Bab 18. Nasi Goreng

2.7K 102 0
                                    


Aryo menghampiri Indira yang sedang menangis tersedu. Hatinya pedih ketika wanita yang dicintainya terluka. Dia mendekati gadis itu perlahan.

"Ra ...." Indira mendongak tak menyangka ada seseorang yang mengenalnya di taman malam-malam begini. Menoleh ke sana kemari mencari asal suara berada takut ada orang jahat yang menemukannya. Namun, suara itu tak asing di telinganya. Indira merasa hafal itu suara siapa. Akan tetapi, dia takut salah mengenalinya.

"Siapa ...?" tanyanya dengan suara parau. Penasaran siapa orang yang tahu namanya.

Aryo muncul ke hadapan gadis itu. Tanpa dia sadari dibawanya tubuh Indira ke dalam dekapannya. Membuat Indira merasa terkejut dengan perlakuan calon suaminya itu. Ada rasa hangat di hati keduanya. Indira tahu ini salah dia belum halal untuk pria di hadapannya, tetapi tubuhnya tak merespon perintah otaknya. Dada Aryo tempat ternyaman membuat rasa gundahnya menghilang begitu saja.

'Apa ini? Apa aku sudah mulai jatuh dalam pesona Mas Aryo? Kenapa aku sulit sekali menolak perlakuan manisnya ini?" batin Indira.

"Sudah lebih baik?" tanya Aryo. Dia pun tahu ini salah. Akan tetapi, Ayo tak bisa mengendalikan hatinya yang khawatir dan menyesal Indira tersakiti. Bagaimanapun Aryo merasa bersalah karena salahnya juga masalah ini sampai terjadi pada Indira. Harusnya dia mengatakan kepada semua orang kalau Indira tak menggodanya sama sekali. Semua rencana pernikahan ini atas keinginan Wulan di dalamnya. Meski, saat ini hatinya pun tak bisa dibohongi. Dia menginginkan gadis itu untuk menjadi bagian dari hidupnya.

Indira mendongak menatap wajah Aryo. Mereka melerai pelukan. Bukan, Aryo yang merenggangkan pelukannya karena Indira sedari tadi hanya diam tak membalas dekapan calon suaminya itu. Dari dekat begini mereka dapat memandang wajah satu sama lain dengan jelas. Embusan napas Aryo menyapu wajah Indira membuat gadis itu memalingkan wajahnya yang bersemu merah.

Indira mundur satu langkah, dia tak bisa dekat-dekat dengan pria di hadapannya. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tak baik untuk kesehatan, pikirnya. Indira merasa belum pernah mengalami hal seperti ini, baru pertama kali untuknya.

Melihat sikap Indira, Aryo terkekeh geli merasa lucu dengan sikap salah tingkah gadis di hadapannya.

'Aku sudah tak waras tiap di dekatnya. Jika seperti ini. Haruskah aku percepat untuk menikahinya?" batin Aryo. Dia tak bisa mengendalikan perasaannya. Padahal biasanya tak sulit baginya berpura-pura tak mengenal gadis itu dan menekan rasa di dalam hatinya.

"Kenapa Mas Aryo ada di sini?" tanya Indira masih dengan suara parau khas orang yang habis menangis. Dia hanya ingin mengalihkan kegugupannya karena sejak tadi calon suaminya itu terus memandangnya tak berkedip.

"Harusnya saya yang bertanya. Kenapa kamu di sini malam-malam begini. Membuat semua orang khawatir saja." Indira mendongak terkejut dengan ucapan Aryo.

"Ya! Ayah dan Bundamu khawatir. Bahkan Wulan dan Yuri sampai mencarimu karena merasa panik saat tahu kamu tak ada di rumah. Pergi tanpa pamit!" cecar Aryo.

Indira merasa bersalah mendengar ucapan calon suaminya itu. Benar yang dikatakan Aryo, dia pergi tanpa pamit dulu kepada orang tuanya, pasti mereka khawatir. Yang dipikirkannya tadi saat pergi dari rumah hanya ingin menenangkan diri dan mencari tempat sepi untuk menumpahkan tangisnya. Sedangkan di rumah Indira takut ayah dan bundanya tahu apa yang sudah terjadi padanya.

Namun, ternyata Indira terlalu lama berdiam diri di taman ini. Dia lupa pasti akan banyak orang yang khawatir terhadapnya. Membuat gadis itu merasa bersalah.

"Kenapa tak cerita sama saya kalau ada orang yang mengatakan hal tak pantas padamu?" tanya Aryo.

"Mas Aryo tahu dari mana?" Indira heran calon suaminya ini tahu dari mana. Ah iya, dia lupa saat kejadian Yuri ada di sana juga. Pasti dia sudah cerita semuanya kepada sang kakak. Bisa jadi Wulan pun sudah mengetahui segalanya dari Yuri.

"Kamu juga pasti tahu." Indira mengangguk.

" Jadi, kamu mau pulang atau masih ingin menangis dengan puas di sini? Biar aku temani."

Sesuai kebiasaannya dulu setiap gadis itu merasa sedih, Aryo lah yang selalu menemaninya sampai merasa lebih baik.

Indira menggeleng, dia sudah merasa cukup menenangkan diri di taman ini. Takut ayah dan bundanya merasa khawatir bila tak pulang sekarang. Mereka pergi dari tempat itu menuju mobil Aryo yang terparkir di pinggir jalan. Masuk ke dalam mobil dan melajukannya dengan pelan.

Di dalam mobil tak ada percakapan apa pun di antara mereka. Saling hening karena canggung bingung harus membahas apa. Indira hanya memandang dari kaca jendela warung tenda kaki lima yang berjejer. Ada penjual nasi goreng, pecel lele, ayam bakar, dan masih banyak lagi.

Tiba-tiba Aryo mendengar suara perut keroncongan yang berbunyi. Dia yang sedang menyetir serius menoleh dan terkekeh-kekeh mendengarnya.

Indira menoleh, "Kenapa Mas Aryo malah ketawa ? Ada yang lucu?"

Tawa Aryo semakin menjadi merasa geli dengan ucapan Indira. Gadis itu cemberut melihat reaksi pria di sampingnya yang terus saja tertawa tanpa menjawab pertanyaan darinya.

"Kenapa enggak bilang kalau kamu kelaparan?"

"Memangnya siapa yang kelaparan?" Indira pura-pura, padahal dia memang ingin makan setelah seharian mengurung diri dan pergi dan menangis sepuasnya. Terakhir perutnya hanya di isi semangkuk bubur tadi pagi bersama Yuri.

"Jangan bohong. Tadi perutmu sampai bunyi. Apa artinya kalau bukan sedang menahan lapar?" Ucapan Aryo membuat Indira merasa malu. Bisa-bisanya perutnya itu keroncongan di depan Aryo. Itu sangat memalukan, pikir gadis itu.

"Mau makan apa?"

"Terserah Mas saja." Jawabnya pelan, Indira tak banyak bicara. Yang dirasakannya hanya ingin menenggelamkan wajahnya agar Aryo tak melihatnya. Sudah dua kali Aryo melihat dia dalam keadaan yang menurutnya memalukan.

Aryo mengangguk. Tak lama kemudian dia memarkirkan mobilnya di dekat penjual nasi goreng. Sebelumnya pria itu sudah memberikan pesan pada Wulan kalau Indira sudah ditemukan. Aryo meminta istrinya agar memberitahukan kabar ini kepada orang tua Indira agar tak khawatir lagi. Mereka turun dari dalam mobil menuju tukang nasi goreng yang sedang sibuk melayani pelanggan. Indira duduk di kursi yang tersedia di sana. Sedang Aryo menyapa bapak tukang pedagang tersebut.

"Eh, Mas Aryo dan Neng Ira apa kabar. Sudah lama enggak ketemu. Ke mana saja kalian sampai udah lama enggak pernah ke sini lagi. Pasti sekarang kalian sudah menikah, 'kan? Sampai pangling bapak." Ucapan bapak penjual nasi goreng tersebut membuat Indira menoleh dan merasa aneh. Alisnya bertaut lalu memandang Aryo meminta penjelasan.

Akankah Aryo mengatakan semuanya?

Bersambung.

Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang