PDKT
———————“To,” yang dipanggil berdehem. “Lo inget nggak kalo lo pernah nawarin gue sebuah hadiah waktu gue ajarin lo tes buat masuk ke perguruan tinggi.”
Dito mengangguk paham. “Mau apa lo?” tanyanya.
Sebenarnya, antara ragu dan mau, gengsi dan malu—tidak! Harus ditepis Arthar! Lo nggak boleh kalah sama Dito yang leluasa berbicara dengan Nagine tanpa canggung. Ayo, gue yakin lo bisa!
“Deketin gue sama Nagine.”
Lihat, Dito kini melebarkan matanya. Kepalanya sedikit mendingkluk sambil menatap manik mata Arthar untuk memastikan bahwa laki-laki itu tidak bercanda. Tidak ada kebohongan. Sangat tajam dan serius. Ini, baru pertama kali untuk Dito. Wajar jika dia terkejut.
Laki-laki itu memukul pelan bahu Arthar, “Akhirnya lo normal juga, Thar!” serunya senang. “Kayaknya kita sama anak-anak lain harus syukuran deh. Pertama kali loh ini.”
Mood Arthar seketika memburuk. Dia membuang napas kasar. Kebiasaan teman-temannya yang selalu berlebihan menghadapi hal-hal semacam ini sering kali membuatnya mengurungkan diri untuk tidak melakukan curhat colongan.
“Udah lo kalo nggak ikhlas ngga usah bantuin,” kata Arthar. Ia mengambil kembali bukunya yang tertumpuk, kemudian di letakkan ke rak. Dia mengambil salah satu buku lagi dari sana, lalu membawanya ke kasur tanpa menatap Dito yang kini diam memikirkan cara bagaimana membujuk Arthar. Masalahnya kalau sudah pundung seperti ini; mendekat salah, menjauh salah, mencari jalan tengah pun tak ada.
Dito menghela napas kasar. Rasa tidak enaknya dua kali lipat dibanding biasanya. Laki-laki itu sekarang berada di rumah Arthar, hanya berdua karena keluarga kecil sahabatnya itu keluar kota. Namun, jika Arthar sudah mendiaminya, apa yang harus ia perbuat selain menyesali pembicaraannya yang tadi. Ais! Kalo bisa ditarik bakal gue tarik tuh kalimat!
“Thar, jangan gitulah,” rayunya. Di dalam hati kecil itu, Dito benar-benar berharap Arthar tidak benar-benar dalam mode buruk. Setidaknya laki-laki itu mau merespon ucapannyalah. Lesu, nyatanya tidak terespon sama sekali. Hm oke, To. Lo harus coba. Sekali lagi.
“Gue tadi bercanda. Lo udah gede masa ambekan sih.” Tidak, Dito berharap laki-laki itu bisa terhibur dengan kalimatnya, tapi ternyata salah. Suara dingin Arthar menikamnya sekarang.
“Lo pulang.”
Dito cepat-cepat merubah mimik wajahnya yang terkejut tadi. “GILA LO, JARAK RUMAH LO SAMA RUMAH GUE JAUH COY.”
“Bodo amat.” Dito menghela napas pasrah.
“Gue minta maap, Thar. Gue salah. Gue ikhlas kok bantuin lo, lo mau dideketin sama Nagine kayak gimana? Gue bantu. Bener deh!” kata Dito sambil memperlihatkan jari paling kecil yang ada di tangannya. Laki-laki itu tersenyum dengan wajah yang melas. Berharap permintaan maafnya di-acc sang sahabat.
“Ya,” putus Arthar pada akhirnya. Senyum Dito mengembang lalu menyeru terima kasih.
“Now, lo mau dideketin yang kayak gimana?” tanya Dito melanjutkan topik yang terjeda tadi.
Sekilas Arthar menatap Dito, kemudian meletakkan buku yang ia baca tadi di kasur. Menghela napas, lalu bersuara, “Nggak neko-neko sih. Cuma mau kita deket, komitmen, dan we will be married.”
Dito memangut-mangutkan kepalanya. Ibu jari dan jari telunjuknya mengusap dagu berpikir. “Easy sih. Lo tinggal deketin dia, terus ajak komitmen, nggak lama kalian nikah.”
Arthar mengambil bukunya lagi, lalu diarahkan ke lengan Dito. “Ya gue tau! Maksud gue tuh cara deketinnya gimana?!?!” tanyanya kesal.
“Kalo deketin, yang pertama lo sering-sering chat. Agak nggak gantle sih soalnya virtual, tapi kalian tuh harus sadar kalo terhalang sama universitas, wakaka, bukan keyakinan sekarang.” Dito mendekat sebentar ke Arthar, menyisak satu meter jarak. “Kalo bukan dengan cara itu, ya nggak ada lagi, masa lo harus ajak dia ketemuan tiap hari sih, cape pasti. Kita mau semester lima coy, banyak kerjaan. Hadeh. Udah lo sering-sering chat dia aja.”
“Chat gimana?”
“Ya nggak gimana-gimana, tanyain aja selama jadi muallaf perasaannya gimana, udah makan belum, kalo belum kirimin go food, biasanya cewe-cewe gitu. Gue lihat di tweet orang. Wakaka. Jangan asal nanyain, terus disuruh makan, tapi nggak dikasih makanan, sama aja boong bro. Ya lo effort dikit-dikit lah ngab.”
“ATAU, LO KAN PERNAH YA KE ARTHA PARK BANDUNG?!?!” tanya Dito histeris. Laki-laki itu tahu karena di postingan terakhir instagram Nagine tertera lokasinya. Arthar mengangguk membenarkan. “Nah itu. Tanyain aja ada kesalahan nggak selama lo di sana. Terus tanyain apa yang lo suka. Misal lo suka belajar dengan cara gini, dia juga tanyain, cara belajarnya sama nggak. Intinya gitu-gitu deh, Thar.”
“Oh ya sama satu lagi. Lo juga harus tanyain, sekarang ada nggak yang mengisi hati dia. Kalo nggak ada pepet terus!”
Arthar mengangguk paham. “Kapan gue chatnya?”
“Sekarang aja.”
Arthar nampak berpikir, kemudian menggeleng, “Besok aja deh.”
“SEMPRUL LO!” maki Dito, lalu menarik bibir atasnya.
———————
Di semester 4 ini sudah jarang—bahkan tidak ada—lagi kegiatan danusan dan mengamen di jalan untuk sumbangan dana suatu event. Bisa dibilang sudah terbebas, tapi jangan senang. Tugas yang disulap menjadi take home juga tak pernah absen untuk memusingkan otak. Dulu jika pekerjaan rumah yang ia pikir adalah menyapu, mengelap, dan mengepel rumah, kini malah menjadi kegiatan yang tidak jauh dari buku-buku dan laptop.
Jemari yang sebelumnya menari-nari di papan ketik itu terhenti, lalu saling menaut dan meluruskan tangan hingga mengeluarkan bunyi yang begitu nikmat. Tidak lupa, Nagine juga menekan jari tangannya dengan jari tangan yang lain. Dia kemudian menghela napas, lalu meraih segelas air yang terletak di samping laptopnya.
Satu tegukan. Dua tegukan. Tiga tegukan. Nagine kembali meletakkan gelas itu, lalu beralih meraih ponselnya. Dia membuka. Tadi sempat ada suara notifikasi, tapi ia belum membukanya karena baru sempat.
Ayabf
he tugas yg dikasi Pak Abdi
dikumpulin 2 minggu lg, lo
udh? blm pasti“Sialan. Cuy gue udah kerjain dari jam lima sore sampe jam delapan, dan bisa-bisanya baru dikumpulkan minggu depan? Benar-benar sialan.”
Nagine menjatuhkan kepalanya di meja. Dia meringik frustasi. Kerja kerasnya baru terbayar dua minggu lagi. Menyenangkan sekaligus menjadi hal yang paling menyebalkan.
“Ngasih info ngaret amat!” ucapnya di voice notes Aya. Nagine meletakkan kembali ponsel itu. Tak sampai lima detik, notifikasi itu bunyi lagi. Dia menebak Aya yang meminta maaf, tapi begitu dilihat, tidak. Nagine matanya pasti karatan.
“Nggak, nggak. Dia bukan Arthar. Gue pasti salah lihat. Ya Allah. Gue takut. Pasti Dito udah nyebarin hoax news itu. Gue harus bales apa Zitie,” keluhnya sambil menggigit bibir bawah. Matanya mulai memanas. Argh, dia benar-benar lelah sekarang, ditambah Arthar, ah ... laki-laki itu menghubunginya di waktu yang kurang tepat.
———————
To be continued.All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.
Indonesia, 3 Agustus 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only 9 Years | lo.gi.na [END]
Teen Fiction[Teenfiction Islami 14+] "Na, lo sama dia itu beda Tuhan. Terus mempertahankan dia selama 9 tahun ini buat apa?" Gadis itu menatap lekat sahabatnya sambil tersenyum dan hampir melepas gelagak tawa yang ditahan. "Besok gue sekeluarga masuk Islam, cu...