Bab 42.

2.9K 121 0
                                    


“Mas kok udah pulang? Gimana kondisi Ira? Kok bisa sih dia ada di rumah sakit?” berondong Wulan ketika Aryo baru saja masuk ke rumah mereka.

“Nanti kita bicarakan di kamar saja,” balas Aryo dengan senyuman. Ia mencoba terlihat baik-baik saja di hadapan istri pertamanya. Tak mungkin menunjukkan rasa sedih yang berlebihan takut Wulan terluka. Ia yakin, bila itu terjadi, sang istri pastinya akan merasa kalau cinta Aryo untuk Indira begitu besar dibandingkan kepadanya.

Bukankah memang dilarang menunjukkan terang-terangan condong ke salah satu istri bila sedang bersama istri yang lain? Sebisa mungkin, pria itu menyembunyikan isi hatinya. Meski, memang benar, sekeras apa pun Aryo melupakan Indira dahulu, wanita itu tetap yang paling tinggi bertahta di hatinya. Apalagi, kini dirinya telah menjadi suami sah dari cinta pertamanya tersebut.

“Anak-anak di mana, Sayang?” tanya Aryo mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Oh. Lagi diajak Yuri nyari camilan ke minimarket.”

Aryo mengangguk tanda mengerti sambil membulatkan bibirnya berbentuk “O”.

“Mas sudah makan? Aku baru saja masak ayam rica-rica,” tanya wanita tersebut kepada sang suami ketika Aryo masuk ke dapur, lalu membuka kulkas dan meraih sebotol air putih dingin di sana. Tak lupa, pria itu menenggak isinya sampai tersisa setengah botol.

“Belum. Mas belum sempat makan apa pun di sana.”

“Ya sudah. Mas makan dulu aja, mumpung masih hangat.”

“Nanti saja, Yang. Mas mau mandi dulu. Siang ini Mas harus ke kantor dulu sebentar untuk menandatangani berkas penting, terus kembali ke rumah sakit buat lihat kondisi Ira,” cegah Aryo ketika melihat istrinya akan menyiapkan lauk pauk dan nasi di atas meja makan.

“Oh. Ya sudah, Mas.”

Mereka berdua berjalan berdampingan hendak menuju ke kamar. Aryo melingkarkan tangannya sebelah di pinggang sang istri. Kebiasaan yang sejak dulu tak pernah lepas dari pasangan ini. Meskipun, cintanya tak sebesar kepada Ira, tetapi sebagai seorang suami yang menghargai istri, ia sebisa mungkin bersikap mesra demi menjaga keharmonisan keluarga kecilnya.

Di dalam kamar, Aryo membuka pakaian yang ia kenakan, lalu menyimpannya ke dalam keranjang kotor. Pria itu meraih handuk yang sudah Wulan persiapkan.

“Mas belum jelasin, lho. Kenapa Ira sampai masuk rumah sakit?” Baru selangkah Aryo hendak masuk ke kamar mandi, tetapi ia urungkan. Kemudian, pria itu berbalik menatap Wulan dan mengembuskan napas yang terasa berat ditelinga sang istri.

“Tidak apa-apa. Hanya sakit biasa,” elak Aryo sambil menghindar dari tatapan sang istri.

Ada alasan yang kuat sampai pria itu menyembunyikan kabar Indira dari istri pertamanya.

“Bener? Mas enggak bohong, kan?”

“Iya. Masa Mas bohong sih?” sanggah Aryo gugup semakin membuat sang istri tak percaya. Wulan lalu memangkas jarak di antara mereka.

“Aku kenal Mas itu dah lama. Mas enggak pintar berbohong,” sela wanita tersebut dan membuat Aryo tak bisa berkelit lagi. Dengan hanya bertelanjang dada, Aryo mengajak sang istri duduk di sofa kamar mereka.

Sebenarnya, pria itu bingung harus menjelaskan dari mana? Ia takut, Wulan akan semakin merasa bersalah terhadap kondisi adik madunya tersebut. Meskipun, sang istri sama sekali tak bersalah dan tak terlibat dengan yang telah terjadi kepada Ira. Tetap saja, Aryo yakin sebagai adik Rama, Wulan akan menyalahkan dirinya juga, seperti Aryo menyesali perbuatan orang tuanya dulu yang sudah terlibat serta tak bisa melindungi wanita yang dicintainya tersebut.

Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang