Bab 34. Kisah Dibalik Malapetaka (2)

2.2K 96 0
                                    

Indira menoleh ke arah suara yang sempat memanggilnya.

“Nona. Tuan besar ingin bertemu dengan anda. Saya harap anda mau ikut menemui beliau,” ujar seorang pria matang berpakaian formal.

“Anda siapa, ya? Saya merasa tidak pernah mengenal anda.”

Dahi Indira menukik tajam, ia mengingat-ingat wajah pria di hadapannya. Mana tahu, dirinya mengenal lelaki jangkung tersebut dan sempat lupa. Namun, seberapa berat pun ia menggali ingatannya, tetapi tak ada satu pun memori yang ia dapat.

“Saya asisten Tuan Wijaya. Ayahanda dari Tuan muda Aryo. Beliau meminta saya untuk menemui anda dan mengajak untuk bertemu dengan beliau saat ini. Kebetulan, tuan besar sedang menunggu di restoran yang tak jauh dari kampus sini,” terang pria itu membuat Indira tersentak kaget.

Untuk apa Ayah pria yang dicintainya memintanya untuk bertemu? Hati wanita tersebut seketika menjadi tak enak. Mendadak Indira gelisah tak menentu. Ia merasa akan ada sesuatu yang tak menyenangkan dilaluinya. Jantung wanita itu berdetak tidak karuan.

Apalagi, ketika telah sampai di tempat. Dan dirinya melihat seorang pria paruh baya dengan aura dingin telah duduk di salah satu meja dengan ruangan privat.

Tangan Indira berkeringat begitu saja, jantung wanita itu semakin memompa lebih cepat seolah sedang berlari maraton saja. Debaran wanita itu kian menjadi kala kegugupannya semakin bertambah. Ia hendak membatalkan dan membalikkan badannya ke arah pintu keluar, tetapi terhenti saat suara asisten Pak Wijaya menyuruh Indira untuk duduk.

“Nona. Silakan duduk di sebelah sini.”

Indira mengangguk dengan gemetar dan duduk di kursi yang disediakan untuknya. Asisten tuan Wijaya langsung berdiri tak jauh dari meja tersebut.

Dan saat itu pula, Ayah Aryo langsung menoleh serta menatap Indira dengan intens. Jelas sekali, wajah pria paruh baya tersebut terlihat tak ramah. Wanita itu tak sadar meneguk ludahnya hanya untuk membasahi rongga tenggorokan yang mulai terasa kering.

Canggung dan gugup yang Indira rasakan kali ini. Wanita itu meremas pinggir gamis miliknya.

“Apa kamu sudah tahu tujuan saya memintamu datang ke sini?” tanya Tuan Wijaya dengan suara yang berat dan terdengar sedikit ketus.

Mimik meremehkan tercetak jelas di wajahnya. Melihat itu, Indira semakin menundukkan wajah. Beberapa kemungkinan jawaban berkelindan dalam benaknya dan Indira takut apa yang dia tebak benar adanya.

Namun, wanita itu mencoba masih berpikir positif.

“Tidak, Om,” jawab Indira sambil menggelengkan kepalanya.

Panggilan Indira untuknya yang sok akrab membuat pria paruh baya tersebut berdecap sebal dengan menatap sinis. Dia sungguh tak suka wanita miskin seperti Indira memanggilnya dengan kata seperti tadi.

Tuan Wijaya berdehem. Lalu, memanggil asistennya dan menengadahkan tangan. Pria yang sedari tadi hanya menyimak tersebut langsung menghampiri dan menyerahkan sebuah amplop berwarna kuning yang terlihat tebal.

Ayah Aryo langsung melemparkan amplop tersebut dengan kasar ke arah Indira. Membuat wanita itu langsung mengangkat wajahnya yang sejak tadi menunduk. Kentara sekali pertanyaan dari wajahnya yang masih belum mengerti maksud orang di seberang kursinya.

“Maaf. Ini maksudnya apa, ya?” tanya Indira memastikan. Jantungnya kembali berulah dan semakin berpacu dengan cepat.

“Jangan sok polos kamu. Bukankah ini yang kamu incar dari putraku selama ini? Tapi, jangan harap aku akan membiarkan Aryo terjebak dan malah menikahi wanita serakah sepertimu. Perempuan gila harta yang sengaja menggaet pria kaya untuk dijadikan ladang uang, kan?”

Kasih yang Terbagi /Bukan Inginku Menjadi Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang