Bab 41.

2.8K 112 0
                                    

Manik mata Indira mengandung banyak tanya ketika mendengarkan ucapan wanita yang telah melahirkannya. Mata Indira kembali sendu penuh dengan luka setelah mendengar nama Aryo. Pria yang sudah mengisi semua sudut hati Ira, tetapi dirinya kini merasa menjadi istri yang tak layak di samping suaminya.

“Apa Ira layak menjadi istri pria baik seperti Mas Aryo, Bun? Ira malu. Ira takut buat Mas Aryo kecewa. Apalagi, aku tak bisa menjaga kehormatan sebagai seorang perempuan. Selamanya, Ira akan menjadi wanita kotor.”

Tumpah sudah tangis Indira yang semakin lama semakin terdengar pilu. Hati orang tua mana yang tak terluka melihat sang putri menderita. Begitu pun Ayah dan Bunda Indira, mereka tak kuasa memendam kesedihan. Bunda tetap tak bisa menyembunyikan tangisnya, sedangkan Ayah, ia berusaha tak menunjukkan luka apa pun di hadapan sang putri.

Pria paruh baya tersebut memang pintar menyembunyikan rasa di sakit di hati. Yang kini dia lakukan, hanya mengusap kepala sang putri yang terbungkus kerudung.

“Kamu tak kotor, Nak. Bahkan, Nak Aryo pasti akan menerimamu dengan segala masa lalumu. Lagi pula, kamu di sini hanya korban,” imbuh Ayah mencoba menguatkan putrinya.

Tak ada yang dibutuhkan bagi para korban rudapaksa selain dukungan dari orang terdekat, termasuk orang tua. Lingkungan pun mempengaruhi tingkat trauma dalam diri korban. Terkadang, ada beberapa kasus yang teramat miris didapatkan bagi wanita tak berdaya dengan kasus yang serupa. Tak sedikit, dari mereka bahkan mendapat tekanan, tak berdaya, hingga ada yang berakhir menyalahkan diri sendiri atas peristiwa yang dialami.

Padahal, ada beberapa hal yang dibutuhkan korban setelah mengalami kekerasan seksual, salah satunya dukungan orang terdekat, pun hal utama yang dibutuhkan adalah didengar. Pasalnya, korban perlu mencurahkan peristiwa yang menyiksa mental serta fisiknya tanpa takut dihakimi.

Begitu pula yang sedang terjadi terhadap Indira sekarang. Wanita itu sungguh terlihat sangat tertekan dan merasa dirinya telah tak suci lagi. Apalagi, mengingat pernikahannya dengan Aryo, pikirannya semakin bertambah runyam. Ia kalut serta merasa telah menjadi wanita yang hina, sehingga tak pantas bagi pria mana pun, apalagi Aryo.

Itu pula yang membuat wanita itu mencoba menyayat nadinya tadi pagi. Setelah ingatan Indira kembali pulih. Kilasan bagaimana dia digagahi dengan kasar oleh Rama, serta ingatan akan status pernikahannya bersama Aryo membuat Ira dirundung rasa bersalah.

Bukan hanya dirinya masih merasakan ketakutan akan kejadian bertahun-tahun lalu yang sempat ia lupakan sementara, pun karena mengingat dirinya tak akan pernah sebanding lagi dengan pria sempurna seperti Aryo.

Bisikan yang mengatakan sang suami tak akan menerima masa lalunya yang terlampau hancur. Pun, tak mungkin mau memiliki seorang istri yang telah dijamah pria lain terus saja mengusik pikiran Indira. Bukan hanya Aryo, bahkan pria lain di luar sana pasti tak ada yang mau menerima wanita sepertinya, pikir wanita itu.

Hingga, saat Ira masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudu hendak melakukan salat Dhuha, ia mencuci muka terlebih dahulu dan menatap wajahnya di cermin kamar mandi. Sampai, dorongan untuk mengakhiri hidup itu terus menekannya. Dengungan di telinga wanita itu semakin sering. Bahkan, terus berulang. Pandangannya di cermin semakin kosong.

Wanita itu terus saja menyalahkan diri sendiri tentang apa yang telah terjadi kepadanya beberapa tahun lalu. Ia merasa, andai tak pernah gegabah mempercayai pria yang baru saja dia kenal, mungkin saja dirinya tak harus mengalami hal menyakitkan seperti itu.

“Benar. Itu salahmu, Ra. Kamu yang menerima lamarannya waktu itu. Kamu sudah gegabah. Kalau saja kamu tak sebodoh itu, mungkin kamu masih bisa mempertahankan kehormatanku,” gumam Indira terus saja berulang.

Perlahan tapi pasti, Ira meraih benda keras untuk memecahkan kaca di hadapannya karena jijik melihat wajahnya sendiri. Hingga, rencana untuk menyayat nadi di pergelangan tangan wanita itu semakin kuat ketika melihat pecahan kaca yang berserakan.

Dalam kondisi hati yang penuh tekanan, Indira kalap dan tanpa mengingat lagi sesuatu yang benar dan salah. Yang ada di pikirannya saat itu hanya tak sanggup hidup dengan kondisinya yang sekarang.

Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang