Bab 16. Cuap Tetangga

2.9K 111 0
                                    

Indira sadar dari pingsannya. Setelah hampir setengah jam dia tak sadarkan diri. Semua orang termasuk Aryo merasa lega mendengar calon istrinya sudah siuman. Meski tak menunjukkannya kepada semua orang, pria itu dari tadi khawatir. Membuat hatinya tak tenang. Apalagi Aryo tak tahu apa yang membuatnya pingsan.

Mereka yang menunggu di ruang tamu akhirnya bisa tersenyum. Tapi tidak dengan Bu Rina. Wanita itu tak suka melihat menantu dan putrinya terlihat mengkhawatirkan Indira.
'Dasar tukang drama. Palingan juga cari perhatian. Berlebihan sekali kalau dia sampai pingsan,' batin Bu Rina. Dia masih tak tahu apa yang telah terjadi kepada Indira.

Memang dulu hanya Rama yang mengetahui Indira hilang ingatan. Setelah kecelakaan itu terjadi, pemuda itu sempat menemui calon istrinya di Rumah Sakit. Rupanya itu pertemuan terakhir mereka, Indira menghilang tak tahu dia pergi ke mana bersama keluarganya. Tak ada jejak atau pun kabar. Dia mencoba abai dan senang segala perbuatannya terhadap gadis itu tak ada yang tahu. Hanya dia dan Indira. Namun, gadis itu hilang ingatan dan pergi jauh. Rama puas tak akan harus menikahi Indira yang tak dia cintai. Apalagi rencananya berjalan mulus.

Ketika kondisinya sudah parah karena sakit, Rama hanya menceritakan tentang kekhilafannya dahulu terhadap seorang gadis. Namun, tak bercerita kalau gadis itu mengalami amnesia.

Bahkan, Wulan pun tahu ketika dia mengorek informasi tentang masa lalu Indira. Dan alasan dia tak mengenali Aryo, padahal suaminya akrab dengan Indira dahulu. Orang tua Indira tak tahu menahu hubungan anaknya dan Aryo.

Yang ayah dan bundanya tahu mereka memang berteman dari kecil. Sejak masih Sekolah Menengah Pertama. Akan tetapi, bukan hubungan spesial hanya teman akrab saja. Putrinya tak pernah pacaran dengan siapa pun. Hanya Rama laki-laki satu-satunya yang datang ke rumah melamar Indira. Meski orang tua gadis itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh putrinya sejak lamarannya diterima, tetapi Indira tetap tertutup tak menceritakan apa pun kepada mereka. Seolah segalanya baik-baik saja.

Setelah merasa tenang ketika mengetahui Indira baik-baik saja. Mereka semua pamit pulang ketika makan malam selesai.

Terlihat binar kebahagiaan di wajah Aryo, tetapi tidak dengan Wulan. Wanita itu sedari tadi murung. Bukan karena tak menyetujui pernikahan suaminya dan Indira. Namun, Wulan merasa bersalah karena ibunya gadis itu sampai pingsan. Apalagi, dia masih ingat seperti ada gurat kebencian di mata mamanya ketika melihat Indira.

Apa yang membuat mamanya benci? Itu yang sedari tadi Wulan pikirkan. Dia takut Bu Rina akan nekat membatalkan pernikahan suaminya dan Indira.

Wulan merahasiakan apa yang dilakukan mamanya. Jika Aryo tahu takut akan membuat suaminya itu marah. Yang harus Wulan lakukan sekarang ialah memastikan pernikahan Aryo Minggu depan akan berjalan dengan lancar.

Sudah kesepakatan kalau akad nikah akan disegerakan. Tak ingin menjadi fitnah, apalagi Indira akan menjadi istri kedua. Namun, karena masih dalam masa pandemi, resepsi akan dilaksanakan setelah semuanya kondusif.

***

Hari Minggu seperti biasa Indira pergi keluar rumah untuk mencari udara segar. Kebetulan Yuri mengajaknya untuk lari pagi bersama. Mereka juga sempat sarapan bubur bersama.

Indira merasa sudah akrab dengan Yuri. Merasa tak asing lagi bisa sedang di dekatnya. Mereka tertawa ketika Yuri menceritakan pengalaman lucunya. Dia juga mengatakan apa yang disukai dan tidak oleh kakaknya.

"Boleh aku panggil Mbak Indira dengan sebutan Ira saja?" tanya Yuri. Memang gadis itu sudah dari dulu lebih nyaman memanggil Indira dengan nama itu sebelum ingatannya hilang.

"Tentu. Senyamannya kamu aja, Ri. Aku merasa mempunyai seorang adik. Dari dulu memang suka iri kalau lihat orang lain punya adik. Aku 'kan anak satu-satunya jadi suka merasa kesepian," jelas Indira.

Yuri mengangguk. Dia tahu dari dulu memang Indira sering mengatakan itu kepada Aryo. Makanya, kakaknya mengenalkan Yuri kepada Indira, pria itu bilang kepada Indira kalau dia boleh menganggap Yuri sebagai adiknya sendiri. Indira senang luar biasa, pembawaan Yuri yang mudah akrab membuat mereka dekat layaknya kakak adik. Bahkan Indira sudah dianggap kakak perempuan oleh adik dari Aryo tersebut.

Mengenang masa lalu membuat Yuri tersenyum dan sempat menitikkan air mata. Kenangan yang sangat manis. Namun, sekarang semuanya sudah berubah. Itu hanya kenangan, tetapi Yuri yakin Aryo dan Indira akan bahagia.
Obrolan seru pun membuat mereka sampai lupa waktu untuk pulang. Sudah pukul sembilan pagi dan mereka masih asyik mengobrol sambil bersenda gurau. Mereka tertawa ketika sadar sudah terlalu lama di tenda bubur itu, membuat pedagangnya mendelik tak suka sebab terlalu lama mengobrol padahal bubur mereka sudah habis dari tadi. Menghalangi pelanggan yang akan membeli bubur.
Sepanjang jalan pulang mereka menjumpai orang-orang yang sedang melakukan aktivitas paginya masing-masing. Ada yang menjemur pakaian, menyapu halaman, mengajak bermain anak, bahkan banyak ibu-ibu yang sedang berkumpul mengelilingi gerobak tukang sayur.

Indira dan Yuri menyapa mereka menampilkan senyum termanis. Namun, reaksi orang-orang mengejutkan Indira. Mereka memandang gadis itu dengan tatapan yang merendahkan. Seolah merasa jijik terhadap sesuatu. Indira tak mengerti, apa yang salah dengan dirinya?

Salah seorang wanita paruh baya berbadan gempal menghampiri Indira.

"Oh ini gadis yang jadi orang ketiga dalam rumah tangga Nak Aryo dan Nak Wulan? Dengar-dengar sih semalam dia dilamar. Aku miris sama dia. Bisa-bisanya mau menikah dengan orang yang sudah punya istri. Padahal Nak Wulan itu istri yang sempurna. Apa sih yang bagus dalam diri gadis ini? Hanya modal sebagai pelakor doang," cibir ibu tadi.

Dua gadis itu terkejut, matanya terbelalak. Apalagi Indira dia sama sekali tak menyangka akan mendapatkan reaksi ini dari semua orang. Ya, inilah yang ditakutkannya ketika menerima lamaran Wulan. Makanya dulu Indira sama sekali tidak mau memenuhi permintaan istrinya Aryo tersebut. Kalau saja dia tidak terus menerus membujuknya, mungkin Indira takkan luluh.

Tapi, sekarang semuanya sudah terlambat. Indira harus kuat mendapatkan caci maki seperti ini. Sudah menjadi konsekuensinya jika menerima lamaran pria beristri. Meski dia tak salah sama sekali

"Tapi saya bukan pelakor, Bu. Memang benar Mas Aryo semalam melamar saya. Tapi, itu semua atas izin dari Mbak Wulan." Indira mencoba membela dirinya dengan menjelaskan semua yang terjadi. Namun, tak ada seorang pun yang percaya.

Bahkan ibu-ibu tadi terus saja memaki dan merendahkan gadis itu.

Yuri yang tak kuat terus mendengar ocehan-ocehan para ibu-ibu itu, mengajak Indira untuk tidak mendengarkan ucapan semua orang. Mereka tak tahu apa pun hanya bisa menghakimi tanpa mau mendengar penjelasan.
Wajah Indira sudah sendu. Dia menahan untuk tidak menumpahkan air mata sedikit pun. Gadis itu tak ingin Yuri menjadi khawatir dan merasa tak enak. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing. Indira yang merasa syok dengan kejadian tadi buru-buru masuk ke dalam kamar untuk menenangkan diri.

Sedangkan Yuri pulang ke rumah dengan napas yang memburu. Dia menemui Wulan dan Aryo yang sedang bermain dengan putra putrinya di taman belakang. Gadis itu menghempaskan tubuhnya ke kursi dengan wajah yang masih ditekuk. Tangannya terkepal masih menahan amarah.

Wulan menghampiri adik iparnya, "Ada apa, Ri. Kenapa terlihat bete banget?" tanyanya.

"Aku kesal kepada ibu-ibu di sini. Tidak tahu apa-apa tapi sudah menghakimi orang dengan seenaknya. Aku kan sudah bilang. Jangan jadikan Mbak Ira istri kedua Mas Aryo. Aku kasihan sama dia. Ibu-ibu di sini bilang kalau Mbak Ira itu pelakor dalam rumah tangga kalian,"

Alangkah terkejutnya Aryo mendengarkan itu. Begitu pun Wulan. Mereka tak tahu akan terjadi seperti ini. Bagaimana reaksi Aryo dan cara Wulan membersihkan nama Indira? Apakah ada seseorang dibalik ini semua?

Baca terus bab selanjutnya. Happy reading

Bersambung.

Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang