Bab 52.

3.7K 120 0
                                    

Setelah memastikan Wulan baik-baik saja selepas siuman. Aryo terpaksa harus meninggalkan istri pertamanya untuk melanjutkan rencana kepindahan Indira, itu pun atas izin dari Wulan.

"Mas pergi saja. Bukankah ini sudah direncanakan Mas beberapa bulan yang lalu. Aku enggak apa-apa, kok. Sekarang sudah lebih baik. Lagi pula, ini bukan kehamilan pertamaku. Jadi, aku udah bisa jaga diri."

Indira yang duduk di ranjang menemani Wulan menggeleng.

"Enggak, Mas. Jangan tinggalin Mbak Wulan. Kepindahanku bisa dipending, tapi kesehatan Mbak Wulan lebih penting. Aku enggak mau kecolongan lagi, terus Mbak malah kembali pingsan," kekeh Indira tak ingin mengindahkan ucapan kakak madunya.

"Mbak enggak apa-apa, Ra. Kamu jangan khawatir. Tadi, Mbak pingsan gara-gara kelelahan aja. Beberapa Minggu ini kan kegiatan Danish di sekolah banyak banget, terus belum lagi kerjaan rumah yang enggak selesai-selesai. Mungkin itu juga yang membuat tubuh Mbak drop."

"Apa perlu Mas nyari orang lagi buat nemenin kamu di rumah? Asisten rumah tangga sebelumnya kan hanya datang beberapa jam buat bantu-bantu kamu bersihin rumah aja. Sisanya, kamu yang handle."

Indira setuju dengan yang suaminya katakan.

"Enggak perlu, Mas. Aku enggak apa-apa, kok."

"Jangan ngeyel. Jangan buat aku khawatir lagi. Mas bakalan nyari ART yang bisa tinggal di sini 24 jam. Jadi, dia bisa jaga kamu dan pastiin kamu enggak kenapa-kenapa lagi kalau aku enggak ada di rumah," ujar Aryo tak mau dibantah.

Wulan tak bisa berbuat apa-apa mendengar sang suami kalau sudah tegas begitu. Ia tak bisa membantah atau membuat Aryo berubah pikiran.

"Iya, Mas. Tapi, aku enggak apa-apa kok sekarang. Mending kalian teruskan rencana buat pindahannya. Tapi, Ra. Mbak belum bisa berkunjung ke sana. Mbak enggak bisa bantu-bantu kamu saat ini."

"Jangan dipikirkan, Mbak. Mas Aryo udah menyuruh orang buat bantu beres-beres biar cepat selesai. Aku hanya mindahin baju dan barang-barang punyaku yang tak seberapa aja. Nanti, aku kembali ke sini buat jenguk Mbak, ya. Oh iya, aku nanti minta Bunda buat nemenin Mbak. Biar aku dan Mas Aryo enggak khawatir. Lagian, Yuri pulangnya pasti sore," ujar Indira.

"Jangan menolak lagi pokoknya ...," potong adik madu Wulan tersebut sebelum sang kaka madu membantahnya.

Aryo merasa bahagia, Indira dan Wulan ternyata dekat melebihi keinginannya. Bahkan, sudah seperti adik kakak saja yang saling mengkhawatirkan satu sama lain. Tak ada pertengkaran di antara keduanya seperti kebanyakan pasangan poligami yang lain.

Istri pertama dan kedua saling bersaing untuk mendapatkan perhatian. Ya, meskipun tak sedikit pula yang memang semua istrinya telah ikhlas untuk berbagi suami dan menjalankan poligami dengan sukses.

Itu semua tak lepas dari sikap suami yang bisa membimbing dan berlaku adil demi membuat istri-istrinya tak pernah saling iri satu sama lain. Yang paling pasti juga, peran istri tak kalah penting, poligami sukses tak akan terjadi kalau saja di antara wanita yang harus berbagi tersebut tak saling mengerti dan ikhlas satu sama lain.

Rasa cemburu pasti ada, tetapi tak membuat hubungan rumah tangga mereka semua ternoda.

**

Mobil parkir di sebuah rumah minimalis. Aryo turun sambil menyeret koper milik sang istri. Indira membantu menurunkan barang dari bagasi. Wanita itu menatap sekeliling dengan tatapan yang tak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Aryo merangkul Indira dan mengajaknya masuk ke kamar.

"Kalau capek istirahat aja, Sayang. Biar aku yang beresin barangnya," ujar Aryo seraya berjalan ke ranjang.

Indira duduk di tepi kasur seraya menatap Aryo. Netra keduanya bertatapan beberapa menit. Hati dan pikiran Indira tengah melayang pada sosok Wulan. Perasaan bersalah padanya kembali muncul ke permukaan karena meninggalkan kakak madunya dalam kondisi lemah di rumahnya. Meski, ia telah meminta Bunda untuk menemani, tetap saja Indira merasa tak enak hati.

"Aku merasa menjadi wanita paling egois," batin Indira.

Aryo berjalan mendekat ke arah sang istri. Ia duduk di sebelahnya seraya memeluk. Merasakan setiap embusan napas wanita itu. Tubuh Indira meremang saat tak ada lagi jarak di antara mereka.

Aryo ingat kembali saat terpancar sekali kesedihan saat Indira mendengar Wulan hamil lagi. Ia mengerti apa yang ada dalam pikiran istri keduanya tersebut.

"Sayang. Apa ada sesuatu yang membuatmu kepikiran?" tanya Aryo mencoba mengobrol dari hati ke hati.

"Enggak ada apa-apa, kok, Mas. Aku hanya merasa tak enak saja sama Mbak Wulan. Dia kan lagi butuh kita saat ini, terutama Mas," jawabnya.

"Yakin Cuma itu? Enggak ada yang lain? Mas pikir ada sesuatu yang membuatmu sedih sebelumnya."

Indira terkejut, Aryo sangat peka sebagai seorang suami. Ia menunduk dalam dan memainkan cincin di jari tangannya.

"A-aku ... salah sudah merasa iri dengan keberuntungan Mbak Wulan. Padahal, kita sudah menikah berbulan-bulan. Apalagi, setiap kesempatan kita bersama tak pernah absen. Tapi, kenapa aku belum juga hamil, Mas."

Benar saja, sesuai yang Aryo tebak. Indira sedih karena saat ini belum mengandung. Padahal, Aryo pun sangat berharap memiliki anak dari rahim Indira juga.

"Apa karena aku banyak dosa, makanya Tuhan sama sekali tak ingin memberikanku anak?" ujar Ira dengan lesu. Aryo mengangkat dagu sang istri.

"Hey. Kenapa kamu berpikir seperti itu? Sabar. Allah pasti belum memberikan anugerah itu saja sama kita. Bisa jadi, usaha kita belum maksimal, atau memang Allah memberikan kesempatan buat aku dan kamu seperti orang pacaran dulu."

"Satu lagi. Kita belum lama menikah, baru beberapa bulan. Sedangkan lihat di luar sana masih banyak para istri yang tak kunjung diberikan momongan, bahkan sampai menunggu lama. Setahun, dua tahun, tiga tahun bahkan puluhan," papar Aryo.

Indira mengangguk tanda paham. Benar kata suaminya, mungkin memang belum saja, bukan tidak akan. Ia baru menunggu beberapa bulan sudah mengeluh, bagaimana wanita-wanita di luar sana yang sudah tahunan bahkan puluhan tahun menikah tetapi belum dikaruniai keturunan juga, tetapi mereka tetap bersabar. Wanita itu merasa tertampar dengan yang telah sang suami katakan.

"Mas, aku mau beresin baju dulu, kalau mas capek tidur aja enggak papa. Biar aku yang beresin baju kita," ucap Indira seraya berdiri.

"Beresin berdua aja biar cepat kelar biar bisa berduaan," ujar Aryo seraya mengangkat sebelah alisnya.

"Modus," jawab Indira sambil mencubit pinggangnya.

"Auhh sakit, Sayang," ujar Aryo sambil meringis.

"Lagian, kita harus kembali ke rumah Mbak Wulan."

"Iya deh iya."

Tak terasa semua barang tersusun rapi di lemari. Pun rumah yang memang sudah rapi karena pekerja yang dibayar oleh Aryo untuk membantu mereka pindahan. Setelah semuanya beres, Indira dan Aryo kembali memastikan keadaan Wulan yang sedang hamil muda.

Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang