Chapter 18

233 20 3
                                    

Mahasiswa FK
———————

Setelah sehari menjadi seorang muallaf, Nagine dan Sevina banyak belajar dari dua perempuan yang kini tengah telaten mengajarkannya salat. Membetulkan hafalan bacaan salat keduanya secara bergantian. Mereka sama sekali tak merasa kesulitan, justru semakin dibuat seolah-olah candu.

Ketika keduanya sudah hafal sempurna syarat sah dan rukun-rukun salat, baru kini Aya dan Habiba akan mengajak saudara seiman mereka sejak kemarin pagi itu pergi berbelanja baju-baju muslimah; berbagai macam gamis dan hijab.

Nagine dan Sevina keluar berbelanja berpakaian seperti kemarin. Tubuhnya dibalut dengan dress komplit dengan cardigan serta syal yang berubah haluan menjadi sebuah pashmina. Setelah bersyahadat kemarin, mereka dengan sungguh-sungguh akan melaksanakan semua perintah Rabb-nya dan as-Sunah Rasul-nya

Di sela sibuk memilah-milih gamis, seseorang dari seberang toko tersenyum memerhatikan empat orang yang sibuk memantulkan diri di cermin. Eh tidak, mungkin orang itu hanya terfokus pada satu orang saja. Di toko yang berbeda orang itu juga memilih one set gamis lengkap dengan sehelai cadar.

“Ini dibungkus seperti kado. Tolong juga diberi kartu ucapan yang berisi; selamat mencoba dan semoga istiqomah. Dari hamba Allah,” ucapnya setelah memberikan benda yang ia beli ke kasir. Petugas perempuan itu tersenyum lalu menuruti kemauan customernya.

Setelah ia benar-benar menerima one set gamis itu yang terletak di dalam kotak kado, kakinya melangkah mendekat ke arah salah satu pelanggan yang juga tengah sibuk memilih gamis anak.

“Permisi,” ucapnya pada seorang wanita yang tengah menggendong anaknya yang masih balita. Hanya wanita itu yang menjadi satu-satunya pelanggan selain dirinya.

Wanita yang ia maksud mengangguk sambil tersenyum ramah.

“Boleh bantu saya?”

“Bantu apa?”

“Memberikan kado ini kepada seorang perempuan yang memakai dress motif bunga aster dan cardigan coklat di toko seberang.”

Netra wanita itu mengikuti arah jari telunjuk laki-laki di hadapannya. Dia mengangguk menerima permintaan tolong itu.

“Ini bilangnya dari siapa, Mas?”

“Hamba Allah. Tolong jangan beritahu kalau saya yang memberikan ini.”

Meskipun ragu, wanita itu mengangguk lalu berjalan menghampiri orang yang dimaksud. Nagine yang semula memasukkan beberapa gamis ke dalam keranjang seketika terjeda dengan kedatangan seorang wanita yang tengah menggendong anaknya.

Wanita itu mengulurkan kotak yang baru didapat sesuai dengan perintah. “Ini untuk kakaknya. Dari hamba Allah.”

Nagine memandang mamanya, lalu memandang ke arah Habiba dan Aya yang kini tengah memandangnya sambil tersenyum yang entah apa makna dari senyum itu.

“Apa hamba Allah itu tidak menyebutkan namanya?” tanya Nagine. Wanita itu menggeleng karena ia sendiri pun tidak tahu siapa. “Siapa nama Ibu?”

“Retna.”

“Bu Retna, saya tidak mau menerima bingkisan ini jika saya tidak tahu siapa yang memberi. Takutnya disalahgunakan. Tolong bilang kepada siapa yang memberi ini, bilang saya menginginkan dia untuk menemui saya secara langsung, bukan sembunyi-sembunyi seperti ini.

“T-tapi, Bu ....”

“Bu Retna. Saya tidak mau menerimanya. Tolong serahkan kembali kepada dia yang memberi bingkisan ini. Ucapkan terima kasih juga untuk mukena dan air mineralnya. Mukena itu sudah saya pakai. Tolong bilang itu, ya?”

Bu Retna menyanggupi permintaan Nagine. Wanita itu kemudian pergi membawa kembali bingkisan yang laki-laki itu percayakan kepadanya. Setelah kepergian Bu Retna, Nagine kembali melanjutkan aktivitas yang sempat terjeda.

“Siapa memangnya, Na?” tanya Aya.

“Masih orang yang sama, Ay. Dia yang ngasih gue mukena.”

“Wah, jangan-jangan itu pengagum rahasia kamu, Gin. Bisa loh itu buat ta'aruf,” timpal Habiba dengan nada sedikit menggodanya.

“Kak Biba. Nagine aja baru masuk Islam kemarin, masa ngejalanin ta'aruf, sih. Nagine masih mau belajar ilmu agama lebih jelas lagi.”

Hilih, yakin lo? Paling habis ini makin menggebu-gebu pengen nikah sama Arthar. Secara udah seiman.” Nagine menyengir saja mendengar itu. Aya ada benarnya juga.

“Cinta sudah menjadi fitrahnya manusia, Gin, tapi jangan sampai kecintaan kamu kepada manusia menghilangkan kecintaan kamu kepada Yang Menciptakannya. Allah,” kata Habiba.

Tuh dengerin!” serempak Sevina dan Aya.

“Jadi, kalo misalkan Nagine suka Arthar dan pengen ngajakin dia nikah nggak boleh ya, Kak?”

“Boleh, kok. Asal tau batasnya dan jangan sampai mendekati zina. Kamu jelas tahu kalau Islam benar-benar mengharamkan pacaran. Jangan sampai perasaan cinta kamu ke Arthar lebih besar daripada ke Allah. Jadi, renungkan semuanya.”

———————

Datang ke kampus saat ini adalah sebuah pilihan yang salah bagi Nagine. Masalahnya sekarang ini dia dipandang dengan tatapan; heran, terkejut, kagum, dan mungkin ... juga tidak suka. Gadis itu tak suka menjadi pusat perhatian seperti ini karena pakaian yang ia kenakan.

Gamis navy dipadukan dengan khimar merah maroon. Sebagian orang mungkin kagum karena Nagine berhasil menjadi seorang muslimah yang baik sejak kalimat sakral itu terucap dari bibirnya. Yang mengejutkan bagi mereka adalah karena semua masih begitu tiba-tiba. Tidak lama kartu kependudukan gadis itu pasti juga akan mengejutkan para dosen dan teman sekelasnya yang lain.

Sebelum-sebelum ini tak pernah ada isu seorang Galatia Nagine Zabrine untuk masuk ke kehidupan Islami seperti ini. Apalagi ia langsung tertutup. Siapa coba yang tak memandang dengan terkejut?

Sambil menunggu Aya yang saat ini ke toilet, gadis itu duduk di kursi percis depan kelasnya. Dia melihat orang-orang berlalu lalang tanpa mengabaikan kehadirannya seperti biasa. Ya Allah, gadis itu benar-benar risih dipandang seperti itu.

Tiba-tiba seorang laki-laki datang menghampiri Nagine. Ia mengenal dengan baik siapa Nagine dan Nagine juga mengenalnya dengan baik. Dia Mahendra, satu-satunya laki-laki yang memiliki peran menjadi sahabat Arthar ketika SMA.

“Lo Gina?” Nagine mengangguk sambil tersenyum. Nampak sekali wajah terkejut Mahendra. Sepertinya Nagine harus membiasakan diri dengan tatapan seperti ini. “Login, Na?”

“Iya gue login. Assalamualaikum saudara seiman,” kata Nagine diakhiri kekehan yang semakin mengundang wajah terkejut Mahendra. Gila, ini tidak pernah ada di dalam pikiran laki-laki itu.

“What?! Seorang cucu pastor dan anak dari seorang pendeta masuk Islam?!?!” ucap Mahendra terkejut menaikkan nada bicaranya satu oktaf. “Lo nggak lagi bercanda ‘kan, Gin?”

“Gue bukan orang yang suka mempermainkan iman” jawabnya mantap.

“Kok ... lo bisa masuk Islam?”

Kok-nya dibuang, jadi bisa.”

“Gue serius ya Allah.”

“Subhanallah Mahen gue serius!!”

“Lo bilang apa tadi? Subhanallah?” Nagine mengangguk. “Astaghfirullah anj*ng gue aja lupa kalo lo udah Islam.”

"Mulut lo nggak mencerminkan remaja Islami!” tegur Nagine. Gadis itu kemudian berdiri dan masuk ke dalam kelas karena kesal melihat teman SMA-nya yang kini menyulap diri menjadi mahasiswa FK. Harusnya otak laki-laki itu sudah cukup dengan kebingungan kuliahnya, bukan mengurus keimanan Nagine seperti ini. Bikin tambah pusing aja!

———————
To be continued.

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 25 Juli 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Only 9 Years | lo.gi.na [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang