“Nak. Bukannya Ayah mau menghalangi Nak Aryo menemui Ira. Tapi, sepertinya untuk sekarang, dia sama sekali tak bisa Nak Aryo temui,” terang Ayah membuat sang menantu menoleh dengan kening berkerut.
“Maksud Ayah bagaimana?”
“Indira tak ingin bertemu dengan Nak Aryo. Jadi ... lebih baik, Nak Aryo pulang dulu saja.”
Ucapan sang mertua membuat bahu pria itu merosotkan bahunya. Apa yang terjadi lagi sebenarnya? Kenapa Ira tak ingin bertemu dengannya?**
“Tapi bagaimana bisa, Yah? Ira itu istriku? Mana mungkin aku tak menemuinya sedikit pun.”
“Ayah tahu, Nak. Ayah juga tak bisa berbuat apa-apa. Ini kemauan Ira sendiri. Nak Aryo untuk sementara berikan dia waktu dulu. Ayah rasa ... ingatan lamanya sudah kembali. Ayah minta, Nak Aryo bisa mengerti kondisinya sekarang. Sebaiknya Nak Aryo pulang saja dulu. Biar Ayah dan Bunda yang menjaganya di sini,” ujar ayah.
Bahu Aryo merosot mendengar permintaan mertua laki-lakinya. Ia sesungguhnya ingin menemani Indira di rumah sakit ini. Akan tetapi, pria itu berpikir ucapan Ayah memang benar. Dirinya harus lebih sabar lagi, pun memberikan waktu untuk istri keduanya agar bisa tenang. Tak ingin kekasih hatinya merasa tertekan kini.
Meski, hati kecilnya menginginkan hal sebaliknya. Aryo tahu, Indira telah mengingatnya kembali, ada secercah harapan dalam sanubari pria itu agar bisa menuntaskan rindu yang telah lama terpendam. Mengulang kisah manis di antara mereka. Saling bercerita dengan bebas tanpa takut akan status yang belum halal.
“Baiklah, Yah. Saya akan pulang dulu ke rumah. Kebetulan, ada pekerjaan penting yang harus saya selesaikan dulu. Mungkin, nanti sore saya akan kembali ke sini dan melihat kondisi Ira.”
“Tapi Nak ....”
“Ayah tak perlu khawatir, saya hanya akan melihat Ira dari kejauhan. Saya tak akan mendekat kalau Ira belum siap,” pungkas Aryo ketika hendak mendapatkan penolakan dari sang mertua.
Ia tak mungkin lepas tangan begitu saja mengenai sang istri. Apalagi, ada rasa rindu yang menggebu untuk perempuan yang masih mengisi hatinya tersebut.
“Ya sudah. Ayah tak berhak melarang kamu, Nak. Maafkan kalau Nak Aryo merasa kami tak adil karena meminta untuk menjauhi Ira sementara. Ayah pun tidak berdaya dalam hal ini.”
Aryo menggeleng, mencoba melunturkan rasa bersalah di wajah sang mertua. Pria itu mengerti dengan situasinya sekarang yang sama sekali tak memungkinkan untuknya bertemu dengan sang istri.
“Tidak, Yah. Saya sangat mengerti dengan situasinya sekarang. Mungkin, ini ujian pertama pernikahan saya bersama Indira. Bahkan, apa yang harus saya rasakan, tak sebanding dengan penderitaan Ira,” ujar Aryo seketika membuat sang mertua merasa lega.
Jika, menantunya saja mengerti, lalu apa yang dia khawatirkan lagi? Pria paruh baya tersebut tahu, pasti takkan mudah mengembalikan kondisi mental sang putri mulai sekarang. Meski berat, Ayah tetap bersyukur, putrinya masih selamat untuk kedua kali dari maut. Itu artinya, dia dan sang istri harus lebih keras lagi menjaga Ira.
“Ya sudah. Ayah harus kembali ke ruangan IGD lagi. Bunda pasti sudah menunggu di sana. Biar kami bergiliran menunggu Ira.”
Ayah menepuk pundak Aryo dan berkata, “Sabar, ya, Nak. Ayah yakin. Ujian ini akan berakhir dan semuanya akan baik-baik saja. Berdoalah, Ira cepat pulih serta bisa menghilangkan trauma di dalam dirinya.”
Senyum mengembang terbit dari bibir Aryo. Pria itu mengangguk yakin. Ia masih memiliki Allah yang maha penolong di setiap masalahnya. Selain usaha untuk menyembuhkan rasa trauma sang istri, ia pun harus terus memanjatkan doa yang lebih kencang lagi. Karena, tak ada penolong yang paling mujarab kecuali kekuatan doa.
Sebelum pulang, Aryo membayar uang deposit untuk perawatan Ira, pun memilih kamar rawat karena kata dokter, istrinya sudah boleh dipindahkan dari IGD. Meski hanya bisa memandang dari kejauhan, Aryo masih bisa bernapas lega saat melihat sang istri dipindahkan dengan kondisi yang sudah agak lebih baik. Meski, wanitanya itu masih terlihat pucat dengan pandangan kosong ke depan. Setidaknya, menurut dokter, kesehatan tubuh Ira sudah stabil. Apalagi, masa kritisnya telah lewat dan beberapa waktu lalu sudah siuman.
Ingin rasanya pria itu merengkuh sang pujaan hati ke dalam dekapannya. Namun, kali ini, dirinya harus menahan diri untuk tidak melakukannya.
“Mas rindu kamu, Ra,” gumam Aryo ketika tubuh sang istri telah dipindahkan ke kamar rawat dan pintu mulai tertutup. Sedangkan, dirinya menyembunyikan diri dibalik tembok lorong rumah sakit yang berbelok.
Setelah memastikan semuanya baik-baik saja. Aryo pulang dengan langkah gontai sambil menaiki taksi online pesanannya. Ia sengaja tak memakai mobil sang mertua untuk pulang, karena takut diperlukan untuk hal penting sewaktu-waktu. Makanya, pria itu memilih pulang dengan memesan taksi lewat aplikasi.
**
Di ruang rawat, Ayah dan Bunda menunggu Indira yang sudah mulai siuman dan berusaha bangun dari tidurnya.
“Kamu mau apa, Sayang? Lebih baik kamu tiduran dulu aja, Ra. Kondisi tubuhmu masih lemah,” ucap Bunda dengan sedikit khawatir ketika melihat Indira berusaha duduk. Wanita paruh baya itu langsung mencegah putrinya serta menyuruh untuk tetap berbaring.
“Kamu mau apa, Sayang? Kamu haus? Mau minum? Biar Bunda ambilkan,” cakap Bunda tetapi langsung dicegah oleh Indira.
“Ada apa, Nak?” tanya Bunda ketika melihat tangan Indira menggapai lengannya.
“Maafkan Ira, Bun, Yah. Ira udah banyak membebani kalian semua. Aku anak yang tak berguna. Hanya bisa menyusahkan Ayah dan Bunda saja,” gumam Indira dengan lirih. Ia meringis saat tangan yang memegang lengan Bunda terasa sakit. Bagaimana tidak, di pergelangan tangan tersebut, Ira hampir saja mengakhiri hidupnya.
Bunda peka apa yang telah terjadi, langsung melepaskan genggaman sang putri di lengannya. Lalu, mengembalikannya lagi ke samping tubuh sang putri sambil dielus. Ayah pun yang tengah duduk sambil menutup matanya dengan kedua lengan terbangun ketika mendengar suara sang putri menggumamkan namanya. Pria itu lalu menghampiri kasur Indira dengan tatapan sayu.
“jangan ngomong yang tidak-tidak, Ra. Kami sama sekali tak pernah merasa terbebani sama kamu, Ra. Bagi Bunda dan Ayah, kamu adalah segalanya. Jadi, mulai sekarang, jangan pernah menginginkan pergi dari kami. Kami akan selalu ada untukmu dalam kondisi apa pun.”
Bunda mengangguk tanda setuju. Mata wanita paruh baya tersebut telah berkaca-kaca. Bahkan, beberapa kali dirinya mengusap air mata yang mulai keluar tak terbendung lagi.
“Tapi Ira ... kotor, Ma. Hidupku rasanya sudah hancur. Ira ngerasa telah menjadi perempuan sampah yang enggak ada guna. Tubuh Ira kotor, Bun. Kotor!” pekik Indira mulai menangis tersedu sambil memukul dirinya sendiri.
Ayah sampai terkejut melihat reaksi sang putri segera menghentikannya. Pun, Bunda langsung mendekap tubuh Indira meski beberapa kali sang putri memberontak.
“Istigfar, Sayang. Jangan begini. Nanti kamu kembali sakit. Putri Bunda tak sendirian. Ingat Bunda dan Ayah, Nak. Kami semua menyayangi kamu, terutama suamimu. Nak Aryo sangat khawatir sama dengan kondisimu seperti ini,” papar Bunda membuat Indira menoleh.
Manik mata Indira mengandung banyak tanya ketika mendengarkan ucapan wanita yang telah melahirkannya. Mata Indira kembali sendu penuh dengan luka setelah mendengar nama Aryo. Pria yang sudah mengisi semua sudut hati Ira, tetapi dirinya kini merasa menjadi istri yang tak layak di samping suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri Kedua
RomanceBukan impian Indira menikah dengan Aryo apalagi menjadi istri kedua. Permohonan Wulan --istri pertama Aryo lah yang membuat Indira akhirnya menerima lamaran pernikahan itu. Apakah alasan Wulan menghadirkan Indira dalam rumah tangganya? Akankah Indir...