Bab 27. Bayangan Masa Lalu

3.1K 113 0
                                    


🍃🍃🍃🍃

Aryo sadar sedari tadi istrinya tidak memulai makan mengikutinya. Melihat Indira yang tidak menyentuh makanan itu sama sekali, membuat Aryo berinisiatif menyendokkan nasi dan lauknya di piring. Lalu, mengarahkan makanan itu ke mulut sang istri hendak menyuapi, membuat Indira terkejut dengan apa yang sedang Aryo lakukan.

Diberikan perhatian yang tidak terduga seperti itu, membuat Indira melongo tidak percaya. Matanya masih menatap Aryo tak berkedip. Otak wanita itu sungguh tidak bisa berjalan. Tiba-tiba saja perasaan gugup serta canggung menguasai dirinya.

Kembali suaminya tersebut menyodorkan sendok di tangannya ke hadapan Indira, mengisyaratkan kepada gadis itu agar membuka mulutnya. Namun, masih belum ada respon apa pun dari istri keduanya tersebut. Seolah masih menyimpan rasa keterkejutan di wajahnya.

“Ra, buka mulutnya. Biar Mas suapi,” ujar Aryo menyadarkan kembali Indira dari lamunannya.

“Biar aku makan sendiri, Mas,” jawab wanita itu malu-malu. Mendapatkan perhatian yang kecil, tetapi terasa manis di mata Indira, membuat pipi wanita itu bersemu merah. Rasa marah terhadap Aryo seketika saja menguar dengan sendirinya.

Mendapat penolakan dari Indira membuat Aryo kembali mencoba membujuk istrinya tersebut lewat tatapan mata. Menyuruh Indira membuka mulutnya dengan isyarat. Mau tidak mau wanita itu mengikuti keinginan Aryo. Ia mulai membuka mulutnya dan menyuapkan makanan di sendok yang sang suami arahkan kepadanya.

Karena menahan gugup yang semakin menjadi, serta rasa malu, Indira mengunyah sambil menundukkan wajahnya. Ia tidak berani memandang wajah sang suami.

Wanita itu tidak menyangka menjadi istri Aryo bisa mendapatkan perlakuan semanis ini. Padahal, mereka menikah tanpa cinta, tetapi pria itu memperlakukannya seolah telah saling mencintai sebelumnya. Tak ada rasa canggung bagi Aryo ketika memberikan perhatian seperti itu padanya. Seolah-olah mereka telah saling mengenal lama. Setidaknya itu yang dipikirkan Indira.

Entahlah, Indira merasa pernah diperlakukan semanis ini oleh sang suami sebelumnya. Tapi, dia tidak ingat sedikit pun. Bahkan, yang wanita itu tahu, baru mengenal Aryo tidak lama.

Hanya setelah dirinya pindah dari Bandung. Itu pun jarang sekali berinteraksi. Bahkan, hanya hitungan jari mereka sempat bertemu tanpa mengobrol. Indira hanya sering melihat dari kejauhan Aryo sedang lewat di depan rumahnya ketika sedang lari pagi saat hari libur tiba. Sesekali tersenyum ke arahnya.

Jika Bunda atau Ayah yang ada di depan, barulah pria itu sesekali mengobrol di depan rumah. Bahkan tidak jarang ditemani Wulan di sisinya.

“Kenapa aku merasa pernah diperlakukan seperti ini oleh Mas Aryo, ya?” gumam Indira, membuat pria itu tidak sengaja menangkap ucapan istri mudanya. Aryo terkejut dengan apa yang Indira katakan.

“Apa perlahan-lahan ingatan Indira kembali, ya?” Aryo membatin.

Ia sangat berharap hal itu benar terjadi. Namun, di sisi lain, pria itu takut jika ingatannya kembali, istrinya itu akan teringat dengan kejadian naas tersebut. Tentang sesuatu kesalahan yang telah almarhum kakak iparnya lakukan.

Aryo tidak ingin, jiwa Indira akan terguncang karena hal itu. Hanya membayangkannya saja, dada Aryo terasa sesak. Darahnya mulai bergejolak menahan amarah yang sama sekali tidak dapat ia lampiaskan. Ia tidak ingin melihat wanitanya menderita. Cukuplah dahulu Indira mengalami hal buruk.

Aryo memandang lebih dalam wajah istri mudanya yang tengah menunduk. Tidak sadar pria itu meneteskan air matanya. Merasakan sakit dan perih bersamaan ketika mengingat semua penderitaan wanita yang sangat ia cintai.

Jika, dengan kehilangan ingatan bisa membuat bidadarinya itu bahagia dan lepas dari kesengsaraan. Aryo rela bila kenangan indahnya bersama Indira hilang.

Toh, takada kata terlambat untuk menciptakan kebahagiaan lain. Aryo merasa bisa membuat kenangan manis yang baru bersama istrinya itu. Apalagi, kini sudah resmi menjadi miliknya seutuhnya.

Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah membuat Indira bersedih. Sebisa mungkin, Aryo akan berusaha menjadi suami yang adil untuk kedua istrinya.

Saat suap demi suap makanan di sendok pria itu berikan kepada sang istri, hingga hal tak terduga terjadi. Sekelebat Indira dapat melihat bayangan saat dirinya sedang tertawa dan bercanda dengan seorang pria yang wajahnya tidak jelas di ingatannya. Berulang kali, Indira melengkungkan senyumnya yang menawan seolah bulan sabit tengah terbit di wajahnya.

Seorang pria menyodorkan sebuah kotak beludru yang berisi kalung liontin gambar hati. Di dalamnya ada foto dirinya dan seseorang. Dan lagi-lagi Indira tidak bisa ingat itu siapa.

Indira memegang kepalanya yang mulai pusing menyiksa. Seolah ia ingin membenturkan anggota tubuh tersebut ke tembok. Sakit benar-benar sakit yang dirasakan wanita itu. Erangan Indira membuat Aryo terkejut dan menyimpan piring di tangannya setengah membanting. Rasa cemas mulai menguasai pria itu. Ia panik dan khawatir. Namun, Aryo tidak tahu apa yang harus dia lakukan dan kenapa istrinya itu kesakitan.

“Ra, kamu kenapa? Kamu lagi sakit?” tanya Aryo sambil mencoba menghubungi temannya yang seorang dokter hendak menanyakan keberadaannya. Ia ingin membawa Indira diperiksa.

“Mas, sakit. Benar-benar sakit,” jawab wanita itu sambil terus menggelengkan kepalanya.

“Kita ke dokter, ya, Ra. Kamu harus diperiksa biar sembuh. Mas khawatir lihat kamu kesakitan seperti ini,” ajak Aryo. Indira langsung mengikuti ucapan sang suami. Wanita itu mencoba berdiri sendiri. Namun, matanya mulai berkunang-kunang dan seketika itu pula ia tidak sadarkan diri.

Aryo panik, ia memangku tubuh Indira dengan tergesa-gesa dari ruangannya. Meminta bantuan bawahannya agar mengantar dia ke sebuah Rumah Sakit memakai mobil miliknya. Lantas, kira-kira apa yang sedang terjadi terhadap Indira? Mungkinkah ingatannya yang sempat hilang akan kembali?

Nantikan kelanjutannya.

Bersambung.

Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang