, setelah Nagine ada ibu mertuanya, Sevina.
Satu hal yang membuat Nagine beruntung memiliki suami seorang gus adalah ia bisa mempelajari hal-hal kecil yang ternyata sangat luar biasa. Seperti adab dalam menyalimi guru; tidak berjalan lagi saat jarak antara murid dan guru sudah dekat, bahkan tangan kanan yang hendak dibuat salim ternyata ditumpu dengan tangan kiri.
“Adem ya, Gin? Mama langsung kehipnotis jadinya. Ternyata agama kita itu tergantung sama lingkungan kita. Ma syaa Allah,” ucap Sevina berbisik.
Nagine mengangguk setuju. Di hatinya seketika lagi-lagi merasa bersyukur karena hatinya sudah beriman kepada satu-satunya Tuhan seluruh alam. Ia juga pernah ingat perkataan Umay bahwa seseorang yang sudah diislamkan dan Allah beri petunjuk untuk dekat kepada-Nya, berarti Dia ingin melihat mereka di surga.
“Ndak ada ibadah terpanjang selain pernikahan, bahkan hal-hal kecil yang terlihat sepele ternyata bernilai pahala. Dengan pernikahan ini, hidup kalian sempurna. Tulang rusuk sampean sudah ketemu. Iman sampean sudah lengkap,” ucap Kyai Taqiyudin sambil menepuk-nepuk pundak Husain. Laki-laki itu hanya tersenyum hormat.
“Njenengan kasih petuah, Pak Kyai. Takut dapet istri cantik lupa siapa yang memberi,” timpal Kyai Afnan. Semua orang serempak tertawa.
“Niat seseorang tidak ada yang tahu, tapi saya berharap apa yang menjadi niat kalian menikah selalu diberi kebahagiaan yang memiliki nilai tinggi. Sejatinya pernikahan itu tidak ada kata mulus, pasti akan ada kerikil bahkan badai yang berusaha untuk menghancurkannya. Menikah itu bukan soal mencari bahagia, tapi ibadah. Bahagia hanya seperkian persennya dari berkah menikah,” lanjut Kyai Taqiyudin. Sejenak menyantap air mineral dalam gelas. “Semoga Allah berkahir kalian keturunan yang solih dan solihah ya, Nduk, Le.” Doa baik dari orang yang tidak perlu diragukan lagi kealimannya ini buru-buru sepasang pengantin itu aminkan. Biasanya doa dari orang alim itu mustajab.
“Selamat menjalani kehidupan baru, semoga saling mencintai tanpa sedikit pun menghapus Allah dari perjalanan kalian. Karena hanya Dia lah yang menjadi satu-satunya alasan mengapa sekarang kalian sudah resmi menjadi pasangan suami istri,” sahut Gus Haddad.
Tak lama dari pembicaraan itu Lukas datang dari luar dan ikut bergabung. Mereka menyambut kehadiran pria itu dengan ramah.
“Ini ayahnya sampean?” tanya Gus Haddad. Nagine mengangguk.
“Ma syaa Allah.”
Pembicaraan terus berlanjut hingga pukul sepuluh malam. Di sana Kyai Taqiyudin dan rombongannya memutuskan untuk pulang setelah memberi wejangan panjang lebar kepada Husain dan istrinya. Dua pengantin itu akhirnya dititah untuk masuk ke dalam kamar mempersilakan istirahat setelah seharian ini tampil profesional di hari bahagia mereka.
“Sampean mandi di sini, saya di luar aja,” kata Husain setelah memutar kenop pintu. Nagine mengangguk patuh, kemudian menyambar handuk dan bergegas memasuki kamar mandi.
Seperempat jam berlalu. Nagine baru keluar dari kamar mandi dan ia sudah melihat Husain duduk bersila menyandarkan punggungnya di atas kasur. Gadis itu menaruh handuknya kembali di tempat sedia kala, kemudian dengan canggung melangkah mendekat ke arah kasur dan menduduki tepinya.
Ia hendak menyalakan ponselnya, tapi Husain lebih dulu bersuara. “Ngapain di tepi kasur? Malu? Masa malu, orang tadi udah brutal gitu.”
Nagine langsung menoleh ke arah suaminya. Kalimat yang baru keluar terasa begitu menyebalkan.
“Saya ini tipe orang yang mencintai orang secara brutal, Mas,” kata Nagine berusaha menghilangkan rasa canggung.
“Masa iya?” tanya laki-laki itu tidak percaya.
“Iya! Saking brutalnya saya sampek kelihatan kayak orang buta soalnya suka sama orang yang beda keyakinan sama saya. Mana delapan ... eh?” astaga! Bahkan dia baru sadar sedang membicarakan masa lalu di depan suaminya. Padahal ini malam pertama mereka.
“Kenapa berhenti?”
“Nggaklah, Mas. Masa saya mau cerita masa lalu sama masa depan saya.”
Husain menutup mulutnya. Menghayati ketidakpercayaan yang baru saja Nagine katakan tadi. Ternyata benar, istrinya sangat brutal.
“Iya sih, masa lalu buruk pasangan kita itu nggak perlu diceritakan ke suami kalau sekarang sudah benar-benar bertaubat, tapi biar saya tebak. Pasti ada orang yang sempat mengisi hati kamu sebelum saya dan setelah ayah kamu,” katanya.
Nagine terdiam. Dia bingung harus menjawab apa.
“Nggak papa. Bilang aja. Saya mau tau cara dia menaklukan hati kamu tuh seperti apa. Apalagi kalian beda iman saat itu.”
“Nggak ada. Saya suka sama orang tuh random. Kayak tiba-tiba bilang, ‘fiks saya ngecrushin dia.’ Padahal sebenarnya saya nggak pernah ada momen yang mengharuskan saya suka sama dia. Ya intinya random, tapi nggak tau kenapa kerandoman ini malah buat saya ketagihan dan beruntungnya orang itu memberikan feedback di waktu yang sama.”
Husain mangut-mangut paham.
“Kalau Mas gimana?”
“Apanya?”
“Ada nggak yang mengisi hati sampean sebelum saya?”
“Ada. Dia ibu saya. Setelahnya adalah kamu,” katanya yang spontan membuat Nagine menyemburatkan rona merah di pipi.
“Masa?”
“Iya.”
“MASA SIH NGGAK PERNAH SUKA SAMA CEWE?”
“Nggak. Cuma sampean, Ning.”
“Yang bener? Saya jadi insecure sama sampean.”
“Insecure karena?”
“Karena saya punya orang di masa lalu yang lebih lama dibanding sama sampean, tapi orang yang jadi masa depan saya malah nggak punya sama sekali.”
“Ning. Saya yakin saya yang akan lebih lama sama sampean. Kita adalah masa depan, masa lalu bukan tolak ukur kita. Setiap orang pasti punya kisah, dan itu nggak harus sama. Kalau seandainya waktu saya di dunia ini bersama sampean nggak lama. Semoga kita bisa dipersatukan di surga nanti selamanya.”
“Caranya?”
“Kalau saya meninggal nanti. Kamu jangan menikah lagi. Seorang istri akan dipersatukan di surga nanti bersama suami terakhirnya. Itu sabda Rasulullah di dalam hadist riwayat At-Thabarani.”
Nagine menunjukkan jari kelingkingnya. “I’ll be with you, I’ll stay be your side. I’m promise.”
“Really?”
“Ya! Saya akan terus bersama sampean until the end of my time.”
“In syaa Allah,” balas Husain sambil tersenyum, kemudian mengelus puncak kepala Nagine.
“Mas juga harus janji sama saya, ya? Kita harus terus sama-sama.”
Husain mengangguk, mengaitkan jari kelingkingnya ke milik Nagine. “Hanya kamu dan itu cukup. You’re enough. Kata-kata sederhana ini, semoga bisa terus membersamai kita.” Mereka mengaminkan doa itu lantas berpelukan seperti teletubbies.
To be continued.
———————Maaf baru kelar urusan. Selamat bertemu di chapter selanjutnya buddies.
All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.
Indonesia, 30 September 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only 9 Years | lo.gi.na [END]
Teen Fiction[Teenfiction Islami 14+] "Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?" Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan. "Besok gue sekeluarga masuk Islam, cu...