7/1 ; Zemaya

5K 961 31
                                    

Menghancurkan rencana Hugo adalah hal yang paling menyenangkan. Pria itu selalu memasang wajah pelas yang sebelumnya memang menggoyahkan Zema, tapi kini tidak lagi. Zema ingin membuat pria itu tahu bahwa segalanya tak selalu sesuai dengan apa yang pria itu inginkan. Selama ini, Zema selalu menuruti segalanya dengan sikap diam. Akan Zema tunjukkan bagaimana dirinya menjadi aktif jika itulah keinginan yang disampaikan oleh Hugo pada teman sialannya itu.

"Kalian sudah sampai," ucap Windu yang langsung menyambut keduanya. 

Berbeda dengan yang Zaka lakukan. Pria itu hanya menatap kedatangan anak dan menantunya dengan tangan bersedekap serta wajah angkuhnya terlihat menguasai seisi rumah. Zema melirik suaminya yang masih tertatih untuk berjalan kaki sendirian, terlihat tak nyaman bersitatap dengan Zaka. 

"Ibu sudah siapkan kamarnya." 

"Kamar aku yang biasanya, kan, Bu?" tanya Zema. 

"Iya. Tapi kasurnya ibu dan bapak ganti. Ranjangnya terlalu kecil kalo dibuat kalian berdua."

"Siapa yang bilang kami tidur berdua, Bu?"

Semua orang di sana memandang ke arah Zema dengan terkejut. Siapa sangka akan mendengar celetukan itu dari mulut Zema?

"Ema? Maksudnya ... kamu bakalan biarin aku tidur sendirian?" tanya Hugo. 

Zema tidak ingin sibuk menjelaskan apa yang dirinya inginkan. Selain membuat Hugo kehilangan kesempatan untuk memintanya tidur di ranjang yang sama di rumah sakit, dia juga akan menghilangkan kesempatan bagi Hugo untuk merasakan dekapan Zema malam ini. 

"Zemaya?" tanya Windu dengan wajah cemas. "Apa bisa suamimu sendirian? Dia masih butuh bantuan."

"Kata dokter Hugo udah nggak apa-apa, Bu. Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Lagi pula kamar mandi ada di dalam kamar tamu, kan, Bu? Nggak perlu keluar kamar kalo butuh buang air."

Alasan yang Zema berikan memang tidak bisa disangkal oleh siapa pun. Zaka adalah orang yang membiarkan putrinya melakukan apa pun pilihannya. Zema tahu bahwa memberikan hukuman pada suaminya yang berkhianat salah satunya dengan cara seperti ini.

"Aku nggak mau tidur sendirian, Ema." Hugo persis seperti anak kecil yang tidak bisa mengendalikan reaksinya sendiri. 

Zema mendekati suaminya, dia meraih wajah Hugo dan berkata seolah sedang menghadapi anak kecil sesungguhnya. 

"Aku luar biasa capek ngurusin kamu hampir seminggu ini. Harusnya, kita udah nggak saling--"

"Oke, oke. Aku tidur sendirian, kamu bisa istirahat, Ema. Maafin aku udah banyak mau, ya. Kamu harus fit lagi untuk tetap bareng aku."

Orang tua Zema bisa melihat bahwa Hugo sangat ketakutan dengan kalimat Zema yang bahkan belum selesai. Hugo juga mengeratkan genggaman pada tangan Zema. Jika saja Zaka tidak berdehem dengan keras, mungkin mereka masih akan terus bertatapan dan membuat Windu menonton drama picisan di depan mata.

"Ibu beresin kamar tamunya, ya."

"Jangan, Bu!" Hugo melarang.

"Kenapa?"

Hugo tersenyum dan masih berusaha menggenggam tangan Zema. "Biar saya aja yang beresin. Lagi pula saya yakin kamar tamunya selalu Ibu bersihin. Ibu sama Bapak bisa langsung istirahat aja."

Windu yang memang super pemaaf dan pada dasarnya sangat menyayangi menantunya itu tersenyum dengan tatapan mengasihi. Zema menggelengkan kepala samar dengan sikap ibunya yang terlalu mudah memaafkan Hugo itu. Untung saja Zaka memihak Zema meski kesannya menjadi raja tega.

"Baik kalau begitu. Kalian bisa istirahat, ada makanan di meja makan yang Ibu tutup. Zemaya, kamu panaskan kalau suamimu mau makan dan nggak biasa makan makanan dingin, ya."

Zema melirik Hugo yang tersenyum bahagia. Zema tidak mau membiarkan senyuman Hugo bertahan lama. 

"Hugo bisa nyiapin makanan sendiri di sini, Bu. Nggak perlu dia minta aku terus yang siapin. Di rumah sakit dia udah super manja."

"Zemaya, itu suamimu--"

"Jangan terlalu ikut campur urusan anak-anak. Mereka masih bisa mengurus urusan mereka sendiri, Bu. Kamu ini kenapa selalu berat kepada pihak yang bukan anak kandungmu sendiri?" Zaka dengan dingin menyela ucapan istrinya.

"Bapak ini, loh. Kenapa terlalu keras begitu?"

"Kamu yang lucu, kenapa juga terlalu baik sama dia yang udah nyakiti dan mempermalukan anakmu sendiri!?"

Zema tak mau ada pertengkaran diantara kedua orang tuanya. Jadi, dia memilih untuk menjadi penengah.

"Pak, Bu, aku capek banget. Udahan berdebatnya, ya. Aku mau langsung ke kamar."

Zaka mengiyakan, karena dia tahu tak mudah mengurus Hugo yang banyak mau padahal sudah melakukan kesalahan. Ditambah lagi kondisi Zema yang tengah berbadan dua, pasti sulit bagi putrinya itu mengontrol emosi. Tenaganya pasti sudah terkuras banyak dengan sikap suaminya yang labil.

Zema meninggalkan Hugo sendiri dengan suasana canggung, meski tahu bapaknya tak menyukai Hugo, Zema memilih untuk beristirahat di kamarnya dan merenungi banyak hal. Merenungi cara untuk membuat Hugo menjauh darinya dan tidak merasakan baby bump Zema hingga perutnya membuncit dan terlihat dengan sendirinya nanti. Hukuman Hugo harus berlapis-lapis! 

[Bab 9 dan 10 Teman Tidur sudah bisa dibaca duluan di Karyakarsa. Bagi yang berminat aja. Di sana selalu 2 bab lebih cepat, ya. Kalo di Wattpad dibagi menjadi 4 bab.]

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang