Tentang Rasa
Perasaan seseorang memang tidak mudah untuk orang lain kendalikan.
———————Riuh suara yang saling berucap selamat hari Minggu sudah agak mereda. Para jemaat juga sudah selesai bersalam-salaman dan bersiap mengantre hendak bersalaman dengan pendeta dan petugas lainnya di depan pintu depan.
Selepas keluar dari Gereja, Nagine berjalan ke luar dari pekarangan tempat ibadahnya dengan ponsel yang ia tempelkan di telinga tanda sedang menelepon seseorang. Gadis itu terdengar menghela napas berat karena tak kunjung mendapat respon dari orang seberang.
Namun, netra itu sudah tak lagi fokus saat melihat seorang laki-laki duduk di motor seberang Gereja sambil melambaikan tangan ke arah seseorang yang sepertinya juga orang Gereja. Dengan celingukan Nagine mengintip seseorang ke dalam pekarangan tempat ibadahnya mencari siapa yang laki-laki itu cari, dan mengapa ia tidak masuk ke dalam saja.
Karena keramaian orang-orang di sana, Nagine tidak tahu orang mana yang laki-laki itu cari. Ia tertarik untuk menunggu orang tersebut keluar dan menghampiri orang seberang sana. Tidak lama, seorang nenek-nenek datang dengan langkah pelan ke arah laki-laki itu. Nagine tahu siapa yang ditunggu sekarang.
Netra gadis itu juga masih sibuk curi-curi pandang kepada dua orang lawan jenis yang berbeda umur cukup jauh.
“Gimana ibadahnya, Oma?” tanya si laki-laki.
“Super seneng. Tadi Gereja mengundang khotbah pendeta luar. Dia fasih banget bahasa Jepang, menurut Oma itu keren banget.”
Laki-laki yang dikenali cucunya itu tersenyum.
“Kenapa? Kamu mau coba?” tanya omanya.
Dengan cepat dia menggeleng sambil memegang tengkuknya. “Kita beda, Oma.” Sang oma hanya mengangguk sambil tersenyum cukup miris, ... menurut Nagine.
Atensi gadis itu tiba-tiba teralih saat ponselnya berdering. Ia kemudian mengangkat panel hijau yang bergerak-gerak ke atas. Orang dari benda pipih lebih dulu membuka suaranya.
“Kali ini ... bisa jemput?” pertanyaannya barusan tidak lama membuat Nagine memasang raut wajah kecewa. “Nggak bisa, ya? Oke deh nggak papa, thank you, Pa.”
Sambungan telepon itu terputus dengan perasaan kecewa Nagine yang mendominasi. Sebelum pergi bersama Aya nanti, Nagine ingin sekali menghabiskan waktu bersama super heronya. Berkali-kali gadis itu mencoba untuk mengajaknya pergi bersama, tapi alasan yang diberikan selalu sibuk.
Kali ini Nagine memutuskan untuk menyerah. Ini yang terakhir kali ia mengemis waktu kepada cinta pertamanya. Di sisi lain, ada kekuatan besar yang menguatkan gadis itu. Nagine percaya papanya tidak akan membiarkan ia tergeletak begitu saja. Suatu saat, papanya pasti akan menemuinya. Kembali lagi seperti dulu. Ya, semoga.
Tidak lama go-ojol yang ia pesan sampai. Setelah menerima helm dan mengenakannya, Nagine naik ke motor dan melesat. Ia memejamkan mata pelan berusaha memfokuskan kesejukan angin yang menerpanya. Dia seketika mendapatkan penyembuhan dari lukanya. Sambil memegangi dada ia berkata dalam hati, “Nggak papa kita sembuhin lagi. Tuhan selalu berkati kita,” katanya lirih.
“Alamat tujuannya sesuai aplikasi, ‘kan, Mbak?” tanya sopir ojol yang diiyakan Nagine dengan nada suara sedikit tinggi.
Gadis itu sampai di depan sebuah bangunan bertingkat yang memiliki dua pintu yang menjulang. Setelah membayar ongkos, Nagine turun dan menggeser gerbang dengan tinggi 150 centi itu. Ia melangkahkan kaki masuk ke dalam karena pintu sudah terbuka dan mulai menyelonong masuk ke dalam kamar Aya. Iya, gadis itu ke rumah Aya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only 9 Years | lo.gi.na [END]
Teenfikce[Teenfiction Islami 14+] "Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?" Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan. "Besok gue sekeluarga masuk Islam, cu...