Bab 26. Rasa Kecewa

3.5K 116 0
                                    


Indira mengetuk pintu pintu ruangan Aryo suaminya. Sebelum makan siang, ia datang ke kantor Aryo tepat waktu. Namun, saat wanita itu membuka pintu, alangkah terkejutnya Indira kala melihat seseorang di sana.

Ya, Indira baru tahu kalau Wulan pun ada di sana. Tatapannya beralih pada benda-benda yang berserakan. Dari kotak makanan yang ada di atas meja, dapat Indira simpulkan kalau Aryo dan kakak madunya telah makan siang bersama. Ada sesuatu yang perih melihat itu semua. Indira merasa niatnya untuk datang siang ini telah sia-sia.

Indira kecewa, ia sedih kenapa Aryo tidak menunggunya untuk makan siang. Apalagi, mereka telah melakukan janji untuk bertemu dan dengan jelas wanita itu mengatakan akan membawa makanan untuknya sebelum pergi ke kantor tadi.

Dalam benak Indira penuh dengan segala pertanyaan yang mulai bersarang. Pikiran buruk terhadap suaminya mulai tumbuh. Melihat situasi ini, Indira mulai sadar dengan posisinya saat ini. Sebagai istri kedua yang mungkin tidak dicintai. Bahkan, janjinya pun sama sekali tidak Aryo ingat. Sebegitu tidak berhargakah ia untuk sang suami?

Kalau memang tidak bisa memenuhi janjinya untuk makan siang bersama, kenapa pria itu tidak membatalkannya? Malahan seolah terang-terangan menyakitinya serta menunjukkan posisi Indira di hati pria itu. Setidaknya itulah kesimpulan yang Indira pikirkan dalam benaknya.

"Ra, kamu ke sini juga?" tanya Wulan berdiri dari duduknya lalu menghampiri Indira yang sempat termenung di pintu masuk ruangan Aryo.

Mendengar suara kakak madunya tersebut, lamunan Indira buyar. Ia menoleh dan sadar akan kehadiran Wulan. Wanita itu tersenyum memaksakan. Meski kaku tetapi ia coba untuk terlihat setulus mungkin.

Indira mencoba untuk menyembunyikan perasaan sakitnya kali ini. Berusaha terlihat tidak terpengaruh sama sekali dengan apa yang sudah dilihatnya. Apalagi, pas ia datang Wulan memang sedang menyuapi Aryo dengan tangannya. Sedangkan pria itu terlihat masih sibuk mengecek berkas ditangannya sehingga dia telat sadar akan kedatangan istri keduanya.

Kalau bukan Wulan yang memanggil, mana mungkin Aryo dapat tahu kalau Indira ada di sana. Aryo terkejut bukan main dan baru teringat dengan janjinya dengan istri keduanya tadi pagi.

Pria itu merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya lupa dengan acaranya bersama istri keduanya tersebut. Jika sudah seperti ini, lalu apa yang harus ia lakukan? Akankah Indira marah kepadanya? Atau sekedar menunjukkan rasa kecewa?

"Ah iya, Mbak. Tadi aku disuruh Bunda buat nganter makan siang buat Mas Aryo. Tapi, sepertinya makanan ini lebih baik aku bawa pulang lagi. Kulihat Mas Aryo juga sudah makan siang dengan Mbak Wulan. Lebih baik aku pulang dulu aja. Di rumah aku udah ada janji sama teman," dusta Indira. Membuat Aryo memejamkan matanya sekilas. Perasaan tidak enak mulai menjalar di dalam hatinya. Akan tetapi, Aryo benar-benar tidak sengaja sampai bisa terjadi seperti ini.

"Kenapa dibawa lagi, Ra. Biar Mas makan juga makanan itu. Bunda sudah repot-repot masak, enggak baik kalau dibawa lagi," ujar Aryo mencoba memperbaiki situasi serta kesalahannya.

Ucapan Aryo membuat Indira mendongakkan wajahnya, memberanikan memandang sang suami di hadapan Wulan.

"Tapi, Mas Aryo kan sudah makan. Nanti malah kekenyangan. Enggak apa-apa kok, Mas. Biar aku nanti yang makan," jawab Indira.

Wulan yang sadar dengan ucapan Aryo, segera mengerti situasinya. Ia berusaha untuk membujuk Indira untuk meneruskan niatnya memberikan makanan di rantang untuk suaminya, membuat mau tidak mau Indira turuti.

Indira mengikuti langkah Wulan yang mengajaknya untuk duduk di kursi dekat Aryo. Lalu, perkataan Wulan membuat Indira mendongak begitu pun Aryo.

"Ah iya, Mas. Tiba-tiba aja aku ingat kalau anak-anak udah nunggu. Barusan Mama udah ngirim pesan kalau mereka udah nanyain aku terus. Aku pamit pulang dulu, ya, Mas." Pamit Wulan kepada Aryo membuat pria itu mengangguk tanda mengerti.

Kemudian, ia menoleh ke arah adik madunya lalu berkata, "Mbak pulang dulu, ya, Ra. Mbak minta tolong pastiin Mas Aryo makan yang banyak, ya, Ra. Soalnya dari tadi suami kita ini hanya fokus sama kerjaannya," pinta Wulan yang langsung diangguki Indira secara tidak sadar. Ia tidak bisa menolak jika itu permintaan Wulan.

Wulan bergegas mengambil tas di sofa dan menyampirkannya di bahu. Ia berdiri dan berpamitan. Sebelum itu dikecupnya tangan Aryo dengan takjub lalu Indira yang menyalami kakak madunya dengan hormat. Bagaimanapun, Wulan lebih tua beberapa tahun darinya, ia sudah anggap wanita itu sebagai kakaknya sendiri.

Ketika keluar dari ruangan Aryo, hati Wulan memang terasa sakit. Meninggalkan sang suami untuk dilayani oleh wanita lain selain dia. Akan tetapi, ini sudah menjadi konsekuensinya atas semua keputusan yang Wulan ambil. Wanita itu melangkah sambil melengkungkan senyumnya, berusaha menyembunyikan kesedihan serta air mata yang mulai berdesakan ingin keluar.

Sedangkan, Aryo sedari tadi memandang wajah Indira yang tengah membuka satu persatu rantang di hadapannya atas permintaan pria itu.

"Ra, Maaf. Mas lupa kalau hari ini kamu sudah janji mau bawa makan siang ke sini," sesal Aryo, matanya sedari tadi tidak lepas dari wajah Indira yang terlihat agak kaku di hadapannya. Aryo menebak istri keduanya itu telah menahan kecewa.

"Enggak apa-apa, Mas. Lagi pula, enggak ada yang spesial kok dari masakanku. Kalau pun Mas Aryo sudah kenyang, biar nanti aku bawa kembali lagi ke rumah," ujar Indira pelan yang terdengar sebagai sindiran di telinga suaminya.

"Mas mau makan masakanmu, Ra. Pasti lezat. Lagi pula Mas rasa perut Mas masih kosong. Masih lapar juga. Apalagi lihat makanannya makin bikin ngiler," bujuk Aryo mencoba mencairkan suasana.

"Tapi ...."

"Kamu juga belum makan siang, kan, Ra? Kita makan bersama saja," potong Aryo tepat. Indira ingin menyangkal, tetapi ia tahu Aryo pasti sudah bisa menebak kalau dirinya memang benar belum makan siang.

Terdengar dari suara cacing di perutnya yang mulai berbunyi. Membuat wanita itu merutuki dirinya, karena selalu saja mempermalukan diri sendiri di hadapan sang suami. Wajahnya mulai bersemu merah menahan malu.

Sedangkan, di sampingnya Aryo tersenyum karena merasa lucu dengan tingkah Indira. Dipandang sedemikian rupa oleh suaminya membuat wanita itu merasa gugup. Ia mulai berdehem mencoba menghilangkan perasaan itu.

Indira mulai melayani Aryo, menyendokkan nasi ke piring dan lauknya. Lalu, memberikannya kepada sang suami untuk dimakan. Pria itu menerima piring di tangan Indira, kemudian menyantapnya dengan lahap.

Aryo sadar sedari tadi istrinya hanya diam melihatnya melahap hidangan, tanpa menyentuh makanan itu sama sekali sesuai perintah Aryo untuk makan bersama. Membuat Aryo berinisiatif menyendokkan nasi dan lauknya di piring. Lalu, mengarahkan makanan itu ke mulut sang istri hendak menyuapi, membuat Indira terkejut dengan apa yang sedang Aryo lakukan.

Bersambung.















Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang