Buddies, sekali lagi. Saya nulis cerita ini sama sekali bukan bermaksud untuk bersikap SARA ataupun rasisme. Saya tidak berniat untuk menjelek-jelekkan agama lain, tapi di sini saya menjawab sesuai dengan pandangan agama saya, dan alur cerita ini memang perpindahan antara agama lain ke Islam. Jadi, bila ada ketidaknyamanan, tolong chat saya di pesan pribadi, ya.
.
Serenity
———————Jari-jemari Nagine meraba one set mukena putih lengkap dengan sajadah ka’bah warna yang masih senada dengan mukena polos itu. Sambil menjewer atasan mukenanya, Nagine melihat kagum bayangan mukena itu di depan cermin panjang yang ada di kamarnya.
Nagine masih tidak sadar jika tangan itu bergerak menutup sebagian tubuhnya dengan benda berkain itu. Iya, Nagine memakainya tanpa sadar, bahkan Aya sampai menganga takjub di layar ponsel karena untuk pertama kali ia melihat Nagine mengulum senyum sambil memakai mukena itu.
Awalnya, Aya mengira bahwa ini adalah bentuk toleransi dari Nagine, tapi setelah melihat salib yang terpajang di dinding dekat cermin kamar gadis itu, ia jadi urung. Nagine memang menjunjung tinggi sebuah perbedaan, tapi sangat tidak mungkin orang setaat dia bisa tersenyum penuh makna—yang Aya sendiri tak paham apa maknanya—saat memakai mukena yang jelas-jelas bukan bagian dari agamanya.
“Walau agak congkak, gue cantik banget kalo pake mukena,” katanya. Tatapan dan senyuman Nagine benar-benar menunjukkan kesenangan. Ada rasa tersendiri yang saat orang-orang melihatnya pasti akan sulit mendeskripsikan semuanya. “Setelah kalimat itu, memakai mukena ini gue berasa dipeluk lagi, tapi kali ini lebih hangat. Sangat hangat.”
Tanpa Nagine sadari, di layar ponsel gadis itu, Aya tengah mengerutkan dahi ketika mendengar setelah kalimat itu yang terucap di bibir Nagine. Kalimat yang mana?
Masih terlihat Nagine belum menyadari semua yang ia lakukan. Namun, kali ini dia berjalan mendekati tote bag yang ia pakai saat kuliah. Terakhir dia menyentuh benda berbahan kain itu beberapa hari lalu. Isi di dalamnya sama sekali belum tersentuh.
Tangannya mulai bergerak untuk mengambil kitab yang Nagine pinjam dari kakak tingkatnya beda fakultas. Perlahan ia membuka isi kitab itu sambil duduk menghadap layar ponsel masih dalam keadaan belum sadar. Aya sengaja tak berkomentar ingin melihat apa yang Nagine lakukan. Gadis itu merasa tidak asing dengan sebuah benda yang dibawa Nagine. Ia rasa pernah melihat bahkan membacanya.
Aya ingat sekarang. Dirinya pernah membacanya saat SMA dulu. Sebuah kitab yang akhirnya membuat gadis itu memutuskan untuk lebih taat di jalan Allah. Kitab yang mengarahkan jiwa pembacanya untuk dapat hidup dengan budi pekerti yang luhur alias berkarakter yang baik.
Nagine tak sebetul paham dengan isinya, bahkan ada hadist yang ditulis dalam bahasa Arab yang ia tak mampu membacanya. Namun, hal-hal seperti itu bukannya membuat semangat Nagine menurut, tapi justru sebaliknya. Keberuntungannya gadis itu tipe orang yang langsung membaca dari tengah alias meloncati sebuah halaman, jika masih tidak paham dengan poinnya, ia akan balik membaca halaman sebelumnya.
Sampai di halaman 95, Nagine tertegun dengan sebuah kalimat perubahan zaman itu menakjubkan, tapi kelalaian manusia lebih mengherankan. Sadar apa yang ia baca, Nagine kembali menutup buku itu dengan perasaan yang bercampur menjadi satu. Ada rasa sedih, tapi ia tak tahu apa penyebabnya. Ada rasa yang ingin sekali ia ungkapkan, tapi tak tahu bagaimana caranya. Nagine benar-benar kesulitan.
“Gin.”
Suara yang berasal dari ponsel itu membuat Nagine melirik ke benda pipih yang tergeletak berdiri dengan guling sebagai penyangga. Ia seketika menepuk jidatnya karena tak sadar sedari tadi ia masih terhubung dengan Aya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only 9 Years | lo.gi.na [END]
Ficção Adolescente[Teenfiction Islami 14+] "Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?" Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan. "Besok gue sekeluarga masuk Islam, cu...