Bab 50.

3.4K 119 1
                                    

“Maafkan kesalahan anak kami ya Nak Indira. Maaf sebagai orang tua kita nggak becus mendidik anak. Kami menyesal sekarang atas semua perbuatan Rama sama kamu,” ujar ini Bu Rina sambil memohon maaf dengan berurai air mata.

Indira meraih tangan Bu Rina dan menggenggamnya dengan erat.

“Aku memaafkan semua kesalahan Mas Rama dulu. Meski sulit, tapi aku sedang berusaha untuk ikhlas. Lupakan semua yang telah terjadi. Bukankah Allah maha pemaaf kenapa kita saja sebagai hamba yang tak memiliki kuasa tidak?

“Lagi pula, aku bersyukur dengan jalan ini, bisa mengenal sosok kakak seperti Mbak Wulan,” tambahnya lagi.

Mendengar ucapan Indira, Buu Rina menghambur ke arah madu sang putri dan memeluknya erat. Ia mengucap terima kasih karena sudah mendapat maaf dari mereka. Hatinya sedikit lega. Padahal, ia dan sang suami sempat berpikiran picik terhadap wanita itu.

Keduanya kira, Indira itu wanita yang gila harta sehingga mengincar Aryo dan bahkan mau menjadi istri kedua dari menantunya. Ternyata sangkaan itu keliru. Apalagi, setelah mendengarkan penjelasan secara langsung dari Wulan kalau dirinya mendapatkan maaf dari Indira.

Pagi-pagi sekali Aryo sudah rapi dengan kemeja dan celana bahan. Pria itu tengah menyugar rambutnya dengan senyum merekah. Setelah beberapa hari ia menghabiskan waktunya bersama Wulan. Kini giliran jatah Aryo bersama Indira. Kali ini pria itu hendak memberikan kejutan kepada sang istri.

“Mas, kamu mau kemana rapi banget. Bukannya ini hari Minggu, Mas?” tanya Indira yang baru terbangun dari tidurnya.

Aryo memutar tubuhnya menghadap Indira. Ia berjalan mendekat ke tepi ranjang dan mencium kening wanita itu.

“Kamu sudah bangun, Sayang,” ucapnya lembut.

Indira menjawab dengan sebuah anggukan.

“Kamu siap-siap juga, ya. Hari ini kita mau jalan.”

Mata Indira memicing. ‘Tumben mas Aryo mau ajak aku jalan? Memangnya mau ngajak aku ke mana?’ batin Indira.

“Aku tunggu di ruang tamu. Dandan yang cantik ya sayang,” ucapnya seraya berjalan keluar dari kamar.

Indira menggeleng pelan menatap punggung suaminya yang telah menjauh. Ia bergegas mandi dan bersiap dengan gamis panjang yang melekat di tubuhnya. Hijab phasmina dengan warna senada membuat tampilannya semakin memukau. Wanita itu menatap dirinya dalam cermin.

“Semoga saja Mas Aryo menyukai penampilanku,” gumam Indira sambil mematut diri di cermin.

Wanita itu meraih tas selempang dan berjalan menuju ruang tamu.

“Kamu sudah siap, Ra?”

“Sudah, ayok jalan. Emangnya kita mau kemana sih, Mas?”

“Pamit dulu sama Bunda dan Ayah. Mas sudah tadi,” Indira mengangguk dan menuruti ucapan sang suami.

“Mau jalan ke mana sih, Mas?” tanya Indira sesaat setelah duduk di jok mobil Aryo.

“Penasaran, ya. Nanti juga kamu akan tahu. Udah ikut aja jangan banyak tanya  Suamimu ini enggak akan mungkin mengajakmu ke jurang,” ujar Aryo seraya tersenyum menggoda.

Wanita itu mencubit pinggang suaminya dengan bibir mengerucut, membuat Aryo terkekeh karena berhasil menggoda sang istri.

“Sebelum jalan, kamu tutup mata dulu ya pakai ini,” ucap Aryo seraya memakaikan penutup mata pada Indira yang sudah duduk di sebelahnya.

“Loh, memangnya ada apa, Mas?” tanya Indira dengan raut wajah keheranan.

“Takut ada orang jahat yang mau culik bidadari kesayanganku.”

Bibir wanita itu pun tersenyum. Ia tersipu mendengar gombalan sang suami.

“Apaan sih, Mas. Gombal banget deh.” Indira membuang muka ke arah lain demi menutupi rona wajahnya yang pasti sudah memerah.

Tangan Aryo mulai meraih tali kain dan menutup mata sang istri. Indira hanya diam mengikuti permainan suaminya dengan hati deg-degan tak menentu. Ia sungguh penasaran apa yang akan Aryo lakukan.

Selang beberapa saat deru mesin menyala. Mobil berjalan perlahan meninggalkan pelataran rumah. Belasan menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah rumah minimalis. Aryo menuntun Indira turun dari mobil dengan mata yang masih tertutup.

Antara rasa bingung dan penasaran kian memenuhi rongga hati Indira. Untuk apa sebenarnya Aryo melakukan hal ini.

“Tenang saja, Ra. Kamu pasti suka kejutan dari Mas,” bisik Aryo di telinga sang istri, seolah tahu apa yang jadi pertanyaan dalam hatinya.

“Beneran bukan lagi ngerjain aku, kan?” tanya Indira dengan waspada, membuat sang suami terkekeh geli.

“Ih, kok ketawa.”

“Pokoknya kamu jangan berpikir macam-macam. Mas hanya mau bilang kalau kamu pasti suka.”

Setelah beberapa langkah. Mereka berhenti di depan pintu dan Aryo membuka tali pengikat yang menghalangi penglihatan sang istri.

Netra wanita itu menyapu pandang ke segala arah. Ia mengernyit dan masih memperjelas penglihatannya yang masih kabur.

“Surprise! Ini hadiah untuk kamu,” ucap Aryo dengan penuh kebahagiaan.

“Hadiah apa, Mas? Aku kan enggak lagi ulang tahun. Ini rumah siapa, Mas?” cecar Indira.

Aryo menyerahkan kunci rumah dengan gantungan boneka beruang. Pria itu mendekat hingga tak ada lagi jarak di antara mereka. Ia berbisik di telinga Indira.

“Ini Rumah buat kamu tinggal.”

“Maksudnya, Mas?” tanya Indira masih belum sadar yang Aryo katakan. Entah kenapa, otaknya mendadak lemot seperti itu.

“Rumah kita biar bisa bebas bikin adek bayi,” bisik Aryo. Indira mengerutkan keningnya mencoba mencerna apa yang sang suami katakan. Tak lama, wanita itu mengerti maksud suaminya.

Indira mencubit perut Aryo hingga menimbulkan nyeri di sana. Pria itu meringis menahan sakit.

Aryo tertawa dan yang tak terduga, pria itu kemudian menggendong Indira.

“Turunin aku. Mas ini apa-apaan sih?” teriak Indira.

“Ayo kita keliling rumah ini.”

“Iya, tapi jangan digendong juga. Aku bisa jalan sendiri.”

Tak lama, pria itu menurunkan Indira. Dan mereka berkeliling rumah. Istri kedua Aryo tersebut sungguh terharu dan tak menyangka atas kejutan yang sang suami berikan untuknya.

“Kamu suka enggak? Maaf baru sekarang Mas bisa bawa kamu ke rumah sendiri.”

Indira mengangguk dengan mata yang mulai berkaca-kaca karena saking terharunya. Wanita itu dengan sekejap menghadiahkan ciuman singkat sebagai tanda terima kasih kepada sang suami. Membuat pria itu mematung karena terkejut meski hatinya berbunga-bunga.

“Kenapa kita harus pindah dari rumah Bunda, Mas? Apa, Mas enggak nyaman tinggal di sana?” tanyanya ketika mereka tengah duduk di salah satu ranjang kamar utama.

“Mas nyaman kok, Sayang. Cuma kalau di sini kan kita lebih bebas dan bisa lakuin sesuatu kapan aja tanpa gangguan dan takut Bunda sama Ayah dengar,” ucapnya seraya menaikkan sebelah alis menggoda.

“Ih dasar mesum!”

“Bukan mesum. Kita kan sudah suami istri.”

Indira merasa kurang nyaman jika harus membicarakan soal ranjang mereka. Bagaimana pun, wanita itu tetap memiliki sifat yang pemalu dan tak terbiasa untuk membahas hal yang menurutnya agak tabu. Meski ia pun suka saat melakukannya.

Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang