Bab 53.

3.4K 118 0
                                    

Sudah beberapa hari ia tinggal di rumah baru, membuat Indira sedikit kesepian. Pasalnya, ia merasa masih asing di tempat ini. Apalagi, seminggu ini Aryo tak bisa berkunjung seperti biasanya. Ia harus rela jatahnya bersama sang suami kini terganggu gara-gara kondisi kehamilan Wulan yang membuat semua orang khawatir.

Bagaimana tidak, selama tujuh hari ini, badan Wulan lemas dan muntah-muntah. Bahkan, setiap ia memakan nasi atau pun bubur pasti selalu tak masuk. Terkadang Wulan hanya mau makan roti dan pisang saja.

Untunglah, kedua makanan itu pun termasuk ke dalam sumber karbohidrat. Jadi, menurut dokter itu tak begitu membuat khawatir. Namun, tetap saja ia tak bisa meninggalkan sang istri begitu saja. Meski, ia merasa bersalah telah abai terhadap istri yang lain.

“Maaf, Ra. Mas benar-benar tak enak sama kamu. Maaf juga kalau Mas sudah abai sebagai seorang suami,” ujar Aryo ketika ia menyempatkan diri untuk mampir ke rumah istri keduanya meski hanya bisa sebentar, itu pun sepulangnya Aryo dari kantor habis bekerja.

“Mas ini ngomong apa? Aku enggak apa-apa, kok. Aku ikhlas Mas lebih fokus sama Mbak Wulan. Dia memang butuh perhatian Mas sekarang. Justru, jika aku egois dan hanya mementingkan sendiri, hatiku pun takkan tenang dan memberontak. Jadi, Mas jangan khawatir sama aku,” jawab Indira sambil meremas tangan sang suami.

“Makasih, ya, Sayang. Mas beruntung punya istri baik dan pengertian seperti kalian berdua, terutama kamu, Ra,” ucap Aryo dengan tulus.

Pria itu merengkuh sang istri ke dalam pelukan. Berkali-kali pula mencium puncak kepala sang istri yang kali ini tak terhalang penutup kepala. Rambut hitam legam Indira tergerai indah dan melambai-lambai, seolah menggoda pria itu untuk memiliki pemiliknya hari ini.

“Mas rindu kamu, Ra.”

Suara Aryo mulai parau. Tak berapa lama, keduanya saling bertaut. Istri mana yang tak merindukan sang suami setelah berhari-hari tak bertemu. Apalagi, mereka pasangan yang sedang hangat-hangatnya memadu kasih. Apalagi, Indira belum memiliki anak. Pun, Aryo yang seminggu bersama Wulan tak melakukan apa pun. Ia hanya menjaga dan membantu istrinya yang kewalahan karena perbuatan pria itu sendiri yang telah menyemaikan benih di rahim sang istri.

Saat ingin melakukan lebih. Indira melepaskan pagutan di antara mereka, menatap Aryo dengan tatapan sendu.

“Ini bukan waktu yang pas untuk bersenang-senang, Mas. Mbak Wulan mungkin saja membutuhkan Mas Aryo saat ini,” tolak Indira. Meski rasanya sakit, tetapi ia tak ingin menjadi wanita paling egois.

Wanita itu tahu, menolak keinginan sang suami itu dosa. Akan tetapi, ia merasa itu salah, rasanya seperti sedang menjadi selingkuhan.

“Baiklah ... Mas pulang ke rumah Wulan dulu. Jaga diri baik-baik selama Mas enggak ada, ya! Kalau kesepian, minta Bunda dan Ayah buat nginep di sini.”

Aryo mengembuskan napas panjang. Berat sekali dirinya untuk meninggalkan sang istri. Apalagi, ia cukup kalut karena terpaksa berhenti saat keinginannya sebagai pria dewasa harus terhenti saat sudah di puncak ubun-ubun.

“Iya, Mas. Salam buat Mbak Wulan, ya. Besok aku main ke sana.”

Aryo mengangguk dan mencium kening Indira lebih dalam dan lama. Selanjutnya, sang istri harus melepaskan kepergiannya dengan hati yang nanar. Ada rasa sepi yang menyelusup dalam hatinya.

“Ini ujian pernikahan kami.” Itulah kata-kata penyemangat untuk Indira agar terhindar dari pikiran buruk.

Aryo pulang ke rumah dengan muka yang kusut dan murung. Beberapa kali itu tertangkap oleh sang istri, Wulan.

“Mas. Kenapa?”

“Apanya? Mas enggak kenapa-kenapa.”

“Bener? Mas sudah seminggu tak ke rumah Ira. Emangnya Mas enggak kangen dia? Kasihan pasti Ira kesepian sendiri di sana. Apalagi, Ira baru pindah,” ucap Wulan seolah tahu apa yang ada dalam pikiran sang suami.

Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang