1/2 ; Zemaya

8.4K 1.2K 75
                                    

"Di sini, Pak." Zemaya memberikan instruksi pada pria yang membawanya pergi dari hotel. 

"Loh? Ini bukan perumahan, Mbak. Ini, kan, terminal."

Zema tahu dirinya sudah membuat bingung banyak orang dengan sikapnya. Namun, Zema tak mau menjawab segalanya dalam satu waktu. Dia akan pulang ke kampung halaman orang tuanya berada kini, di Semarang. Zema hanya ingin menenangkan pikiran dan pulang ke rumahnya dan Hugo hanya akan membuat kepalanya semakin pusing.

"Iya, Pak. Saya memang mau pulang kampung. Saya nggak kuat kalo harus sama suami yang nggak sayang sama saya."

Semakin banyak orang yang bersimpati, semakin Zema memiliki peluang untuk menekan Hugo. Saat ini, isi kepala Zema tidak peduli dengan ajaran lurus yang mengatakan untuk menutupi aib diri sendiri dan suami. Zema sedang mempertaruhkan pernikahannya yang sudah tidak ada harganya, dan harga dirinya yang terinjak begitu dalam. Ajaran moral apa pun tidak akan mempan dengan isi kepala Zema saat ini.

"Saya turut bersimpati dengan apa yang menimpa, Mbak. Saya juga minta maaf hanya bisa mengantar sampai sini. Saya nggak bisa mengantar Mbak ke kampung halaman. Saya berdoa semoga Mbak diberikan kebahagiaan setelah ujian rumah tangga ini."

Zema mengangguk. "Terima kasih, Pak." Lalu, Zema keluar dari mobil si penolong. 

Zema menatap deretan ruko penjual tiket, dia memilih bus yang biasa digunakan untuk pulang pergi semaja muda dari Semarang ke Jakarta. Sudah lama sekali dirinya bepergian dengan bus, dan baru kali ini dia hanya membawa tas biasa yang berisikan ponsel, dompet dan kartu-kartu milik dirinya dan sang suami yang sengaja dia rampok sebelum berangkat ke hotel untuk memergoki Hugo dan si wanita kecentilan itu.

Tidak ada pakaian yang dia bawa, hanya celana dalam dan kantong plastik untuk berjaga-jaga saja. Celana dalam sangatlah penting karena belakangan kandung kemih Zema suka sekali membuatnya bolak balik ke kamar mandi. Mungkin karena keberadaan calon anaknya membuat hal itu terjadi. 

Zema menghela napasnya. "Gara-gara kamu aku jadi begini, Hugo!"

Menatap sekeliling, Zema memilih untuk menuju penjual minuman dan makanan ringan untuk perbekalan seadanya selama di bus. Dia mendapatkan jatah makan satu kali yang kemungkinan besar jadwalnya pada jam sebelas malam untuk mengisi perut. Anak di dalam perutnya tidak akan bisa menahan rasa lapar hingga jam sebelas malam, maka dari itu Zema membeli nasi dan lauk yang dipisah, serta air mineral. 

Suaminya seorang pengusaha mebel, tapi dia melakukan semua hal seperti orang terhimpit biaya. Namun, tidak ada cara lain yang lebih aman dari pada ini. Jika dia menggunakan pesawat, maka Hugo akan dengan mudahnya menyusul. Zema menggunakan bus karena waktu tempuh yang lama, dan kemungkinan Hugo akan dicecar jika sampai lebih dulu ke rumah orang tuanya. 

Semua rencana ini benar-benar Zema pikirkan dengan matang meski dalam waktu singkat. Dia bisa mendapatkan keberanian ini juga karena janin di dalam rahimnya. Meski mengatakan akan menggugurkannya di depan Hugo, itu jelas bukan ucapan kebenaran. Zema hanya ingin Hugo mati dengan kecemasannya. Zema tahu betul Hugo begitu menyayangi anak-anak, pria itu juga mengharapkan memiliki anak sendiri sejak tahun pertama mereka menikah. Semua rencana Zema ini akan membuat Hugo kelimpungan dan tetap akan disalahkan pihak mana pun dengan semua tindakan yang diambil. 

"Saat semua orang menghakimi kamu, aku akan bersikap menjadi istri yang paling tersakiti, Hugo. Saat itu juga, hanya aku yang bisa menolong kamu dan membuat kamu ketergantungan hingga mengandalkan aku. Begitu kamu nggak bisa hidup tanpa aku, perpisahan adalah jalan yang aku ambil untuk membuat hidup kamu lebih hancur."

Zema tahu dirinya mengucapkannya dengan nada yang sangat pelan, tapi orang lain akan melihatnya seperti orang sinting. Apalagi melihat matanya yang membengkak sisa tangis tadi. Tidak perlu kaget jika orang-orang akan melihatnya dengan tatapan aneh.

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang