Bab 20. Akad Kedua

3.8K 126 2
                                    


Setelah kejadian itu Wulan mencoba menjelaskan kepada warga kalau memang ia lah yang menyuruh Aryo menikah kembali. Jadi, tak ada yang namanya merebut dan perebut suami orang lain. Warga yang mendengarnya bungkam seribu bahasa. Namun, ada sebagian dari mereka yang tak percaya bahkan terkesan semakin menggosok gosip itu. Kita tak bisa mengendalikan mulut dan pikiran manusia. Dalam kehidupan pasti ada saja orang yang tak bisa mengendalikan lisannya.

Dalam waktu seminggu surat-surat pengurusan surat nikah dan administrasi lain sudah lengkap. Bahkan, untuk hantaran dan segala macam Wulan lah yang menyiapkan segalanya. Dia yang memilih sesuai selera calon adik madunya itu.

Hari Minggu ini akan akan dilaksanakan di area mesjid yang berada di sekitar pemukiman. Aryo dan Wulan sudah bersiap diri dari waktu subuh tiba. Ketika Aryo mengenakan setelan jas hitam yang dipadu padankan dengan kemeja putih. Wulan menghampiri suaminya. Dia memakaikan jas itu dengan diam. Meski tak mengatakan apa pun. Aryo tahu istrinya ini pasti sedang terluka.

Walaupun tak ada kata keberatan apalagi sepanjang bersamanya Wulan selalu tersenyum. Namun, senyum itu sarat akan kesakitan di dalam hatinya. Aryo memandang wajah istrinya. Berulang kali dia ingin melihat isi hati Wulan dari kedalaman matanya. Akan tetapi, istrinya itu selalu menghindar dengan menundukkan wajahnya.

Diangkatnya dagu Wulan membuat wanita itu terpaksa mendongakkan kepalanya. Mata mereka bertemu, Aryo dapat melihat rasa sakit di mata Wulan yang sendu.

"kalau kamu enggak yakin dengan pernikahan keduaku ini. Apa perlu kita membatalkannya, Sayang? Aku enggak mau kamu tersakiti. Bagaimanapun kamu ini masih istri yang kucintai," tanya Aryo ia ingin tahu bagaimana perasaan istrinya saat ini.

"Mas jangan bicara seperti itu. Acara akan segera dimulai. Aku ikhlas, Mas. Bahkan, percaya kalau Mas Aryo akan bisa adil terhadap kami. Bahagiakan Indira. Dia membutuhkan Mas Aryo setelah apa yang dia alami selama ini. Tepatilah janjimu untuk menikahinya dulu," jelas Wulan. Dia harus terbiasa dengan rasa sakit ini mulai sekarang.

"Tapi ...." Wulan menggeleng sambil menempelkan jarinya di bibir Aryo. Mereka saling memandang satu sama lain. Menyelami perasaan lawan bicaranya dengan saling menyelami perasaan lewat mata mereka.

Untuk sesaat pasangan suami istri itu lupa dengan rencana mereka. Saling menumpahkan kerinduan. Tiba-tiba suara ketukan di pintu menghentikan kegiatan mereka.

"Mbak, Mas, sudah siap belum? Sebentar lagi acara akan dimulai," teriak Yuri dari balik pintu.

Membuat Wulan dan Aryo saling pandang kembali dan terkekeh. Bisa-bisanya mereka terbawa suasana bahkan membuat riasan di bibir istri Aryo itu pudar karena ulah suaminya. Yuri yang tak mendengar jawaban kakak dan iparnya itu hanya menggeleng ketika menguping dan hanya kekehan mereka yang masuk ke telinganya.

"Mbak! Mas!" Yuri mencoba memastikan kembali.

"Iya sebentar lagi kami turun" ucap Aryo. Wulan sudah kembali membenarkan riasannya sedangkan suaminya itu mengancingkan jas dan merapikannya kembali.

Mereka turun dan menemui keluarga yang sudah berkumpul termasuk Yuri, orang tua Wulan, dan paman serta istrinya, juga para warga yang sebagian mengiringi pengantin pria. Masing-masing dari mereka membawa seserahan di tangannya.

Karena mesjid tak jauh dari kediamannya. Mereka hanya berjalan kaki menuju tempat akad nikah itu berada. Aryo disambut orang tua Indira yang membawa calon menantunya duduk di depan penghulu. Sedangkan Wulan dan Yuri menemui Indira dan mereka yang akan mendampingi gadis itu. Menemaninya sampai akad nikah selesai diucapkan Aryo.

Setelah acara demi acara pembukaan tiba waktunya acara yang ditunggu-tunggu terjadi. Di seberang Aryo ada penghulu dan ayah Indira sebagai walinya. Aryo duduk dengan gagahnya. Sebenarnya dia menyembunyikan kegugupannya. Meski bukan pertama kalinya menikah tetap saja pria itu deg-degan luar biasa. Tangannya yang sejak tadi terkepal berkeringat ketika akan bersalaman dengan ayah Indira.

"Saya terima nikah dan kawinnya Indira Mailani Zahra binti Taufik Hidayat dengan mas kawin seperangkat alat salat dan satu set berlian dibayar tunai." Suara Aryo terdengar lantang, tanpa jeda dan dalam sekali helaan napas. Membuat para warga yang ada di sana menghela napas dengan lega. Tak terkecuali orang tua Indira bahkan Aryo sekali pun. Dia bisa mengatasi rasa gugupnya.

Di ruangan lain, Indira, Wulan dan Yuri juga merasakan hal yang sama. Saat suaminya mengucapkan akad itu dengan lantang teringat oleh Wulan pernikahan mereka dahulu yang dilandasi tanpa cinta. Kilasan-kilasan masa lalunya terus terbayang. Di saat akad nikah dengannya dulu, Aryo mengalami kesulitan sehingga butuh kesempatan dua kali sampai mereka sah menjadi suami istri.

Mengingat itu membuat perasaan Wulan kembali lagi tersayat. Tiba-tiba dalam hatinya menyeruak pikiran tak tenang. Baru akad nikah saja kentara sekali suaminya itu memang menginginkan pernikahan ini.

Bagaimana tidak, menikahi Indira adalah impian pria itu sejak dulu. Membuat Wulan merasa dia lah yang telah menjadi penghalang hubungan di antara keduanya. Namun, sekarang Indira dan suaminya sudah sah menjadi suami istri. Jadi, Wulan harus menyampingkan rasa sakitnya demi sang suami.

Dibawanya Indira ke hadapan semua orang termasuk Aryo suaminya oleh Yuri dan Wulan mendampingi. Wanita itu dapat melihat sang suami memandang Indira tak berkedip. Terkesima dengan kecantikan pengantin wanitanya itu.

Sedangkan Indira hanya menunduk karena canggung. Seumur hidupnya tak pernah terpikirkan akan menikah dengan pria beristri. Meski ia tak bisa menampik kalau suaminya itu memiliki pesona yang luar biasa sebagai seorang pria. Bukan hanya tampan dan mapan, tetapi lebih dari itu Aryo lelaki yang baik dan bertanggung jawab.

Penghulu yang menikahkan mereka menyuruh keduanya untuk menandatangani surat-surat termasuk buku nikah pertanda kalau Indira sudah bersuami dan Aryo memiliki dua istri. Selanjutnya acara foto-foto dan yang paling membuat Indira dan Aryo tegang yaitu saat gadis itu mencium takjub tangan suaminya. Dan dengan izin Wulan Aryo mencium kening istri keduanya tersebut. Tak ada momen spesial di sana, mengingat keberadaan Wulan yang harus dijaga hatinya.

Acara demi acara telah selesai dengan lancar. Tiba saatnya Wulan melepaskan suaminya itu untuk menyambut tamu yang dapat di kediaman keluarga mempelai wanita, sekaligus menghabiskan malam pertamanya dengan Indira.

Wanita itu termenung setelah Aryo pergi. Sekelebat bayangan malam pertama sang suami dengan madunya itu melintas tanpa bisa dicegah. Bahkan, hanya mengkhayalkannya saja rasanya terasa pedih seperti ini. Bagaimana jika dia melihat suaminya pagi-pagi dengan rambut yang basah pulang ke rumah mereka?

Lamunan Wulan buyar kala tangan seseorang meraba pundaknya. Dia menoleh dan melihat Bu Rina duduk di sebelahnya.

"Mama tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Kenapa sih harus menikahi gadis itu? Memangnya enggak ada cara lain?" tanya Mama Wulan tersebut dengan menggebu-gebu.

Wulan menggeleng, tak ada cara lain untuk menebus kesalahan kakaknya yang fatal.

"Aku baik-baik saja, Ma," jawabnya menenangkan Bu Rina. Bukan, dia sendiri yang butuh itu sekarang. Wanita itu hanya butuh sesuatu untuk menenangkan hatinya.

"Jangan bohong kamu, Sayang. Mama enggak bisa bayangkan mulai sekarang raga Aryo tak hanya milikmu saja. Apalagi ...,"

"Ma ...," sela Wulan. Dia tak mau terpengaruh dengan ucapan Mamanya. Ini keputusannya, jadi Wulan harus ikhlas menjalani semua ini sesakit apa pun hatinya.

Hening tak ada yang bisa Bu Rina katakan lagi. Susah sekali membuat putrinya itu berubah pikiran. Sebagai seorang ibu dia tak mau Wulan merasakan sakit hati karena telah dimadu.

Bagaimana malam pertama Aryo dan Indira? Kira-kira menurut kalian sukses enggak, ya?

Bersambung.

Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang