Casablanca
Orang baru tidak perlu bertanggung jawab atas masa lalu seseorang.
———————Nagine dan kedua orang tuanya baru bisa menginjakkan kaki di Surabaya pukul sepuluh malam kemarin. Saat itu langsung bergegas menuju hotel yang dekat dengan masjid Sunan Ampel Surabaya di mana pada tempat ibadah itu Nagine dan Husain akan melangsungkan akad.
Tidak banyak yang mereka undang, hanya keluarga inti saja. Apalagi Nagine, baik di keluarga ibu atau ayahnya dia tidak mengundang siapa pun kecuali Aya. Baginya pernikahan yang terpenting adalah sah. Berbeda halnya dengan Husain, laki-laki itu hidup di lingkungan pesantren yang mengharuskannya dikenal oleh banyak orang.
Terlebih ia adalah anak seorang kyai yang mungkin resepsi nanti berbagai kyai dan gus dari luar sana akan datang untuk mengucapkan selamat dan turut mendoakan pernikahannya dengan Nagine.
Nagine memandang pantulan wajahnya di cermin cukup puas dengan penampilannya hari ini. Balutan dress putih pernak-pernik disertai dengan hijab pashmina yang menutupi dada dan punggungnya, juga ada mahkota kecil yang menghiasi bagian kepala. Cocok menyandar gelar ratu sepertinya.
Dia tersenyum tipis seperti tak menyangka akan melangsungkan pernikahan hari ini. Manusia memang benar-benar tidak tahu bagaimana kehidupan ini akan melaju ke depan. Ia jadi teringat dengan perkataan Ustaz Agam, “Jika kamu tidak berjodoh dengan orang yang kamu kagumi. Semoga kamu berjodoh dengan orang yang mengagumimu.”
Kalimat yang cukup simple sebagai tamparan keras untuk tidak terlalu berlarut dalam kesedihan atas kehilangan seseorang yang bukan ditakdirkan untuk dirinya sendiri. Bisa jadi musibah yang menimpa hari ini, ialah ukiran bahagia di masa depan nanti.
“Ayo Mba Gina, kata ibu dan bapaknya sampean harus segera berangkat ke masjid sebelum mempelai lelakinya datang duluan,” kata Lastri sambil membantu memegangi gaun yang Nagine pakai agar tak sampai membuat gadis itu jatuh.
Perlahan-lahan, ditemani MUA-nya, Nagine berjalan keluar dari kamar. Saat pintu kamar terbuka, sungguh baik Nagine maupun Sevina terkejut.
“Ma syaa Allah Nagine. Kamu cantik banget. Mama nggak nyangka kamu bakalan nikah.”
Berkata seperti itu membuat air mata Sevina membendung di pelupuk mata. Dia terharu melihat putrinya dengan wajah yang ditutupi niqab secantik ini akan menjadi tanggung jawab orang lain.
“Aya belum dateng, Ma?” tanya Nagine mencoba mengalihkan topik.
“Gue dateng tentu aja.”
Suara perempuan dari arah kiri Nagine kontan membuatnya menoleh ke sumber. Melihat siapa yang datang, gadis itu langsung berhambur memeluknya erat.
“AAAA AKHIRNYA BESTIE GUE NIKAH NGGAK SAMA ARTHAR!!” ucap Aya. Karena malu Nagine melepasnya. Gadis itu memukul lengan Aya kesal.
“Mulut lo taruh mana si?! Nggak banget ngebahas cowok itu waktu gue mau nikah. Seriusan gue udah move on dari dia. Nggak usah ngadi-ngadi kalo ngomong, Ay!”
“Nagine.”
Nagine menoleh ke mamanya.
“Beneran kamu udah move on? Mama takut kamu jadiin Husein pelarian,” katanya.
”Astaghfirullah Mama! Ya masa Gina setega itu sih? Nggaklah!”
“Mama cuma takut.”
“Apa pun itu, orang baru nggak perlu bertanggung jawab atas masa lalu seseorang. Kalau seseorang itu sudah siap kembali memulai dengan yang baru, itu artinya dia juga harus siap membuang semua energi negatif dari masa lalu yang sudah lama memeluk batinnya.”
“Jawaban yang baik, Gin! Mama langsung tenang dengernya. Kamu janji nggak akan mengecewakan Mama dan Husein, ‘kan?”
Nagine mengangguk. “Gina janji.”
“Ini baru bestai gue!” sahut Aya menarik kembali Nagine dalam pelukannya. Dia masih rindu, tadi sudah dilepas paksa saja oleh Nagine.
Dengan menggunakan mobil hitam yang Nagine sendiri tidak tahu apa merknya, ia dibawa menuju masjid peninggalan Raden Rachmad. Gadis itu dinaikkan ke lantai atas masjid sambil menunggu Husain datang dan melangsungkan akad di bawah sana.
Jantungnya berdegup mulai tidak stabil. Ada banyak ketakutan yang seharusnya tidak perlu ia khawatir bahkan diragukan.
Lukas menepuk-nepuk bahu putrinya. Pria itu kemudian bangkit sambil mengacungkan jempolnya. “Papa ke bawah ya. Mau menyaksikan kalian sah jadi suami istri,” kata Lukas penuh toleran.
Pria itu bahkan mau masuk ke dalam masjid yang bukan tempat ibadahnya untuk melihat satu-satunya sang putri menikah secara Islam. Meskipun berbeda, dia percaya setiap agama pasti mengajarkan kebaikan. Antara dosa atau tidak, itu menjadi urusan antara dirinya dengan Tuhannya. Manusia tidak ikut andil dalam apa pun.
Lukas duduk di samping Kyai Afnan—ayah Husain—yang memang lebih dulu datang. Jika diperhatikan lagi, selain penghulu dan beberapa pihak keluarga dari Husain, ada tiga santri—dua perempuan satu laki-laki—yang turut menyaksikan pernikahan gus mereka.
Kyai Afnan menepuk lengan Lukas sambil tersenyum. Mereka akan menjadi besan sebentar lagi. Penghulu yang akan menjadi wali hakim atas pernikahan putra-putri mereka pun turut senang dapat melihat secara langsung keberagaman Indonesia.
Di dalam agama Islam, salah satu rukun sahnya sebuah pernikahan itu dibutuhkan wali. Jika tidak ada wali, pernikahan tidak akan sah. Seorang wali juga harus memenuhi berbagai syarat, salah satunya ialah beragama Islam. Dari penjelasan tersebut sudah dikatakan bahwa Lukas tidak bisa menjadi wali dari Nagine karena beliau tidak beragama Islam.
Akad akan berlangsung sebentar lagi. Husain sudah mengambil tempat berseberangan dengan penghulu. Jantungnya juga tak kalah berdegup kencang dengan Nagine. Ya Allah lancarkan.
Sejak kemarin malam ia takut tak bisa mengucap akad salam satu tarikan napas. Berkali-kali ia menepis pikiran itu karena biasanya pikiran buruk selalu melahirkan kejadian yang negatif. Husain harus bersugesti dengan baik. Ia percaya Allah akan melancarkan niat baiknya.
Wahdak inta nashibii. Nuril a’in ya habibii. Ghairak maba’syaq hadaa.
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq.”
Denyut jantung Nagine reflek berdebar. Air matanya menetes tanpa diminta. Sebuah spontanitas yang tak ia pahami. Rasanya campur aduk. Bahagia dan haru menjadi satu.
Dari atas sana ia melihat Husain di bawah yang kini tengah mendongak menatapnya dengan seulas senyum. Seketika ia membuang muka buru-buru karena malu. Aya yang menjadi saksi perbucinan halal ini menjadi greget ingin menjambak pashmina yang membaluti kepala Nagine dan merusaknya. Dia juga pingin nikah!
“Lo pikir gue di sini lagi ngontrak?” tanya Aya sinis.
Seharusnya ia menjadi salah satu orang yang berbahagia setelah pihak keluarga, tapi rupanya ia menjadi orang paling menyebalkan karena iri dengki Nagine sudah diambil orang lain.
“Gin! Pokoknya jok motor lo cuma buat gue. Kalo lo mau boncengan sama dia pake motor lain aja!”
Sevina yang tadinya sudah menangis terharu hendak membantu sang putri turun menemui suaminya, kini menatap Aya terkekeh.
“Semoga kamu cepet nyusul ya, Ay. Kalo obatnya udah habis kayak gini jadi kasian nggak ada yang bisa ngerawat dengan baik,” kata Sevina.
Aya mengerucutkan bibirnya, dia mendekatkan mulutnya ke telinga Nagine dan berbisik, “Sialan nyokap lo.”
“Tante denger ya, Ay!”
———————
To be continued.Sampai ketemu besok, frens.
All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.
Indonesia, 21 September 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only 9 Years | lo.gi.na [END]
Teen Fiction[Teenfiction Islami 14+] "Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?" Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan. "Besok gue sekeluarga masuk Islam, cu...