Bab 31. Cinta Ini Sulit Dikendalikan

2.7K 104 0
                                    

“Di mana Mbak Wulan, Mas?” tanya Indira karena melihat Aryo hanya datang sendirian. Padahal, dia berharap kakak madunya tersebut bisa pergi bersama malam ini.

“Ria dan Danish sudah tidur, Ra. Mereka enggak ada yang nunggu, soalnya Yuri lagi pergi ke rumah temannya dan menginap di sana,” terang Aryo dan dibalas anggukan oleh Indira.

“Bentar, Mas. Aku ambil tasku dulu sama ganti baju,” pamit Indira dengan tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Sedangkan, Aryo langsung memanaskan motor besarnya. Terlihat Ayah Indira keluar menemui Aryo yang sedang ada di teras.

“Nak Aryo. Bapak mau ngasih tahu kamu kalau Indira takut sama ketinggian. Jadi, nanti enggak usah naik bianglala. Dia suka pingsan gemetar kalau naik itu.”

Ternyata, Ayah Indira hanya ingin menjelaskan sesuatu yang tak disukai Indira. Meski, Aryo pun jelas-jelas sudah tahu masalah ini dulu.

Ya, mana mungkin dia lupa segala tentang Indira. Bahkan, Aryo menjadi orang kedua yang mengetahui semua mengenai istri mudanya itu setelah orang tua sang istri.

Pria itu hanya mengangguk tanda mengerti. Saat Indira datang menemuinya, Aryo terpaku di tempat. Penampilan istrinya saat ini persis sekali seperti dulu. Mirip sekali saat terakhir kali mereka bertemu di pasar malam untuk terakhir kalinya sebelum Aryo meneruskan kuliah.

‘Kenapa dari dulu kamu enggak pernah berubah, Ra. Selalu terlihat manis dan memukau di mataku. Bahkan, selera berpakaianmu pun masih sama. Hanya ingatan tentangku yang sudah kamu lupakan.’

Tiba-tiba saja wajah Aryo merubah muram. Bukan tak suka dengan penampilan Indira, tetapi ia teringat dengan dirinya yang sudah tak menjadi pria spesial lagi untuk istrinya. Cinta pertamanya itu telah melupakan segala kenangan manis di antara mereka dulu. Padahal, Aryo sampai saat ini pun masih menyimpan dengan baik dalam ingatannya.

Namun, Indira berpikiran lain ketika melihat raut wajah sang suami. Dia pikir, penampilannya kali ini sungguh mengecewakan Aryo. Membuat wanita itu otomatis langsung tak percaya diri karena merasa tak layak untuk suaminya.

‘Seburuk itu kah penampilanku? Ah. Iya. Aku mungkin tak secantik dan menarik seperti Mbak Wulan. Makanya Mas Aryo langsung tak suka saat melihat aku keluar.’ Batin Indira terus saja mempertanyakan hal tersebut secara berulang-ulang. Dia tak berani untuk menanyakan langsung kepada Aryo, takut sang suami tersinggung.

Cukuplah, Aryo menerimanya dan memperlakukan dirinya dengan baik. Yang jelas Indira tahu, dirinya hanya dinikahi karena paksaan kakak madunya. Pun, tak ada cinta sama sekali di antara dia dan Aryo. Bukan, mungkin hanya dirinya yang telah jatuh cinta pada sang suami. Secepat itukah? Indira pun tak tahu. Ia tak bisa mengendalikan yang bernama hati.

Tiba-tiba saja, percakapan bawahan Aryo saat di cafe waktu itu memunculkan kembali  rasa tak nyaman di hatinya. Mungkinkah dia bersalah telah menerima pinangan Wulan untuk menjadi istri kedua? Benarkah dia pelakor yang selalu disebutkan orang-orang? Pantaskah wanita sederhana sepertinya bersanding dengan pria yang sempurna seperti Aryo?

“Ra. Kenapa malah diam saja di situ? Ayo kita berangkat. Keburu semakin malam,” ajak Aryo langsung membuyarkan lamunan Indira. Wanita itu tersentak dan langsung mengangguk serta segera naik ke atas boncengan motor milik Aryo.

Aryo dengan sengaja meraih tangan Indira dan melingkarkannya di pinggang sambil menoleh.

“Pegangan, Ra. Nanti takut jatuh.”

Perlakuan Aryo membuat istri mudanya tersebut melongo tak percaya. Ia juga semakin gugup dengan rona merah telah menghiasi pipi Indira. Ia hanya menyembunyikan itu dibalik helm yang telah dia pakai.

Dalam perjalanan, Aryo terus saja tersenyum sendiri mengingat momen ini. Sederhana memang, ia hanya bahagia bisa berangkat bersama dengan naik motor berdua seperti candanya dulu ketika menggoda Indira.

“Nanti kalau kita sudah menikah, kamu harus peluk aku seperti itu kalau dibonceng,” tunjuk Aryo pada satu pasang wanita dan pria yang lewat di depan mereka dengan menaiki motor. Sungguh terlihat mesra, wanita yang dibonceng memeluk pinggang sang pria dengan mesra.

Mendengar itu, wajah Indira memerah. Rona malu memenuhi muka gadis itu, membuat Aryo yang ada di sampingnya terkekeh geli saking gemasnya.

“Sabar, ya, Ra. Beberapa tahun lagi aku akan datang untuk melamarmu. Kita akan menikah dan takkan pernah terpisahkan lagi.”

Ingin sekali Aryo merengkuh Indira, tetapi ia tahu batasan untuk menjaga Marwah wanita yang dia cintai. Bahkan, tak pernah sekali pun ia bersentuhan kulit dengan Indira walau hanya berpegangan tangan. Pantang bagi Aryo menyentuh sesuatu yang belum halal untuknya.

Bagi Aryo, wanita itu seperti berlian yang harus dijaga keindahan serta kemurniannya. Sesuatu yang wajib dimuliakan dan dianggap berharga. Apalagi, Indira sebagai wanita yang ia cintai.

Kenangan itu, masih teringat dalam benak Aryo. Hal itu seolah membangkitkan kembali rasa cinta besar untuk Indira yang sekian lama pria itu coba lupakan setelah menikah dengan Wulan.

Akan tetapi, Aryo tak harus melakukannya sekarang, Indira telah menjadi istri sahnya kini walau sebagai istri kedua.

“Sudah sampai, Ra. Ayo kita turun,” ajak Aryo. Indira menurut, ia turun dan menunggu Aryo memarkirkan motornya. Tak lama, suaminya itu menyusul dengan membawa sesuatu di tangannya. Sebungkus harum manis beraneka warna berbentuk boneka beruang sudah ada di tangannya.

Aryo ingat, Indira suka sekali kembang gula tersebut makanya ia tadi beli saat melewati penjual harum manis.

Aryo mengangsurkannya ke arah Indira.

“Gambarnya lucu, Ra. Makanya tadi aku beli satu. Siapa tahu kamu suka,” jelas Aryo saat melihat tatapan Indira yang seolah bertanya. Ia tak mungkin keceplosan lagi dengan seolah mengetahui apa yang Indira sukai.

Istri keduanya itu mengangguk dan langsung menerima Kembang gula yang Aryo serahkan tadi. Ia mencubitnya sedikit dan memakannya. Rona bahagia terpancar dari wajah Indira. Sudah lama sekali, wanita itu tak pernah lagi mencicipi manisnya rasa harum manis. Rasanya seolah pernah melakukan hal yang serupa dulu, tapi di mana? Ia sungguh tak ingat.

“Manis, Mas. Enak.” Tak sadar Indira berubah menjadi seperti anak kecil saat bersama Aryo. Ia terus menikmati sedikit demi sedikit makanan tersebut, matanya sambil menyapu setiap arena permainan serta suasana pasar malam yang ramai di sekitarnya.

Indira tak sadar, Aryo yang berjalan di belakangnya terus saja menatap tak berkedip. Pria itu seolah terbius dan terpesona serta terbawa ke dalam kenangan masa lalunya bersama Indira dulu. Wanitanya tak pernah berubah. Masih sebagai Indira yang ceria meski sekali-kali sedikit manja hanya ketika bersamanya.

Terpesonanya Aryo, membuat dia tak sadar bahwa Indira telah berbalik menghadapnya. Wanita itu terkejut saat sang suami tak pernah mengalihkan pandangan darinya. Namun, ia pikir Aryo menginginkan harum manis yang ada di tangan.

“Mas Aryo mau harum manis ini?” ia kembali mencubit makanan manis tersebut dan mengarahkan tangannya yang memegang Harum manis ke depan mulut Aryo.

Aryo masih tak sadar. Dengan iris mata yang masih menatap Indira, pria itu menangkap tangan istrinya dan memasukkan potongan kecil harum manis tersebut langsung dari tangan sang istri. Hal itu membuat tubuh Indira seolah tersengat aliran listrik setelah jarinya bersentuhan dengan mulut sang suami. Apalagi, ketika makanan tersebut yang masih menempel dan Aryo menjilati manisnya kembang gula itu di setiap jari sang istri.

Aryo seolah dibuat gila. Hatinya seperti menuntunnya untuk melakukan hal yang dahulu dia hindari. Bukankah itu sah-sah saja sekarang? Pria itu sama sekali tak bisa mengendalikan perasaannya kini. Ia sudah tak tahan menekan rasa cintanya dan berpura-pura tak terlalu mengenal Indira.

Akankah Indira merasa aneh dengan sang suami? Ataukah ingatan tentang Aryo bisa kembali seperti dulu?

Bersambung.










Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang