Bab 36. Kisah Dibalik Malapetaka (4)

2.2K 106 0
                                    


Dorongan dalam diri Rama semakin kuat. Baginya, melihat Indira ketakutan seperti itu seolah menantang sisi kelelakiannya agar dia lebih mendekat. Rama seakan sudah gila berkat Indira. Tak pernah ia menginginkan wanita seperti saat ini.

“Mas. Kamu mau apa? Jangan mendekat!” gumamnya lirih dengan bibir bergetar menahan ketakutan. Wanita itu menggeserkan tubuhnya menjauh ketika Rama mulai mendekat dengan mata yang seolah penuh dengan kilat nafsu. Iris pria itu tak pernah berpaling dari wajah Indira.

Melihat bibir calon istrinya bergetar, membuat Rama semakin bersemangat untuk menerkam gadis itu. Gila memang, karena habis menenggak beberapa gelas alkohol di balkon tadi, otak Rama mulai bergeser. Pria itu seolah melihat buah apel yang merah dan manis ketika tatapannya tertuju pada bibir ranum Indira.

Otaknya mulai dipenuhi hal-hal yang mesum. Semakin lama memandang wanita di hadapannya, semakin tubuh Rama bergejolak kepanasan.

Bukannya iba melihat wajah ketakutan Indira, pria itu malah menikmatinya. Bola mata Rama bukan berwarna putih lagi, tetapi telah memerah. Bahkan, bau minuman mulai menguar dari mulut dan tubuh Rama.

Kepala Indira semakin menggeleng karena takut. Apalagi, ketika Rama mulai mendekat dan tinggal beberapa langkah saja mendekapnya.

“Mas. Kumohon ... sadarlah. Jangan seperti ini ...,” ucap Indira memohon. Ia masih berharap pria di depannya akan berhenti dan sadar.

“Kumohon, Mas Rama. Ini kesalahan,” lirih Indira dengan air mata yang mulai berlinang.

“Perasaanku kepadamu yang salah Indira! Mantra apa yang sudah kau sihirkan? Bagaimana mungkin aku terus saja kamu kendalikan. Kau ... sudah membuat seorang Rama hampir gila. Kau juga sudah menggagalkan rencana awalku, keyakinanku!” racau Rama.

Namun, Indira tak mengerti apa yang baru saja pria di depannya katakan. Sedangkan Rama tak pernah lupa apa isi curahan hati Indira di buku diary kecil dalam tas perempuan itu. Ya, Rama telah lancang membaca goresan tangan Indira tentang Aryo dan beberapa lembar syair cinta yang membuat hati Rama seakan terbakar.

Pria itu baru sadar ternyata dirinya telah terjerat ke dalam pesona gadis yang sengaja jebak, tetapi tak juga berani mengakui. Dirinya kali ini tengah merasakan cemburu luar biasa, bahkan hanya karena tulisan di atas kertas saja.

“Mas. Aku mohon. Lepaskan aku dan aku berjanji akan menjauh dari sini. Aku berjanji takkan punya hubungan apa pun lagi dengan Mas Aryo. Aku ikhlas. Kalau perlu aku akan pergi ke luar kota.”

Mendengar ucapan wanita di depannya, Rama malah semakin tak suka. Ia tak ingin kehilangan gadis itu. Kata-kata yang dia ucapkan di depan Tuan Wijaya bukan dari hatinya.

“Jangan harap kau bisa lepas dariku, Ra. Kau takkan pernah bisa berkutik lagi setelah kau kumiliki seutuhnya. Kau harus kumiliki sepenuhnya malam ini.”

Dengan tubuh yang sudah mentok terhalang lemari, wanita itu semakin terjepit. Apalagi, satu tangan Rama mulai menarik dan memegang kuat lengan Indira yang hendak kabur dan tangan kirinya menahan tengkuk gadis di hadapannya. Dengan secepat kilat, Pria itu langsung melabuhkan sebuah ciuman kasar dan menuntut. Membuat Indira gelagapan dan memekik mencoba melepaskan diri.

Tetapi, tenaganya sebagai perempuan kalah dengan Rama yang lelaki, pun sedang dipengaruhi minuman keras.  Air matanya telah luruh seketika.

Sekarang, Rama telah mengambil ciuman pertamanya yang seumur hidup ia jaga. Indira ingin menjerit meminta tolong, tetapi tak ada yang mendengarkannya.

“Tak akan ada siapa pun yang mendengar suaramu, Ra. Kamar ini kedap suara, pun jauh dari pemukiman lain. Sudahlah, Ra. Lebih baik kita nikmati malam ini berdua. Dan selanjutnya, kau akan menjadi milikku seutuhnya,” tukas Rama dengan napas yang kian memburu.

Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang