Bab 14. Manis

3.3K 111 0
                                    

"Papa kenapa?!" tanya Wulan panik, dia memandang suaminya. Gegas Aryo memapah tubuh mertuanya. Menyuruh Wulan mengambil kunci mobil di atas nakas kamar. Mendengar keributan Yuri yang sedang bermain dengan anak-anak segera keluar. Ketika melihat Wulan melewatinya, gadis itu bertanya.

"Ada apa, Mbak?" tanya Yuri heran.

"Dek, titip anak-anak, ya. Mbak mau ke rumah sakit dulu. Besok Mbak dan Mas-mu pulang pagi-pagi sekali." Wulan berlalu tanpa menjawab pertanyaan adik iparnya. Dia terlihat sangat panik. Tak ingin sampai terjadi sesuatu dengan Papanya, jadi Wulan harus cepat-cepat mengantar ke Rumah Sakit.

Setelah semua orang masuk termasuk Wulan, suaminya, dan Bu Rina serta Pak Agung dalam pangkuan. Aryo melajukan mobilnya menuju Rumah Sakit terdekat.

Setengah jam kemudian mereka sampai lalu segera membawa Papa Wulan ke ruang IGD untuk mendapatkan tindakan pertama oleh dokter jaga di sana. Wulan menangis di pelukan ibunya. Mereka sama-sama menumpahkan kekhawatiran di dalam hati. Takut terjadi sesuatu terhadap Pak Agung. Bagaimanapun pria paruh baya itu adalah satu-satunya laki-laki di keluarganya sekarang. Sebelumnya Rama, putra tertuanya meninggal gara-gara penyakit kronis.

Sebagai kepala keluarga, Pak Agung memang satu-satunya tumpuan bagi anak serta istrinya. Apalagi mengingat Selvi anak bungsunya belum menikah karena masih sibuk menjadi wanita karir mengelola usaha Aryo sekarang, gadis itu tak pernah mengenalkan pria mana pun untuk dijadikan suami. Jadi, hanya pria itu sekarang berperan sebagai pelindung.

Kurang dari dua jam dokter keluar dan mengatakan kalau papa Wulan mengalami serangan jantung. Jadi, untuk beberapa hari dia wajib mendapatkan perawatan intensif. Untunglah tak sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Karena segera mendapat tindakan, nyawanya bisa segera tertolong.

Semua orang merasa lega mendengar kabar itu. Masih terekam di benak Wulan bagaimana kakaknya di rawat di rumah sakit dan meninggal tak lama setelah dia datang dan Rama menceritakan semua kesalahannya dahulu terhadap seorang gadis.

Wulan syok mendengarnya. Ada rasa kecewa terhadap kakaknya itu, tetapi rasa sayang seorang adik terhadap kakaknya mengalahkan segalanya. Apalagi Rama sangat menyesal di akhir hidupnya. Dia terus merutuki diri setelah kejadian memilukan di masa silam. Ketika mengetahui Indira mengalami hilang ingatan dan menghilang. Dia terus saja dihantui rasa bersalah. Sampai kakak Wulan tersebut divonis dokter mengidap kanker otak.

Tanpa bisa meminta maaf terlebih dahulu dia meninggal dunia dengan masih memendam penyesalan di dalam hatinya.

**

Kondisi mertua Aryo sudah stabil. Apalagi beliau sekarang sudah dipindah ke ruang perawatan di Rumah Sakit itu. Membuat Wulan tak lagi merasa khawatir dan lega luar biasa. Pagi harinya Aryo dan Wulan pulang ke Rumah untuk menjemput anak-anak dan membawa baju ganti untuk mamanya yang sedang menjaga papa Wulan.

Setelah salat Subuh mereka kembali ke rumah yang terlihat masih sepi. Hanya ada Yuri yang baru beres beribadah. Wulan menanyakan kabar anak-anak, tetapi mereka belum juga bangun. Semalam susah sekali terlelap karena tak ada Wulan di samping mereka. Memang anak-anak tak bisa tidur sebelum mamanya itu menceritakan dongeng terlebih dahulu. Membuat kedua bocah itu sangat tergantung kepada Wulan.

Setelah melihat anak-anak yang tertidur pulas di kamar mereka. Wulan menyusul Aryo ke kamar mereka. Di sana dia bisa melihat suaminya termenung, seperti memikirkan sesuatu.

"Ada apa, Mas? Apa ada sesuatu yang membuat pikiran Mas terganggu?" Wulan duduk di samping suaminya itu. Aryo menoleh serta menggeleng, tetapi tak sejalan dengan hatinya yang dirundung kebimbangan.

"Apa benar, Mas? Bukannya Mas sedang memikirkan rencana pernikahan dengan Indira? Aku janji, keadaan papa tak akan membuat kita mundur. Rencana lamaran Mas Aryo dan Indira akan tetap berlangsung. Apalagi aku bersyukur kondisi papa sudah membaik. Lebih cepat lebih baik untuk Mas menikahinya," jelas Wulan dengan menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Wanita itu hanya ingin melihat suaminya bahagia.

Dia tahu sedari tadi malam suaminya memang terlihat gelisah. Sekeras apa pun suaminya jika sudah memutuskan sesuatu, Wulan tahu Aryo takkan pernah melakukan apa pun tanpa persetujuannya. Dia hafal sekali sifat suaminya itu.

"Terima kasih, Sayang. Kamu bisa mengerti segalanya. Maafkan aku yang sudah menyakitimu dengan kata-kata menyakitkan seperti kemarin," sesal pria itu sambil memeluk istrinya.

"Tidak, Mas. Jangan meminta maaf seperti itu. Mas Aryo enggak salah. Mas memang pantas marah setelah tahu aku menyembunyikan rahasia besar. Kenyataan yang pahit dan Mas berhak tahu segalanya. Aku pantas meminta maaf dan menyesal karena perbuatan kak Rama, Mas sempat kehilangan Indira."

Aryo menggeleng lalu melerai pelukan mereka. Memandang mata istrinya lebih dalam. Terlihat cinta yang dalam di sana untuknya.

"Kamu enggak perlu minta maaf. Mungkin ini sudah takdir dari-Nya. Aku harus menikah dulu denganmu. Merasakan mempunyai istri yang sempurna bak bidadari. Baik fisik maupun hatinya sangat cantik. Kamu tahu, tak ada satu laki-laki mana pun yang enggak bersyukur mendapatkan pendamping sepertimu. Sudah bisa mengambil hati suamimu ini dengan segala perhatian yang diberikan sebagai seorang istri. Tak bisa kupungkiri kalau aku juga mencintaimu," ucap Aryo panjang lebar. Membuat pipi istrinya itu merona. Wulan bahagia sang suami sudah kembali seperti dulu. Sosok romantis yang selalu memujanya.

Aryo mengecup lembut kepala sang istri. Menyatukan kening mereka. Saling menyelami perasaan masing-masing melalui bola mata mereka. Menyatukan napas yang sudah tak beraturan.

Aryo tahu kesalahan sang istri sulit dimaafkan. Namun, dia juga tak ingin kehilangannya. Dia mencintai Wulan. Jadi, mulai sekarang pria itu akan mencoba menerima segala kekurangan dan kelebihan sang istri. Seperti yang Wulan lakukan kepadanya dari dulu sampai sekarang.

Masih terdengar deru napas di antara keduanya. Cukup lama mereka saling bertukar napas. Aryo tersenyum jahil hendak menggoda sang istri.

"Sayang kamu belum mandi, ya?"

"Hmmm ...." Wulan mendongak mendengarkan pertanyaan sang suami. Dia menggeleng.

"Kan Mas sudah tahu." Dia pikir apa tubuhnya bau sampai suaminya bertanya seperti itu? Memang tadi mereka salat subuh di Rumah Sakit tidak mandi dulu karena lupa membawa baju ganti. Apalagi semalaman mereka sama sekali tidak tidur menunggu keadaan papa Wulan.

"Kalau begitu kita mandi bareng." Aryo memangku Wulan ala bridal style membuat istrinya memekik karena terkejut. Membawanya ke kamar mandi. Entah apa yang terjadi di dalam sana. Yang jomblo jangan berpikir aneh-aneh.

Bagaimana kisah selanjutnya. Baca bab selanjutnya, ya.

Bersambung.

😂😂😂😂Part akhir aku kasih yang manis bukan tegang. Bonus buat yang baca🤭🤭🤭

Masih ada kata rancu. Maklum fresh from the oven eh maksudnya ketik langsung kirim😂😂😂belum revisi. Maaf mau ikutan KBM subuh soalnya. Nanti siang insya Allah direvisi.

Terima kasih. Happy reading 🥰🥰🥰😍

Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang