Chapter 47

156 16 0
                                    

Benar Jadinya
———————

“Assalamualaikum warahmatullah.” Nagine menoleh ke samping kiri mengakhiri salatnya. Perempuan itu kemudian mengusap wajahnya sambil membaca hamdalah. Ibadahnya hari ini telah selesai. Lega rasanya masih diberi kenikmatan untuk salat.

Ia kemudian berdiri mengambil mushaf Al-Qur’an yang tertutup rapi di nakas samping tempat tidurnya. Dia akan memurajaah kalam-kalam suci dari Allah itu, meskipun masih banyak kelirunya, tapi Nagine tak pernah berhenti untuk belajar, bahkan setiap Jum’at hingga Minggu saat sore hari ia datang ke masjid untuk belajar mengaji. Apa yang diusahakan tidak mungkin mengecewakan jika itu perkara taat, bukan?

Baru dapat satu lembar bacaan Al-Qur’an, sang mama memanggil memintanya untuk cepat-cepat keluar. Nagine lantas mengakhiri bacaannya, kemudian melenggang keluar kamar tanpa melepas mukena. Saat pintu kamar itu terbuka, ia dikejutkan oleh sebuah mobil yang terparkir di depan pekarangan rumahnya.

Apa milik Lukas, ayahnya?

Sevina menghampirinya. “Temen tempat kamu ngajar kamu dateng ke sini, Gin. Ada apa ya?”

Mendengar itu Nagine tak langsung memberikan reaksi. Ia mencoba mengingat-ingat siapa yang memiliki janji dengannya bertemu di sini? Apa Hana? Tapi ia rasa bukan. Hana tidak pernah menelepon atau memberikannya pesan akan datang ke mari.

“Laki-laki apa perempuan, Ma?”

“Laki-laki,” lebih terkejut lagi saat yang datang rupanya laki-laki, “tapi dia nggak sendiri. Rame-rame gitu deh kayaknya, Na. Ada apa sih?”

Rupanya kalimat yang baru saja terlontar itu lebih membuat Nagine terkejut lagi. Laki-laki datang ke sini tidak sendiri. Apa ... Husain?

“HAH! PAK HUSAIN?”

Sevina terpelonjak kaget mendengar teriakan tergesa-gesa dari anaknya. Wanita itu memegang dadanya, jantung terasa hendak lepas. Kebiasaan kebar-baran Nagine memang tidak pernah hilang!

Nagine masuk ke dalam kamar dengan perasaan yang gelisah. Dia menggeser pintu lemari kacanya dan mengambil beberapa gamis untuk ia coba dalam waktu sesingkat mungkin. Tidak mungkin ia keluar dalam keadaan memakai mukena, ‘kan?

Baru mencoba tiga gamis, sang mama meneriakinya meminta untuk ia segera keluar dari kamar dalam keadaan sudah bersiap. Tidak enak jika tamu menunggu terlalu lama katanya.

Akhirnya, meskipun dengan perasaan tidak rela, Nagine keluar dari kamar dengan one set gamis coklat muda dan khimar instan yang senada. Di mata Sevina, anaknya itu tampil sempurna malam ini.

Nagine melangkahkan tungkainya mengikuti arah sang mama berjalan sambil menundukkan kepala. Sungguh ia tidak berani menatap siapa yang bertemu selepas isya tadi.

“Maaf menunggu lama,” ucap Sevina mewakilkan putrinya. Wanita itu lantas menyuruh Nagine untuk duduk di sampingnya. Nagine menurut. Sevina kemudian berbisik, “Coba lihat dulu siapa yang datang. Buat memastikan bener apa engga itu laki-laki yang kamu maksud tadi.”

Awalnya Nagine enggan. Ia sudah sangat yakin jika itu Husain, tapi ia juga tak sanggup menahan malu apabila itu bukan laki-laki yang ia maksudkan tadi. Salah orang sangat berbahaya bukan?

Perlahan kepalanya terangkat dan ... boom! Dia Husain bersama seorang pria dan seorang wanita paruh baya. Lebih tua dibanding ibunya. Ada apa Pak Husein ke sini? Apa ucapannya saat itu benar-benar serius?

“Maaf jika kedatangan kami begitu mengejutkan,” kata pria tersebut yang bisa Nagine tebak adalah ayahnya Husain.

Sebisa mungkin Nagine menahan ekspresi wajahnya untuk tidak membuat satu keluarga ini tersinggung. Tenang, Gina. Semua akan baik-baik saja.

“Tidak apa-apa Pak, Bu, dan Masnya, tapi kalau boleh saya tanya ada apa ya ke mari? Apa Nagine membuat salah selama mengajar?” tanya Sevina was-was.

Iya Ma membuat salah. Lebih tepatnya salah peluk. Sangat tidak elite.

“Oh tidak, Bu. Jika Bu Gina membuat salah, itu bukan ranah saya untuk mendatanginya ke mari. Saya di sini ingin melamar anak Ibu.”

Kalimat terakhir—saya di sini ingin melamar anak ibu—terdengar bagaikan petir yang menggelegar di siang-siang buta. Begitu mengejutkan, bahkan udara seakan tak diberi kesempatan untuk bergantian membuat tenggorokan Nagine tercekat dan napasnya tersendat.

“Boleh coba diulang lagi, Mas?” tanya Sevina. Ia takut salah dengar tadi, sedangkan Nagine hanya setia menundukkan kepala takut tak bisa mengontrol kepanikan dalam wajahnya.

“Saya Husain Ali ad-Dhuha. Datang ke sini di dampingi kedua orang tua saya dengan tujuan ingin meminang putri Ibu yang bernama Nagine Zabrine.”

Husain yang semakin memperjelas tujuannya itu membuat Nagine ketar-ketir sendiri. Bagaimana tidak ketar-ketir? Husain datang ke sini pertama kali dan dengan beraninya mengajaknya untuk menjalani pasang surut hidup bersama-sama?

Ayah Husain mengambil alih. “Saya minta maaf kalau kedatangan kami ke sini begitu mendadak. Saya besok akan kembali ke Surabaya, dan anak sulung saya ini minta waktu kami berdua untuk cepat-cepat melakukan khitbah kepada Mba Gina ini.”

“Oh nggak apa-apa Pak, memang agak terkejut, tapi mohon maaf saya ingin meminta waktu untuk mengambil langkah pinangan ini. Apa boleh?” tanya Sevina. Wanita itu tidak mau salah pilih menantu. Apalagi dengan orang yang tidak ia ketahui. Padahal dulunya sudah sreg dengan Arthar, tapi takdir Allah ternyata berkata lain.

“Boleh, Bu. Sangat boleh malah. Kami beri waktu seminggu apa cukup?”

“In syaa Allah cukup. Saya butuh mengevaluasi orang yang akan menjadi menantu saya, tapi sebelumnya izinkan saya menyampaikan beberapa hal terkait Nagine sebelum nanti Nak Husain ini menyesal.”

“Apa, Bu?” tanya Husain. Jantung laki-laki itu sama berdesirnya dengan Nagine.

“Nagine ini salah satu korban dari rusaknya pernikahan kedua orang tuanya. Saya bercerai dengan ayahnya Nagine kurang lebih 6 tahun yang lalu. Kami berdua juga seorang mualaf. Ilmu agama masih kurang-kurang rasanya dibanding kalian yang mirip seperti keluarga kyai.”

“Ayahnya Nagine juga sampai saat ini diketahui masih memeluk agama non-islam. Jadi, sebelum lanjut ada baiknya kalian pikir-pikir dulu tentang ini.”

Husain bersama kedua orang tuanya sejenak saling pandang. Di sini ada kekhawatiran yang mendalam yang Nagine sendiri tidak tahu penyebabnya apa.

“Kami memutuskan untuk tetap meminang putri Ibu.”

Sungguh ini di luar dugaan. Baik Nagine maupun Sevina sama sekali tidak menyangka jika jawaban ini yang akan keluar dari mulut orang tua Husain. Padahal biasanya orang tua yang paling mengambil berat persoalan-persoalan seperti ini.

“Yakin Pak, Bu, dan Mas?”

Husain mengangguk mantap. Dia membenarkan apa yang barusan ayahnya katakan. “Iya Bu. Saya akan tetap melanjutkan pinangan saya.”

“Tapi setau saya seorang ayah yang beragama non-islam tidak bisa menikahkan putrinya,” ungkap Sevina. Wanita itu masih merasa tidak tenang.

“Memiliki ayah yang non muslim bukan berarti anak perempuannya tidak bisa menikah karena tisak ada walinya. Kita bisa pakai wali hakim apabila saya dan Bu Gina jadi menikah nanti.”

Ma syaa Allah Pak Husein. Anda hebat sekali.

———————
To be continued.

Ternyata bisa update. Hihi. Sampai jumpa besok malam. In syaa Allah.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 23 Agustus 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang