Bab 22. Hangat

4.6K 130 2
                                    

'Hati terkadang tak sejalan dengan yang diucapkan. Meskipun dia berkata ikhlas namun perih itu masih menyapa. Keyakinan terhadap pasangan lah yang mampu membuat hati kita merasa lebih baik.'

☘️☘️☘️☘️

Mendengar ucapan suaminya, Indira memandang kasur yang biasa dia tiduri tiap malam. Ranjang dengan ukuran 90 x 200 cm memang terlalu kecil untuk ditiduri dua orang. Pasti ini akan sempit sekali. Apalagi dia tak memiliki sofa di kamarnya. Bagaimana mereka bisa tidur berdua di kasur sesempit ini?

Membayangkannya saja membuat wajah gadis itu memerah. Jangankan tidur berdua dan saling berdekatan dengan seorang pria dalam kasur yang kecil seperti itu, hanya di ruangan yang sama seperti sekarang saja Indira merasa canggung.

Lalu, bagaimana Aryo dan Indira akan melalui malam pertama mereka? Berhasilkah pria itu mendapatkan haknya sebagai seorang pria?

"Terserah, Mas Aryo saja. Mungkin yang Mas katakan benar. Kasurnya terlalu sempit untuk kita berdua," Aryo mengangguk lalu dia mengambil ponselnya berniat menghubungi teman yang memang memiliki toko furniture.

Setelah menelepon Aryo duduk di pinggir kasur.

Hening!

Karena rasa canggung di antara mereka serta saling bingung apalagi yang harus pasangan itu bahas, tak ada percakapan apa pun. Hanya saling diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing. Aryo mengusap layar ponselnya membuka aplikasi berwarna hijau. Lalu, dia mengetik pesan untuk Wulan.

["Kamu sedang apa, Sayang? Sudah tidur? Anak-anak gimana?"]

Send. Tak lama pesan tersebut dibaca Wulan, dia membalas pesan dari sang suami.

["Anak-anak sudah tidur, Mas."]

["Terus kenapa kamu belum tidur, Sayang?"]

["Aku sedang mengobrol dengan Mama dan Papa, sambil nonton televisi. Mas kenapa malah mengirim chat padaku? Bukannya ini malam pertama Mas dan Indira? Jangan terus mengirim pesan padaku kalau lagi sama dia. Kasihan, Mas. Nanti Indira merasa sakit hati kalau tahu."]

Aryo tertegun membaca balasan dari Wulan istri pertamanya. Benar juga apa yang dikatakannya, bagaimana kalau Indira salah paham dan merasa tak dihargai?

["Mas hanya ingin mengucapkan selamat tidur untuk kalian. Ini pertama kalinya kita tidak tidur bersama. Jangan tidur terlalu malam, ya, Sayang."]

Membaca pesan dari suaminya hati Wulan merasakan perih. Dia membayangkan Aryo akan melakukan ritual malam pertama seperti pengantin biasanya bersama wanita lain.

'Hati terkadang tak sejalan dengan yang diucapkan. Meskipun dia berkata ikhlas namun perih itu masih menyapa. Keyakinan terhadap pasangan lah yang mampu membuat hati kita merasa lebih baik.'

**

Saling diam, itulah yang terjadi di antara Aryo dan Indira. Gadis itu merasa gelisah, dia belum siap untuk ritual ini. Dia masih tidak bisa menyerahkan segalanya kepada seorang pria yang baru dikenalnya. Itu pikiran Indira, dia tak ingat sama sekali tentang Aryo.

Sedangkan Aryo tak tahu harus memulai dari mana semua ini. Sebagai seorang pria, tentu normal saja dia ingin memiliki istri keduanya itu dengan utuh. Apalagi, pernikahan ini sudah lama dinantikannya. Namun, apa yang harus dia lakukan untuk memulainya?

"Ehmmm, Mas. Mau aku ambilkan susu sebelum tidur?" tanya Indira mencoba mencairkan suasana yang sempat membuatnya tak nyaman.

Aryo berpikir sejenak, sebenarnya dia tak terlalu suka dengan susu. Namun, untuk menghargai tawaran istrinya itu dia mengangguk.

"Boleh kalau tidak merepotkan," Indira tersenyum sambil menggeleng. Gegas dia berdiri dan berjalan. Namun, gadis itu secara tak sengaja tersandung gamisnya kembali. Membuat tubuhnya ambruk di pelukan Aryo dengan posisi Indira menindih suaminya di atas kasur.

Indira terkejut, tetapi hatinya tak memberontak. Mereka tak bergerak sedikit pun. Hanya saling menatap mata satu sama lain. Saling menyelam isi hati lewat tatapan. Orang bilang mata lah cermin yang jujur. Segala yang dirasakan manusia akan terlihat di sana. Cinta, kebencian, kemarahan, kebohongan itu semua bisa dilihat di kedalaman mata.

Embusan napas keduanya sama-sama terasa menyapu kulit. Hawa panas menjalar ke seluruh tubuh. Perlahan kepala Aryo mendekat sedangkan gadis itu merespon dengan menutup matanya. Entah kenapa pikiran dan hati tak sejalan. Dia seolah tak bisa memberontak, bagai banyak kupu-kupu bertebaran di dalam hatinya. Perutnya bergejolak tak menentu. Semakin dekat deru napas mereka semakin terasa hangat.

Aryo mengusap bibir merah muda Indira. Lebih dekat dan terus mendekat.

"Ira, Nak Aryo, kita makan malam bersama dulu. Di bawah sudah banyak anggota keluarga lain yang menunggu."

Ketukan dari pintu membuat mereka tersentak. Indira membuka matanya perlahan. Pipinya bersemu merah mengingat kejadian barusan. Hampir saja segalanya terjadi. Gegas dia bangun.

"Mas aku duluan ke bawah, ya. Nanti Mas Aryo menyusul. Ehmm ... maaf dengan kejadian barusan, aku teledor terus." Dengan langkah cepat gadis itu berlari membuka pintu dan menutupnya dengan cepat. Sungguh hatinya saat ini tak bisa dikompromi. Diakui atau tidak dekapan suaminya memang terasa nyaman untuknya, terutama hati gadis itu.

Sepeninggal Indira Aryo merutuki diri yang tak bisa menahan diri. Rasa cinta untuk istri mudanya itu hampir membuat dirinya lupa diri. Tubuhnya selalu bereaksi ketika di dekatnya. Aryo masih merebahkan tubuhnya dia bernapas dengan kasar.

Baru memeluknya saja membuat pria itu ingin memiliki wanitanya secara utuh. Dia tak bisa mengendalikan hati dan tubuhnya.

Bersambung.

Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang