First Day
One of Nagine’s happiness.
———————Semua mata pemuda-pemudi kisaran 16-17 tahun ini memusat pada Nagine. Dengan tatapan kagum sekaligus terkejut menatapnya. Nagine jadi nervous ditatap seperti itu! Dia tersenyum kikuk sehingga membuat anak didiknya terkekeh gemas.
Nagine meletakkan tas hitam yang ia tenteng tadi di meja guru. Kemudian kembali mengambil posisi di tengah-tengah depan papan. Dia melambaikan tangan, ya Allah! Harusnya dia tidak melambaikan tangan, seperti anak kecil saja!
Mereka semua terkekeh lagi melihat aksi Nagine. “Ibunya lucu,” kata salah satu dari mereka.
Dalam-dalam gadis itu menarik napas, lalu menghelakannya. “Assalamualaikum semua!”
Mereka serempak menjawab salam.
“Kalian jangan tatap saya gitu dong! Saya nervous loh,” kata Nagine dengan nada gurau. Mereka kembali tertawa. Suatu kebanggaan dapat membuat orang-orang yang akan ia didik tertawa puas seperti ini.
“Nggak mau berlama-lama, saya mau introducing dulu. Perkenalkan nama saya Nagine Zabrine. Kalian bisa panggil saya Bu Gina. Saya tinggal di komplek Kristiani Enam, Jakarta Barat. Dekat sekali dengan kampus Dwitama dan juga dekat dengan sekolah Menara Lima. Saya baru lulus kuliah beberapa hari lalu. Kebayang, ‘kan? Saya masih baru lulus dan langsung disuruh mengajar tanpa persiapan. Jadi, akan sangat mungkin bila terjadi banyak kesalahan di sini.”
“Namun, alhamdulillah ini rezeki. Nggak boleh ditolak, jadi diterima aja. Sesuai dengan saya kuliah dulu di program studi Sastra Indonesia, di sini saya berdiri sebagai seorang guru Bahasa Indonesia baru di sekolah ini. Saya rasa ini perkenalannya.”
Mereka sepakat untuk paham. “Ada pertanyaan?” tanya Nagine memastikan.
Salah satu siswi mengangkat tangan. Seorang siswi dengan rambut yang dibiarkan terlihat di antara seluruh teman perempuannya memakai hijab. Nagine mempersilakan siswi bernama Gilsha itu untuk bertanya.
“Nama Bu Gina kan Nagine Zabrine, tapi di name tagnya Galatia Nagine Z Sarjana Pendidikan, kok bisa?” tanyanya. Ada yang salah fokus ternyata.
“Oke. Saya izin jawab, ya? Dua tahun yang lalu saya muallaf. Sudah. Oke, satu pertanyaan lagi. Setelah itu kita lanjut belajar.”
Pernyataan Nagine barusan terdengar mengejutkan di telinga mereka. Namun, reaksi terkejut itu buru-buru dihilangkan saat seorang siswa rambut belah tengah dan berkacamata itu mengangkat tangan menyuarakan pertanyaannya. Namanya Nois.
“Bu Gina ikut camping minggu depan, nggak?” tanyanya agak terdengar genit yang kemudian disoraki teman sekelasnya. Di sana Nagine justru mengerutkan dahi. Sebagai guru baru, ia tidak tahu kegiatan apa saja yang saat ini sedang on process.
“Kurang tau saya. Memangnya ada camping?”
“Ada, Bu. Pak Husein tadi ke sini kan membicarakan persiapan itu,” kata Nois memberi info.
“Waw, kenapa ada kegiatan camping?”
“Itu udah jadi salah satu kegiatan kami setiap tahunnya, Bu. Kalau biasanya pergantian semester itu liburan, kita camping. Nanti baru kenaikan kelasnya yang liburan. Saya harap Bu Gina mau ikut sih, hehe.”
“In syaa Allah. Lihat nanti, ya.” Nagine mengedarkan pandangan, ia kemudian menemukan spidol di meja dan mengambilnya. “Sudah cukup, ayo kita kembali pada tujuan datang ke sini.”
Nagine menulis mata pelajaran yang ia ajar di tengah-tengah papan. Ia menghadap ke murid-muridnya setelah itu.
“Bahasa Indonesia. Sebelum benar-benar mempelajari apa yang ada di buku. Saya mau tau apa itu definisi dari bahasa. Silakan angkat tangan untuk yang bisa jawab. Saya akan kasih nilai plus nanti.”
Seorang siswi berkacamata mengangkat tangannya. “Kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain,” jawabnya yang seketika membuat Nagine menunjukkan dua jempol di tangannya dan tersenyum bangga.
“You get the point. Siapa nama kamu? Biar saya kasih nilai plus,” kata Nagine. Gadis itu sudah siap akan menuliskan nilai di buku absensi kelas XI IPA 2 yang ia bawa.
“Nanti, Bu.”
Nagine mengerutkan dahi. “Kok nanti? Sekarang aja biar saya tulis nama kamu di buku penilaian saya.” Sontak semua tertawa mendengar itu.
“Iya Bu, nama saya Nanti.”
“Nanti kapan? Saya maunya sekarang. Ya sudah absen kamu berapa?”
“Nama saya Nanti, Bu. Nantiana Dwi. Absen dua puluh tiga.”
“OALAH, ya ngomong dong kalau namanya Nanti. Saya kan nggak tau. Hehe, sorry-sorry.”
Waktu berjalan. Dering pergantian jam pelajaran pun terdengar. Nagine menekuk tangan kanannya, memperhatikan arloji di sana. Baru jam 9. Gadis itu kemudian kembali berdiri dari kursinya.
“Saya akhiri kelas hari ini. Terima kasih antusiasnya untuk pelajaran Bahasa Indonesia hari ini. Semoga berkah, ya. Sampai ketemu besok siang,” ucap Nagine lalu bergerak meninggalkan ruangan yang menjadi kelas pertama kali ia ajar setelah mengucapkan salam.
Gadis itu berjalan kembali ke ruang guru. Pelan Nagine membuka pintu ruangan yang dipenuhi meja-meja itu, dia mendingkikkan kepalanya. Astaga, hanya ada satu orang di sini. Laki-laki pula.
Pandangan Nagine dan Husain bertemu. Guru laki-laki itu kemudian membuang muka dan membuat Nagine cepat-cepat membuka kedua pintu kantor lebar-lebar. Kemudian melangkah masuk dengan keadaan pintu yang terbuka secara lebar padajal AC ruangan sedang menyala semua.Tidak boleh berduaan. Nanti timbul khalwat. Dibuka saja pintunya, pikirnya.
Baru Nagine duduk di meja kerjanya. Derap langkah kaki dari belakang membuatnya merasa bahwa Husain akan berjalan keluar ruangan. Huh, Nagine bisa bernapas lega setelah ini.
Benar dugaannya. Husain, guru itu keluar dan menutup kembali pintu kantor tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tapi tanpa dia sadari sudah membantu kenyamanan Nagine.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nagine melirik. Aya menelepon. Tidak, dia video call. Jempolnya menggeser panel hijau ke atas dan memperlihatkan Aya yang rupanya baru saja menyelesaikan sarapannya.
“How your day, Na? Ini pertama kali lo debut sebagai pengajar. Gimana perasaan lo?” tanyanya di seberang sana.
Nagine tersenyum. Dia menghela napas siap menuangkan semua kalimat untuk didengar dengan baik oleh gadis yang tertampil di layar telepon itu. “Aa ma syaa Allah nikmat banget, Ay. Duduk di meja guru dan menyaksikan mereka yang menghargai kerja keras kita, dan lega pas mereka bisa jawab dengan benar, ternyata itu hal istimewa banget buat gue. Gue seketika ngerasa berhasil ngedidik mereka.” Dia tersenyum lebar membentuk jarinya peace. “Sumpah seneng banget. Suatu nikmat yang gue yakin orang-orang belum tentu sabi, ya nggak?”
Aya menganggukinya. “Ya! Lo nggak boleh sia-siakan kesempatan itu ya? Lo hebat banget sekarang. Lo kece, Na!”
“Lo juga kece kalo gitu mah. Gimana kerja lo? Udah mulai kerja?”
“Doain ya. Gue masih nunggu CV gue di-acc. Kata salah satu pegawai personalia sih gue pasti diterima. Soalnya CV yang gue kasih relate sama kebutuhan mereka. Lo doain aja. Cuma setahun, lumayan. Gajinya juga agak gede.”
“Gue selalu doain lo dari sini. Sekarang Tuhan kita sama, mudah buat saling mendoakan, hehe.”
———————
To be continued.Selamat Hari Kemerdekaan NKRI 77. Jangan lupa kata Bung Karno kalau Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu merubah nasibnya sendiri.
Seperti dalam firman Allah di surat Ar-Ra’d ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.
Indonesia, 17 Agustus 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only 9 Years | lo.gi.na [END]
Novela Juvenil[Teenfiction Islami 14+] "Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?" Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan. "Besok gue sekeluarga masuk Islam, cu...