Chapter 23

208 19 4
                                    

Perubahan Zaman
Di zaman sekarang, sangat jarang orang-orang tidak tergiur dengan fashion yang stylish. Manusia boleh eksis dalam berbusana, tapi harus sesuai dengan aturan agama.
————————

Sungguh, setan memang pandai dalam menyesatkan manusia. Parahnya, manusia sendiri justru sering kali hanyut dalam menikmati kedustaan itu. Penyesatan-penyesatan yang dibalut dengan sebuah kalimat yang terucap dari bibir manusia saja berhasil membuat keimanan itu turun, bahkan sangat drastis.

Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallah Anhu pernah bertanya kepada Rasulullah, “Siapa orang yang paling berat ujiannya?”

Rasulullah SAW menjawab, “Para nabi, kemudian kalangan selanjutnya dan selanjutnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar (kekuatan) agamanya. Jika agamanya kuat, maka ujiannya akan bertambah berat. Jika agamanya lemah, maka akan diuji sesuai kadar kekuatan agamanya. Ujian tidak akan berhenti menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka bumi dengan tidak mempunyai kesalahan.” Hadits riwayat Tirmidzi nomor 2398, an-Nasa’i nomor 7482.

Manusia memang bukan seorang nabi yang imannya terus meningkat, juga bukan seorang malaikat yang imannya selalu stabil. Ia hanya seorang manusia biasa yang memiliki kadar keimanan naik turun. Namun, Allah selalu menyuruh manusia mengambil pelajaran dan menjadikan para nabi sebagai suri tauladan sehingga apa pun yang menimpa nabi-nabi terdahulu selalu punya ujung menjadi pelajaran bagi manusia untuk dilakukan sebisanya. Jadi, ketika ada seseorang yang menegur untuk mencontoh sikap-sikap nabi terdahulu ketika mendapat masalah, jangan jawab, “Ya wajar, dia kan nabi,” tapi “Iya, jazakallah/jazakillah saya akan berusaha semampu saya.”

Seperti saat ini, Nagine baru melihat emosi di wajah sang mama yang sepertinya menjadi puncak emosi wanita itu. Setelah seharian kemarin ia dicueki, sungguh kali ini mamanya mau berbicara lagi tapi dengan nada yang begitu tinggi.

“Kita pindah karena keyakinan kita, ‘kan, Gin? Terus kenapa kamu melanggarnya seperti ini? Apa ini? Hijab yang dililit ke belakang, bahkan kulot yang sejak kapan kamu berani memakai itu selama menjadi muslimah?” tanya wanita itu sambil memegangi benang-benang yang sudah menjadi sehelai kain.

Wanita itu terlihat menghela napas seraya beistighfar menenangkan diri di hati. “Di jaman sekarang perempuan mana sih yang nggak tergiur dengan fashion yang stylish? Kamu boleh eksis dalam berbusana, asal harus sesuai dengan perintah agama. Tolong jadi wanita yang pakaiannya diatur agama, bukan dunia.”

Jeda seperkian detik, Sevina mengusap wajahnya kasar. “Nagine tolong. Hati Mama sakit lihat kamu kayak gini,” katanya.

Gadis itu mendongak menatap sang mama. “Ma, iman seseorang naik turun. Wajar. Lagian Nagine nggak pakai yang ketat-ketat, masih pakai ciput, rambutnya nggak kelihatan, fine, kan?”

“Iya, rambut kamu nggak kelihatan, tapi lekuk tubuh kamu terpampang dengan jelas. Dada yang jadi aurat kamu lupa, ‘kan? Ya Allah Nagine, Mama kira kamu udah berdoa diperkuat imannya, tapi ternyata kamu yang tidak mau mempertahankannya.”

Bagai dicambuk dan bukan tiupan angin kosong, Nagine benar-benar tertampar dengan kalimat yang mamanya ucapkan. Sevina benar, kenyataannya Allah benar-benar menanugerahinya keimanan, tapi ia lupa untuk mempertahakannya.

Tanpa berkata apa pun, Nagine kembali masuk ke dalam kamar. Dia berkaca sekarang. Memerhatikan penampilannya yang entah sejak kapan kulot lama yang tak pernah ia pakai kini kembali melekat. Karena selama menjadi orang nonis saat itu, dia lebih menyenangi memakai dress dengan panjang sampai 10 centi di bawah lutut.

Jika dipikir ulang, sebetulnya Nagine tidak tahu apa motivasi gadis itu memakai outfit semacam ini. Hodie army dipadukan dengan kulot warna green tea serta hijab senada dengan kulot. Walaupun tak terlihat ketat, kesalahannya adalah melilitkan hijab square itu ke belakang sehingga terlihat seperti mencekik lehernya.

Setelah beberapa kali menghela napas panjang dan menyadari kesalahannya, Nagine menggeser lemari kacanya dan mengambil tunik lengan panjang bewarna mint full kancing. Kulot itu hampir terlihat seperti rok karena tuniknya hampir setara dengan gamis.

Hijab square yang terlihat seperti mencekik kini kembali anggun dengan salah satu sisinya diletakkan ke belakang, dan satunya lagi dipinned pada bahu sebelah kanan. Gadis itu kembali keluar dengan perasaan sekaligus pakaian yang lebih baik sekarang.

Begitu membuka pintu kamar, netra itu memejam terkejut melihat Sevina berdiri di depan kamar putrinya. Wanita itu kembali tersenyum setelah seharian berpuasa untuk tidak menarik sudut bibir. Nagine merasa lebih baik ketika melihat senyuman itu.

“Ini lebih baik dari yang tadi. Pinggul dan paha kamu nggak terlihat lagi sekarang,” kata Sevina.

Nagine tersenyum. Kemudian pamit meninggalkan rumah. Seperti biasa, gadis itu mengendarai motornya. Sekitar 20 menit, ia sampai di tempat parkir yang dekat dengan gedung fakultasnya. Di sana dia menjumpai seorang perempuan memakai seragam olahraga tengah kesusahan membawa tumpukan buku paket itu sambil menjinjing tas laptop dan tote bag yang terlihat berat.

Gadis itu berjalan menuju target berinisiatif meringankan aktivitas yang terlihat merepotkan itu.

“Mau dibantu bawain buku paketnya? Atau tas laptop? Atau lagi tote bagnya?”

Seseorang yang berjalan beriringan di samping Nagine itu menggeleng sambil tersenyum tidak enak.

“Nggak papa, sini saya bantuin,” ucapnya memaksa. Nagine melihat ke arah perempuan itu. Dahinya seketika berkerut. “Loh? Kamu bukannya yang ngasih air botol ke saya itu, ya?”

Si lawan bicara nampak berpikir ulang. Ekspresinya kemudian terlihat seperti orang yang baru mengingat sesuatu.

“Oh, bukan. Itu dari hamba Allah, Kak. Maaf ya, itu perintah,” katanya. Nagine mengambil alih tumpukan buku tebal itu.

“Nggak apa-apa,” jawab Nagine seadanya. Beberapa detik suasana hening, gadis itu kemudian membuka suara lagi, “Siapa hamba Allah itu?” tanya Nagine.

Tak langsung dijawab. Pemakai seragam olahraga SMA Budi Djaya itu terlihat sedang mengimbangi pertanyaan Nagine. Semakin dibuat penasaran, gadis itu mengulangi pertanyaan yang sama.

Dia seperti gelagapan. Bingung harus menjawab bagaimana. Terlihat mengedarkan pandangan untuk mencari pertolongan, mungkin.

“Hai. Kamu denger saya, ‘kan?” Nagine mengulang lagi. Gadis itu juga seperti mencari sesuatu agar bisa mengetahui nama perempuan di sebelahnya. Ketemu, ada di tumpukan buku paket itu. Nindia namanya.

“Em, anu, Kak. Itu ... saya dapat amanah dari seseorang,” katanya ragu.

“Siapa? Boleh saya ketemu dia?” tanya Nagine.

“Saya—”

“DIA!!”

Takdir sepertinya belum berpihak pada Nagine. Seseorang memanggil Nindia dari belakang dan buru-buru mengajak gadis itu untuk masuk ke dalam aula kampus karena guru yang mendampingi mereka melakukan kunjungan ke kampus ini sudah menunggu katanya.

Mungkin belum saatnya. Nagine yakin dia akan bertemu hamba Allah itu. Cepat atau lambat dia akan menemukannya.

———————
To be continued.

Yang ngikutin Husain Basyaiban di Instagram: iya saya sedikit menambahkan penjelasan beliau tentang manusia yang harus mencontoh sikap nabi ketika mendapat masalah sebisanya.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 30 Juli 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang