[9] Monolog

119 11 4
                                    

Part ini mengandung banyak narasi yang dilakukan oleh sudut pandang orang pertama. Enjoy it yeorobun...

°°°

Aku terduduk di tepi ranjangku, menatap sebuah bingkai foto dimana ada seorang anak kecil yang sedang bermain ayunan sembari tersenyum lebar. Bayangan tentang anak itu terlintas dikepalaku, suara tawanya masih terdengar hingga saat ini.

Tawa yang kini samar aku dengar lagi semenjak anak itu beranjak dewasa, bayangku saat anak kecil dalam bingkai foto itu tengah berlarian dipadang rumput yang hijau. Anak kecil yang selalu bermain sendiri bersama bayang sepi.

Bayanganku terpecah saat melihat anak kecil itu pulang kerumah dan dimarahi oleh lelaki dewasa, entah kenapa anak kecil itu menangis dengan kencang. Lelaki dewasa itu membawa seember air lalu menyiramnya kepada anak kecil itu, sementara wanita dewasa lain melerai lelaki dewasa itu, berteriak untuk menghentikan perilaku lelaki dewasa.

"Mau jadi apa besar nanti kalau kamu terus saja bermain seperti ini! Tidak berguna!"

Anak kecil itu bahkan baru berusia 5 tahun, usia dimana ia ingin bermain, bebas dan menghabiskan waktunya dengan teman-teman seusianya. Anak kecil yang hanya ingin tumbuh sesuai usianya, anak kecil yang hanya ingin menghabiskan masa kecilnya dengan baik.

Tiba-tiba air mataku turun begitu saja, sekarang apa kabar dengan anak kecil yang ada di bingkai foto itu? Apakah ia tumbuh dengan baik sekarang?

Kini aku buka album berwarna biruku, yang isinya hanya foto anak kecil itu dan beberapa pemandangan langit atau hanya sekedar jepretan hewan-hewan lucu dan bunga cantik.

Aku melihat anak kecil itu kini tumbuh, waktu itu ia berfoto menggunakan seragam merah putihnya. Ia tunjukkan deretan giginya yang ompong di bagian depan tapi anak itu terlihat percaya diri, ia berfoto dengan dua jari tangannya.

Aku membuka lagi lembar berikutnya, sebuah piala dan piagam saat anak kecil itu raih sewaktu memakai seragam merah putih. Waktu itu ia tampil diacara perlombaan tingkat SD se kabupaten, ia membawakan puisi buatannya sendiri lalu membacakan puisi milik Chairil Anwar berjudul AKU.

Waktu itu ia mendapat juara umum, di foto berikutnya anak kecil itu mengangkat pialanya masih terdengar jelas apa yang ia katakan waktu itu "Hore, aku juara"

Aku tersenyum kala mengingat tingkah anak kecil itu, lalu ia berlari menghampiri sang guru dan memeluknya. Sang guru tersenyum dan memberikan ucapan selamat pada anak kecil itu, "Bu Guru, ayahku pasti bangga karena aku mendapat juara" ucapnya waktu itu.

Bayangan ia pulang setelah menyelesaikan lombanya dengan baik, berharap mendapat apresiasi yang luar biasa dari kedua orang tuanya nyatanya hanya semu belaka. Mereka bahkan tidak pernah merasa puas dengan apa yang anak kecil itu lakukan.

"Apa pentingnya bagi kami piala kosong itu, bukan sebuah kemenangan yang hebat. Kamu masih harus lebih dari itu"

Pada saat itu, anak kecil itu kehilangan semangat dalam hidupnya. Ia hanya butuh pengakuan kecil atas kerja kerasnya, hanya sekedar ucapan "Selamat ya nak, kami bangga padamu" bahkan tidak pernah mereka katakan padanya.

Membuka lembar album selanjutnya, anak kecil itu tumbuh menjadi remaja yang mengenakan seragam biru putih. Selama tiga tahun menimba ilmu, remaja itu banyak menorehkan prestasi. Hanya seutas senyum kecil yang remaja itu tunjukkan saat membawa tropy juaranya, bibirnya mungkin tersenyum tapi tidak dengan matanya.

Pada waktu itu, gadis yang usianya baru menginjak 14 tahun memberanikan diri untuk merantau ke luar daerah. Ia memilih kota Yogyakarta sebagai tujuan ia merangkai versi dirinya yang baru, awalnya remaja itu mendapat penolakan mentah-mentah dari kedua orang tuanya tapi ia sudah muak tidak ingin lagi hidup bagai robot yang hanya di atur untuk melakukan perintah mereka.

FIGURAN - Hanya Pemain Tambahan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang